Peduli

1179 Kata
"Foto kakak ku, itu waktu masih kecil!" kata Rico. "Sudah, jangan banyak tanya Sekarang, bersihkan rumahku. Bekas sepatumu masih menempel di lantai rumahku!" Rico beranjak duduk di sofa putih. Tangan kanan berada di atas kepala sofa. Dia duduk menyilangkan kakinya, punggung menyandar di sofa. "Dimana dia sekarang?" tanya Bella penasaran. "Tidak perlu banyak tanya lagi. Sekarang, lebih baik kamu segera bersihkan lantai." tegas Rico. Disisi lain. Kantor tempat Bella bekerja terlihat begitu riuh. Bos mengumpulkan semua karyawan. Dia ingin mengubah peraturan perusahaan. Dan, jika sampai ada yang telat beberapa menit saja. Maka akan dapat sanksi. Dengan suara lantang bos mengatakan semua peraturan baru yang harus ditepati. "Untuk semua karyawan disini. Jangan pulang sebelum waktunya. Pulang lah tepat waktu." "Tidak boleh telat, harus datang tepat waktu. Telat 1 menit saja sudah dapat sanksi. Dan, jika sampai 3 kali kena sanksi. Maka karyawan itu harus dikeluarkan secara tidak hormat." "Tidak boleh buat kegaduhan disini. Semua karyawan yang saling menyalahkan, atau sengaja melempar kesalahan pada teman. Itu juga kena sanksi." "Dan, istirahat tepat waktu. Keluar dan kembali tepat waktu." "Sudah, sekarang kalian kembali ke tempat kerja." Kedua mata Alex berkeliling. Seolah ada seorang yang di cari di antara semua karyawannya. "Baik, pak!" jawab semua karyawan kompak. Begitu juga Sisil. Wajahnya tampak bingung. Dia sedari tadi mencari temannya. Namun tidak kunjung kembali. Sisil terlihat khawatir. Dia hanya bisa menunduk. Takut jika sang Bos akan tanya keberadaan Bella nantinya. Sisil membalikkan badannya. Melangkahkan kakinya perlahan. "Eh... Kamu, kemari." pinta Alex. Sisil mengerutkan wajahnya takut. Dia menggenggam jemari tangannya sendiri. "Astaga, apa yang harus aku lakukan?" gerutu Sisil. "Bagaimana, jika dia tahu jika Bella menghilang dari kantor. Pasti dia akan marah." "Apa kamu tuli?" bentak Alex. Seketika menarik napasnya dalam-dalam. Berusaha untuk tetap tenang. Sisil membalikkan badannya lagi. Mengangkat kepalanya perlahan. Alex sudah menyambutnya dengan tatapan mata yang begitu tajam. Aura kencangkan mulai menyelimuti dirinya. Sisil berusaha tetap tenang. Dia menelan ludahnya beberapa kali. "Astaga... mati, aku. Bagaimana ini.. Apa yang harus aku lakukan." jantung Sisil berdetak lebih cepat. Bukan soal jatuh cinta. Tapi, dia takut jika Bos juga akan marah padanya. Pekerjaannya jadi taruhan. "Dimana temanmu?" tanya Alex. "Hah..." seketika Sisil bingung. Dia terlihat begitu gugup. "Dimana temanmu?" bentak Alex. "Emm... i-itu, dia..." Sisil berbicara terbata-bata belum sempat melanjutkan ucapannya. Sisil tertunduk lagi. "Dia dimana? kemana aku tidak melihat dia? Apa dia pulang? Atau, tidur?" Tiba-tiba sebuah ide muncul di otak Sisil. Dia mengangkat kepalanya. Kembali kedua mata itu menatap Alex. Sekarang dirinya mampu mengendalikan rasa takut menghadapi sang bos. "Emm... iya, dia tadi bilang ke toilet. Dia bilang perutnya sakit. Dari tadi bolak-balik pergi ke toilet." kata Sisil. Sembari menggigit bibir bawah bagian dalam. Dia Takut jika sang Bos tidak percaya padanya. "Ya, sudah! Bilang padanya. Suruh cepat kembali bekerja," ucap Alex memelankan nada suaranya. Sisil memalingkan badannya. Akhirnya dia bisa menghela napasnya lega. Sisil melirik ke arah Alex. Laki-laki itu sudah melangkahkan kakinya kembali ke ruangan. "Hah..." Sisil berhasil mengeluarkan napas kasarnya. "Bisa mati jika dia ketahuan keluar." kata Sisil lirih. "Aku harus segera menghubungi Bella sekarang. Sebelum bos mencarinya lagi." gerutu Sisil. Segera kembali ke tempat kerjanya. Hampir satu jam berlalu. Bella akhirnya kembali ke ruangan kerjanya. Dia duduk bersebelahan dengan Sisil. Hanya saja meja mereka ada sekat yang memisahkan antara meja karyawan lainya. "Bella, dari mana saja kamu?" tanya Sisil. Dia terlihat khawatir dengan Bella. Sementara Bella hanya tersenyum tipis. "Tadi, bos mencariku tidak?" tanya Bella. "Iya, hampir saja ketahuan." "Bella, kamu dipanggil ke ruangan bos." seorang wanita memanggil namanya. Menghentikan perbincangan mereka berdua. "Gimana, ini?" tanya Bella gugup. "Apa dia tahu jika aku keluar?" tanya Bella memastikan. "Aku tadi..." "Buruan, dia marah-marah jika kamu terlalu lama." "Udah, positif, saja dia tidak akan marah." Sisil memberikan semangat Bella. Sementara Bella tampak bingung. Apa yang harus dilakukan jika bertemu dengan Dion nantinya. Bella menarik napasnya dalam-dalam. Menahannya sejenak. Lalu mengeluarkan secara perlahan. Dia mengumpulkan semua keberaniannya. Bertekad untuk segera pergi ke ruangan sang bos. "Aku pergi dulu," ucap Bella melambaikan tangan pada Sisil. "Tolong doakan, aku bisa tetap bekerja disini." kata Bella. Lalu beranjak pergi meninggalkan Sisil tanpa menunggu jawaban dari Sisil. "Eh..." Sisil menggerakkan kepalanya melihat kemana Bella pergi. "Padahal, aku mau doakan dia dulu. Semoga dia tetap bekerja disini." gerutu Sisil menghela napasnya frustasi. Lalu kembali ke mejanya. Meskipun pikirannya kacau memikirkan sahabatnya itu. Sisil terlihat sangat gelisah. Entah apa sahabatnya bisa melewati wajah galak sang bos atau tidak. ** Dilain sisi. Vina berdiri di depan pintu. Dia terlihat ragu mengetuk pintu berwarna coklat gelap itu. Wajah terlihat begitu pucat. Vina memejamkan kedua matanya. Dia berbicara pada hatinya sendiri. "Nggak, Vina. Kamu harus lawan rasa takutmu." Dalam satu helaan napasnya. Vina membuka mata, lalu memberanikan dirinya mengetuk pintu beberapa kali. "Masuklah," pinta sang bos. Vina membuka pintu perlahan. Kaki kanan melangkah masuk lebih dulu. Berjalan dengan sangat hati-hati. Kepala tertunduk, jemari tangan kanan memainkan jemari tangan kirinya. Dia terus berusaha menghilangkan rasa gugup yang sudab merasuki dirinya.Tak lupa Vina menutup kembali pintunya. Dia dengan penuh keraguan melangkah mendekati Dion. Dion menatap sekilas ke arah Vina. Dia segera membuka laci meja kerjanya. Lalu memberikan sebuah kotak obat tepat di atas meja. "Ambilah, dan segera minum." Vina mengerutkan keningnya. Dia memutar matanya bingung. Vina perlahan mengangkat kepalanya melirik ke arah Dion. Pandangan mata itu tertuju pada kotak obat di atas meja. Seketika Vina berdiri tegap. "Apa ini?" tanya Vina bingung. "Kata teman kerja Kamu jika kamu tadi sakit perut bolak balik kamar mandi. Segeralah, minum obat. Lalu kembali bekerja. Jangan karena sakit perut kamu tidak bekerja." Dion yang semula sibuk dengan dokumen di depannya. Dia menutup kembali beberapa map. Lalu mengangkat kepala menatap ke arah Vina. Vina mengerutkan bibirnya. Apa tadi Sisil yang memberi tahu jos jika aku sakit perut? Bukanya dia tahu jika aku keluar? Ternyata dia pintar juga buat alasan. Vina bergumam dalam hatinya. Dia tiba-tiba tersenyum tipis. "Kenapa kamu diam disini. Ambilah, dan segera pergi dari ruangan ini." Dion menarik salah satu alisnya ke atas. Vina mengerjapkan matanya. Dia tersenyum palsu menatap ke arah Dion. Dengan tangan yang mengulur ke depan mengambil obat itu. "Makasih, bos sudah peduli padaku." "Jangan pikir jika aku suka denganmu." tegas Dion. Kedua mata kembali tertunduk fokus pada beberapa dokumen yang baru saja dia teliti. Vina menarik sudut bibirnya sinis. Sembari memutar matanya malas. "Astaga, bagaimana orang ini bisa berpikir hal itu. Aku juga tidak berharap disukai olehnya." gerutu Vina. Dia kembali berusaha tersenyum lagi. Saat Dion melirik ke arahnya. "Apa anda betah berada disini?" tanya Dion. "Eh... itu, ini saya mau pergi." kata Vina terbata-bata. "Iya, jangan lupa tutup lagi pintunya." laki-laki dingin itu kembali mengurus dokumennya. Jemari tangan tidak berhenti tanda tangan. Dan, mata yang tidak berhenti menyelidiki setiap detail kesalahan yang ada. Vina menelan ludahnya susah payah. Dia segera berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Tak lupa sesuai perintah segera menutup pintunya. Belum juga tertutup rapat. Suara laki-laki itu memanggilnya. "Tunggu, aku mau bicara sama kamu." kata Dion. Seketika detak jantung Vina berdebu lebih cepat. Bukan karena jatuh cinta. Dia takut jika ketahuan saat keluar tadi bersama dengan Rico. "Apa yang akan dia katakan? Apa jangan-jangan dia sudah tahu tentang dirinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN