Melarikan Diri

1357 Kata
Suasana kafe yang awal mula aman, damai Sentosa, tiba-tiba saja berubah panik. Beberapa karyawan melirik-lirik ke bagian luar kafe dan beberapa pengunjung juga berhamburan mengikuti langkah kaki banyak orang menuju sebuah lokasi. “Ada apa sih?” tanya salah seorang karyawan kafe pada rekannya yang tadi nekat menuju ke lokasi penemuan mayat. “Ada yang menemukan mayat perempuan. Katanya mengapung di Sungai. Mereka menutupinya dengan daun pisang di tepi sungai di bawah sana. Sedang menunggu tim SAR untuk melakukan evakuasi.” “Mayat perempuan? Kok bisa?” “Aku mana gahu. Yang jelas katanya wanita. Usianya sekitar tiga puluhan tahun begitu. Aku juga nggak lihat sebab mereka sudah menutupinya dengan daun pisang. Tidak ada yang boleh mendekati sampai tim SAR datang.” Jihan dan Aldo mendengar percakapan itu. Ke duanya pun saling pandang. Makanan yang tadinya akan masuk ke dalam mulut mereka, mereka letakkan lagi ke atas piring. Selera makan mereka hilang seketika. “Bagaimana ini?” bisik Jihan. “Kamu tenang saja. Bersikap seperti biasa, jangan sampai ada yang curiga pada kita.” “Tapi aku nggak bisa tenang, Aldo. Bagaimana kalau ternyata mayat itu adalah mayat Marwa.” “Sstt … Kamu jangan bicara seperti itu di sini. Bagaimana kalau ada yang mendengar kita?” Jihan langsung terdiam. Ia tenggak air mineral yang sudah ada di depannya. Tiba-tiba tenggorokannya jadi sangat kering karena panik. Pada saat bersamaan, mereka pun mendengar suara sirine mobil polisi. Semua yang ada di sana melihat mobil polisi dan mobil tim SAR dan sebuah mobil ambulan masuk melaju menuju titik lokasi ditemukannya mayat yang dimaksud. “Aldo, ada polisi. Sebaiknya kita segera pergi dari sini.” “Jangan gegabah, Jihan. Kalau kita pergi begitu saja, mereka akan curiga. Kamu tidak lihat, bagaimana antusiasnya mereka. Bahkan orang-orang yang sedang berjalan saja, langsung berhenti untuk melihat kejadian ini. Jalanan juga ramai, kita mau lewat mana?” Jihan menghela napas. Ia menenggak kembali minumannya. Kepanikan yang ia rasakan saat ini sulit untuk ia sembunyikan. Rasa bersalah, rasa berdosa dan rasa takut bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Tidak berselang lama, mereka melihat mobil ambulan kembali melintas. Sepertinya di dalam mobil itu sudah ada mayat yang dimaksud. Lalu mobil tim SAR pun menyusul. Hanya mobil polisi saja yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan keluar dari lokasi penemuan mayat. Mungkin mereka sedang melakukan olah TKP di sana. “Aldo, aku sudah tidak nafsu makan. Ayo kita segera pergi. Orang-orang juga sudah mulai bubar.” Aldo mengangguk. Pria itu kemudian memanggil seorang pramusaji lalu meminta bill p********n. Setelah membayar semua makanan yang sama sekali belum mereka makan, Aldo dan Jihan pun meninggalkan tempat itu. Mereka pergi ke arah Jakarta. “Aldo, bagaimana ini? Bagaimana jika mayat yang ditemukan tadi itu adalah mayat Marwa? Kata kamu tidak akan ada yang menemukan Marwa? Kata kamu di bawah itu jurang yang sangat dalam, tapi bagaimana bisa mayat itu sampai mengapung ke sungai?” “Aku mana tahu. Memangnya aku survei dulu ke bawah baru aku mepar Marwa ke sana? Yang aku tahu tempat itu sepi dan dianggap angker oleh orang-orang. Jadi aku buang saja ke sana. Aku tidak tahu apakah di bawah saja ada sungai atau tidak.” “Bisa jadi mayat Marwa terlempar ke sungai lalu terbawa arus sampai ke desa tadi.” “Entahlah … Aku benar-benar tidak tahu.” “Bagaimana kalau polisi tahu bahwa kita’lah yang sudah membunuh Marwa?” Jihan benar-benar sangat panik. “DIAMMMM!!!” Lagi-lagi Aldo berteriak. Kali ini suara teriakannya sangat amat keras. Jihan langsung terdiam setelah mendengar suara teriakan Aldo. “Sial!! Sial!! Sial!!” Aldo terus menggerutu seraya memukul setir mobilnya. Jihan hanya bisa diam. Ia tidak ingin membuat masalah. Ia tidak ingin menjadi korban seperti Marwa, sebab Aldo bisa saja melemparnya ke jurang yang sama jika Aldo sudah tidak nyaman lagi bersamanya. “Turun!!” perintah Aldo ketika mobilnya berhenti di depan apartemen milik Jihan. “Hanya aku? Kamu?” “Aku akan pergi ke Kuala Lumpur hari ini juga.” “Ke Kuala Lumpur? Untuk apa?” Aldo menatap tajam wajah Jihan, “Apa kamu tidak lihat. Tadi ada yang menenukan mayat di sana. Bagaimana kalau itu adalah mayat Marwa? Polisi pasti akan mengusut tuntas penemuan mayat itu. Memangnya kamu mau mendekam di penjara, ha?” “Kalau begitu aku ikut dengan kamu.” Jihan menggenggam lengan kiri Aldo. Aldo menyentak tangan Marwa dengan keras, “Jangan gila, Jihan!” “Gila? Aku nggak gila, Aldo. Lagi pula bukan aku yang sudah membunuh Marwa. Kamu yang melemparnya hingga kepalanya terbentur sudut meja. Kamu juga yang punya ide membuang Marwa ke dalam jurang. Lagi pula kamu yang salah, kamu gegabah. Sudah tahu asuransi kesehatan Marwa belum seberapa. Harusnya kamu sabar, tunggu sampai Marwa benar-benar mati, baru kita pergi dengan membawa semua urang asuransi jiwa Marwa.” “Jadi kamu nyalahin aku?” Aldo menatap tajam wajah Jihan. Jihan ketakutan, “A—aku … Aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku mohon, tolong bawa aku sama kamu, Aldo.” “Kalau kita pergi berdua, itu akan membuat polisi semakin curiga. Mereka pasti akan mengusut tuntas masalah ini. Sudahlah, kamu tetap di sini, biar aku yang pergi.” “Jangan begitu. Aku mau ikut sama kamu.” “Kalau begitu kamu menyusul saja besok atau lusa.” “Aku mau sekarang.” “Jangan keras kepala, Jihan!! Turun kataku, TURUN!!” Lagi-lagi Jihan mendapat bentakan keras. Jihan tidak bisa berkutik lagi. Ia menuruti semua permintaan Aldo. Dengan perasaan berdebar dan rasa takut yang berkecamuk, Jihan pun tetap turun dari mobil Aldo. Aldo meraih gagang pintu mobilnya. Ia tutup pintu itu dengan kasar lalu ia pun segera melajukan mobilnya meninggalkan Jihan begitu saja yang masih berdiri terpaku di depan gedung apartemen tempat unitnya berada. Aldo mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak kembali ke apartemen, melainkan ke rumah orang tuanya. Bahkan ia tidka berani menginjakkan kakinya lagi di apartemen yang sudah ia tempati bersama Marwa. “Aldo, kamu mau kemana?” tanya Meri. “Ma, aku harus segera meninggalkan tempat ini. Polisi sudha menemukan mayat Marwa,” ucap Aldo dengan suara sedikit bergetar. “Apa? Dari mana kamu bisa tahu kalau polisi sudah menemukan mayat Marwa? Mama tidak dengar berita apa-apa di televisi.” “Tadi aku dan Jihan ke sana. Kami mampir di sebuah kafe dan ternyata di daerah situ telah ditemukan mayat perempuan mengapung di sungai.” “Kamu yakin itu mayat Marwa?” “Entahlah, Ma. Yang pasti aku ingin pergi dulu untuk sementara waktu.” “Kamu akan pergi kemana?” “Aku belum tahu,” ucap Aldo. Pria itu tetap melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sang ibu. “Aldo, tunggu!!” Aldo sama sekali tidak menggubris ucapan sang ibu. Ia tetap melangkahkan kakinya karena taksi online yang sudah ia pesan sudah menunggunya di depan pagar rumah sang ibu. “Ke bandara, mas?” tanya sang sopir taksi. “Iya,” lirih Aldo seraya memegang bibirnya. Pria itu berusaha menyembunyikan rasa takut yang saat ini juga tengah menghantui dirinya. *** RSUD Bogor. Setelah mendapat penanganan medis, kondisi Marwa yang tadinya sempat drop, kini kembali stabil. Tekanan darahnya kembali normal dan kadar oksigen di dalam paru-parunya kembali stabil. Namun Marwa masih belum diizinkan berbicara banyak. Apa lagi berpikir keras sebab benturan yang mengenai kepalanya cukup fatal. “Renima …,” lirih Marwa dengan suara sangat pelan. “Sstt … Kamu jangan banyak bicara dulu. Sekarang kamu aman di sini. Ada aku, ada dokter Farhan juga. Kamu baru saha sadar, jadi istirahat saja.” “Tapi—.” “Sstt … Sudah aku katakan diam dulu. Kamu jagan khawatir, Marwa. Aku akan tetap di sini untuk kamu. Aku tidak akan meninggalkan kamu. Kamu tahu, di dunia ini aku hanya punya kamu. Nasib kita sama, orang tua kita sudah sama-sama tiada dan keluarga kita seakan tidak peduli dengan keponakan mereka. Jadi aku memang hanya punya kamu saja di sini. Kamu tenanglah, aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi.” Renima tersenyum seraya mengusap lembut punggung tangan kanan Marwa. Marwa mengangguk lemah. Banyak hal yang ingin wanita itu ceritakan, namun untuk saat ini, kondisinya masih belum memungkinkan untuk banyak bercerita. Marwa hanya bisa menghela napas lalu kembali memejamkan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN