Karin mendudukkan tubuhnya di pinggiran tempat tidur seraya menatap Ravano yang memilih duduk di kursi belajar. Walau putranya tak memiliki luka apapun seperti Key, namun Karin merasa kalau emosi Ravano saat ini tak stabil.
"Rav," panggil Karin perlahan, meletakkan mangkuk yang berisi air es itu ke atas nakas dan menatap Ravano sepenuhnya. "Mama ngeliat muka Key memar. Kamu gak mukul dia, kan?" tanyanya.
"Aku gak mungkin ngelakuin itu, Ma," jawab Ravano tanpa mengangkat wajahnya.
"Kalo gitu terus terang sama Mama. Kalau emang bukan kamu yang bikin muka Key memar, lalu apa yang bikin kamu berteriak ke dia tadi? Mama percaya kamu gak akan ngulangin kesalahan yang sama, Ravano. Tapi apa yang terjadi?"
"Maafin Ravano, Ma."
"Mama sama sekali gak butuh permintaan maaf dari kamu. Kalau kamu memang ingin minta maaf, maka harusnya kamu minta maaf ke Keanna," ujar Karin. "Padahal sebelumnya Irina juga udah seneng hubungan kamu sama Key membaik, tapi sekarang malah seperti ini lagi. Rav, tolong, apapun masalahnya kali ini, jangan terlalu maksain keinginan kamu. Mama percaya kamu gak seegois itu."
"Aku ngelakuin ini demi kebaikan Keanna juga, Ma," jawab Ravano.
"Apa ada orang yang ganggu kalian berdua?"
"Aku pengen Keanna gak terlalu deket sama Tristan."
Kedua alis milik Karin seketika mengerut mendengar hal itu. "Apa maksud kamu? Bukannya mereka udah—"
"Sejak awal Keanna seharusnya gak deket sama Tristan, Ma. Bagaimana pun, Tristan itu murid pindahan yang sebelumnya bermasalah di sekolah lama dia." Ravano kembali mengepalkan tangannya.
"Bermasalah? Tapi yang Mama lihat, Tristan itu anak yang baik. Dia bahkan kayaknya gak musuhin kamu selama dia deket sama Key."
Kedua mata Ravano terpejam selama beberapa saat.
"Sejak awal, dia cuma ancaman buat Key." Ravano membuang napasnya berat.
*
"Mulai besok lo gak perlu datang ke sini lagi. Keanna ke sekolah sama gue."
Tristan mengabaikan panggilan mamanya dan lelaki itu tetap melanjutkan langkahnya hingga ke kamar. Sesampainya di dalam, ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas permukaan tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya.
"Lo denger barusan, Rav? Lo yakin mau ngasih Keanna ke cowok kasar begitu? Kenapa Keanna gak lo ambil lagi? Dia cantik kok."
"b******n lo, Axcel." Tristan mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.
Kini semuanya kembali kacau gara-gara lelaki itu. Kemunculan Axcel benar-benar membawa masalah.
Tidak, sejak awal Axcel memang ada di Pelita, kan? Sementara Tristan hanyalah murid pindahan yang fokus mendekati gadis yang bernama Keanna, yang artinya— keberadaan dirinya sendirilah yang menyebabkan kekacauan ini secara tak langsung.
"Lo bisa jadi ancaman terburuk buat Keanna. Apa lo lupa? Kejadian kemarin hampir bikin dia—"
Ravano benar. Lelaki itu mengatakan hal yang benar.
Keberadaan Tristan lambat laun hanya akan menjadi sebuah ancaman bagi Keanna. Gara-gara dia, gadis yang tak bersalah itu jadi mengalami berbagai kesulitan yang seharusnya tak dia alami.
Sejak awal, seharusnya Tristan tidak berada di Pelita. Seharusnya dia tidak memaksakan dirinya mengikuti langkah Key dan tak seharusnya juga dia ikut campur dalam kehidupan gadis itu.
Tapi, semua ini sudah terlanjur terjadi dan meskipun awal kekacauan ini berawal dari dirinya, Tristan tak pernah berniat menarik Key ikut masuk ke dalam kehidupannya. Pertemuannya dengan gadis itu juga tak pernah ia rencanakan. Awal mereka bertemu saat di angkot, begitu juga saat tawuran itu terjadi. Tristan saat itu benar-benar tak memikirkan apapun tentang gadis cengeng yang justru malah menolongnya di tengah tawuran meskipun hanya mengandalkan keberanian sesaat.
Dari awal, Tristan juga tak menginginkan semua ini terjadi. Jika pada akhirnya dia adalah sosok berbahaya bagi Keanna, maka dia tanpa ragu akan menjadi tameng sempurna bagi gadis itu yang akan menghadang segala jenis bahaya yang mengancam.
*
Handoko menatap salah satu kursi kosong begitu ia mendudukkan tubuhnya.
"Mana Key?" tanyanya.
"A-ah, katanya Key gak begitu lapar. Tadi dia sempet beli makanan di luar," ujar Karin yang duduk di sebelahnya.
Usai mendengar itu, Ravano sempat melirik mamanya. Jelas kalau mamanya saat ini tengah berbohong. Key tak ikut makan malam karena alasan lain. Selain karena harus menyembunyikan luka di wajahnya, Key pasti memang sedang tak memiliki nafsu makan.
"Kayaknya dari tadi Kak Key gak keluar kamar terus." Tiba-tiba Irina berujar.
Karin mengerjap pelan mendengar ucapan putri bungsunya. "Kak Key lagi banyak tugas, Irina. Kan, bentar lagi mau pergantian semester," ujarnya seraya tersenyum. "Oh, iya, makan malam Key biar Mama aja yang—"
"Biar aku aja yang nganterin." Ravano menginterupsi.
Karin menatap lelaki itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Ia juga sempat melirik suaminya yang tampak tak menunjukkan tanda-tanda curiga. Ia jadi bisa sedikit lebih lega, setidaknya untuk saat ini Key bisa lolos dari amukan papanya sendiri.
"Sekolah kalian lancar, kan, Rav?" tanya Handoko tanpa menghentikan kegiatan makannya.
"Hm. Semuanya baik-baik aja."
"Baguslah. Bentar lagi pergantian semester dan Papa gak mau kalian punya masalah apalagi hal itu sampai berpengaruh sama nilai akademik kalian berdua."
Baik Ravano maupun Karin, keduanya sempat terdiam selama beberapa saat. Seketika mereka berpikir, kalau menyelesaikan masalah kali ini akan jauh lebih sulit dari yang sebelumnya karena harus diselesaikan secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan Handoko.
Usai makan malam, Ravano mengantarkan makan malam ke kamar Key. Lelaki itu mengetuk pintunya selama beberapa kali namun benda di hadapannya itu tak kunjung dibuka.
Ia kembali mengetuk beberapa kali, hingga akhirnya pintu itu perlahan bergerak, namun kembali ditutup begitu Key melihat wajah Ravano di sana.
"Gue bawa makan malam buat lo," ujar Ravano.
"Gak perlu. Gue gak laper."
"Key, lo harus makan."
"Apa peduli lo? Sana pergi." Suara Key terdengar menjauhi pintu, yang artinya gadis itu benar-benar enggan bertemu dengan siapapun.
Ravano membuang napas pelan. "Gue minta maaf karena tadi ngebentak lo—"
"Simpan permintaan maaf lo itu. Gue sama sekali gak butuh. Permintaan maaf lo itu gak ada gunanya sama sekali. Lo gak pernah bener-bener lepasin gue. Kenapa gue gak bisa ngelakuin apa yang gue mau? Gue punya kehidupan sendiri, Ravano!"
"Gue ngelakuin ini juga demi kebaikan lo, Keanna." Ravano mencoba menahan suaranya. "Gue gak mau ngeliat lo terlibat masalah sama orang-orang itu apalagi bikin lo terluka lagi kayak tadi."
Hening selama beberapa saat, sebelum akhirnya suara Key kembali terdengar.
"Lo ngelakuin ini sama sekali bukan buat kebaikan gue, tapi demi keegoisan lo sendiri. Ini sifat lo dari dulu, Rav. Gue tahu itu. Jadi sebaiknya lo pergi."
Ravano yang semula berniat kembali mengetuk pintu pun mengurungkan niatnya dan memilih pergi dari sana. Ia tak mau membuat suasana hati Key menjadi semakin kacau dengan keberadaannya.
Karin yang baru selesai mencuci piring itu pun menatap Ravano. Ia melihat nampan yang dibawa oleh putranya, "Kenapa masih utuh? Key gak makan?"
Ravano meletakkan nampan itu di meja makan lalu mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi. Lelaki itu menggelengkan kepala.
—tbc