"Ada apa? Kenapa dapur sangat menakutkan untukmu, Lea?" Lee memegang wajah Alea lembut, Alea menepiskan tangan Lee dengan kasar, lalu ia menghapus air matanya, dengan gerakan kasar juga.
"Dapur itu tempat yang menyenangkan. Kita bisa berekspresi tanpa batas. Semua anggota tubuh kita bisa bekerja bersama, bersinergi untuk menghasilkan sebuah cita rasa." Lee menangkup wajah Alea, tapi Alea kembali menepiskan tangan Lee.
"Kau tidak akan mengerti, Lee" Alea menggelengkan kepala, air matanya kembali membasahi pipi. Alea duduk di kursi makan. Kedua telapak tangannya, menutupi wajahnya.
"Apakah ada kejadian di dapur yang menimbulkan trauma buatmu, Lea?" Lee berusaha melepaskan tangan yang menutupi wajah Alea.
"Jika kau takut ke dapur, karena pernah mengalami kejadian buruk di sana. Maka kau harus melawan rasa takutmu. Lawan Lea, kau wanita pemberani bukan!?" Lee memberikan semangat pada Alea.
"Ini tidak semudah yang kau bayangkan, Lee!" mata basah Alea bagai mata pedang menghunus ke arah mata Lee.
"Karena itu, tolong jelaskan padaku, apa masalahmu?" Lee mengguncang bahu Alea lembut.
Alea menggelengkan kepala, baginya mengungkap rasa takutnya, akan merobek lagi luka lama yang sudah mengering di dalam hatinya.
"Aku haus Lee," Alea menatap Lee dengan tatapan memohon.
"Baiklah," Lee membungkuk di samping Alea, dilingkarkan kedua tangan Alea di lehernya.
"Kau mau apa?" Tanya Alea dengan nada galak.
"Pejamkan matamu," bisik Lee, dan seperti kerbau dicocok hidungnya, Alea menurut saja apa yang diperintahkan Lee.
Lee membopong Alea masuk ke dapur. Ia dudukan Alea di atas meja dapur.
"Tida ada yang perlu kau takutkan, Lea. Buka matamu perlahan saja," bisik Lee di telinga Alea. Alea membuka matanya, matanya melebar saat menyadari ia berada di dapur, tempat yang sudah sekian tahun ia hindari.
"Lee ... hmppp," Lee memagut bibir Alea, sebelum Alea menyuarakan protesnya. Alea menggelengkan kepala, kejadian lima belas tahun lalu kembali berputar dalam benaknya. Saat ia mengacaukan dapur, dan membuat dapur terbakar.
"Mmhhhh," Alea menarik-narik kaos Lee di bagian pungung, agar Lee melepaskannya. Lee melepaskan ciumannya, ditangkupnya wajah Alea dengan kedua telapak tangannya.
"Apa yang kamu takutkan Alea, dapur itu tempat paling menyenangkan selain kamar tidur. Ayo, bukalah matamu. Hilangkan ketakutanmu." Lee menepuk pipi Alea lembut.
Alea membuka matanya, tapi hanya sesaat, kejadian naas itu terbayang nyata di hadapannya. Tubuhnya bergetar hebat, Lee memeluknya erat, Lee kini menyadari, Alea sudah mengalami kejadian buruk di dalam hidupnya, yang ada kaitannya dengan dapur. Lalu ia membopong Alea meninggalkan dapur. Lee membaringkan Alea di sofa ruang tengah.
"Lea, buka matamu," bisik Lee lembut. Alea membuka matanya perlahan.
"Aku haus, Lee" Alea menatap Lee dengan matanya yang basah. Hati Lee bergetar melihatnya. Ia teringat seseorang dengan tatapan yang sama dari masa lalunya.
"Tunggu sebentar," Lee meninggalkan Alea, ia masuk ke dapur untuk membuatkan teh hangat bagi Alea.
Alea bangun dari berbaringnya. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Lalu kedua kakinya ia tekuk, dipeluk lututnya dengan kedua tangan. Kepalanya jatuh di atas kedua lututnya. Alea kembali teringat akan peristiwa tragis di dalam hidupnya.
Dapur di rumah orang tuanya yang terbakar habis, karena kelalaiannya. Dan, adik laki-lakinya, yang baru berusia tiga tahun, harus meninggal karena kecerobohannya itu. Adiknya mengalami luka bakar serius, sedang ia sendiri tidak tersentuh api, karena sempat berlari ke luar dari dapur, sendirian. Sendirian, karena ia tidak tahu adiknya ada di dapur bersamanya.
Sejak itu, ibunya yang mengalami depresi memusuhinya, karena ibunya menganggap ia sudah membunuh putra kesayangan mereka. Ayahnyapun juga tidak lagi menghiraukannya, hanya kakek dan neneknyalah yang masih mau menyayanginya. sampai akhirnya, tiga tahun kemudian, ibu kandungnya menyusul adiknya, pergi untuk selamanya. Sedang ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, dua tahun setelah ibunya meninggal.
Kakek, dan neneknya masih hidup sampai sekarang. Tapi, mereka memilih untuk pulang ke kampung tempat mereka dilahirkan. Kakeknyalah yang menikahkannya dengan Reno, juga dengan Lee, tanpa beliau tahu kalau pernikahannya dengan Lee hanyalah sebuah pernikahan sandiwara.
"Minumlah," Lee sudah berlutut di hadapan Alea, dengan secangkir teh di tangannya. Alea mengangkat kepalanya, menghapus air matanya. Lee mendekatkan bibir gelas ke bibir Alea. Kedua tangan Alea memegang tangan Lee yang ada di gelas. Ia meneguk minumannya, Lee menatap wajah Alea dengan lekat. Tidak tampak kegarangan, dan kegalakan seperti biasa di wajah yang kini terlihat bernoda air mata.
"Aku tidak tahu, ada masalah apa antara dirimu dengan dapur Lea. Tapi, itu pasti hal yang sangat mengganggu perasaanmu, sehingga kau setakut ini pada dapur."
"Kau tidak perlu tahu terlalu banyak tentang diriku, Lee. Kontrak kita hanya tiga bulan, dan kita sudah menjalaninya dua minggu. Setelah kontrakmu selesai, kau tidak perlu jadi supirku lagi, aku akan memberimu uang agar kau bisa pergi dari hidupku untuk selamanya." Alea turun dari sofa, wajahnya kembali seperti biasanya. Ia meninggalkan Lee untuk kembali ke kamarnya. Alea bertekad di dalam hatinya, untuk menjaga jarak dari Lee, demi Reno, pria yang paling ia cintai selama hidupnya.
Lee menatap Alea dengan perasaan iba. Ia merasa, dibalik sikap keras Alea, tersimpan luka di dasar hatinya. Itu bisa Lee lihat dari sorot mata Alea, meski Lee hanya melihatnya sesaat saja. Sampai saat ini, Lee tidak tahu, apa yang membuat Alea, dan Reno bercerai hingga sampai talak tiga. Entah apa yang jadi permasalahan mereka. Dalam pandangan Lee, keduanya orang baik, meski Alea terkadang judes luar biasa. Lee yakin, sikap galak, dan judes Alea selama ini, hanyalah untuk menutupi kerapuhan hatinya. Alea membentengi hatinya yang lemah, dengan sikap keras, dan kasar yang ia tampilkan pada hampir semua orang. Bagi Lee, sosok Alea, dan masa lalunya, menimbulkan rasa penasaran yang luar biasa.
BERSAMBUNG