Key menolehkan kepalanya ke belakang, tepatnya ke arah motor Ravano. Walau Ravano tak menunjukkan kalau ia marah, namun Key harus tetap waspada. Tidak menutup kemungkinan kalau lelaki itu akan memarahinya habis-habisan saat tiba di rumah nanti atau yang lebih parah adalah dia tak akan segan langsung mengadu pada papanya.
"Kenapa, Key?" tanya Tristan usai melirik Key lewat spion. Rupanya lelaki itu menyadari kekhawatiran Key di belakang sana.
"Gue khawatir Ravano terhasut sama omongan Axcel, Tris."
Tristan terdiam sejenak, kemudian ia melirik kembali spion dan menatap motor yang melaju tepat di belakangnya.
"Gue yakin Ravano pasti bukan orang yang akan dengan mudah dipengaruhi. Lo tahu, meskipun dia udah ngasih kepercayaan ke gue, tapi gak jarang kalo dia masih selalu ngawasin. Semuanya bakalan baik-baik aja."
"Tapi, Tris—"
"Keanna, dengerin gue. Lo adalah salah satu orang yang paling kenal sama Ravano, kan? Harusnya lo tahu apa yang bakalan Ravano lakuin. Dia bahkan masih ngizinin lo buat pulang sama gue. Jangan terlalu cemas, Key."
Key kembali menolehkan kepalanya ke belakang, sebelum akhirnya ia membuang napasnya pelan. Walaupun ia masih belum sepenuhnya yakin dengan ucapan Tristan barusan, namun hal itu ada benarnya.
Kali ini Ravano pasti berubah. Dia pasti tidak sama dengan Ravano yang pernah dikenalnya dulu. Key harus yakin akan hal itu.
Tak lama kemudian mereka tiba di rumah. Key sempat menatap Ravano yang memasukkan motornya ke dalam garasi. Kemudian gadis itu merasa ada sesuatu yang mengusap kepalanya.
"Kenapa lo sekhawatir itu?" tanya Tristan seraya tersenyum tipis. Sejujurnya ia lebih khawatir melihat memar di wajah Key.
Kedua mata Key menatap Tristan sejenak. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Ravano yang berjalan ke arahnya.
"Rav, gue— minta maaf soal yang tadi," ujar Tristan, hingga Key kembali menatap padanya.
"Lo gak perlu minta maaf. Semua itu bukan salah lo." Ravano berujar pelan, kemudian ia melirik Key di sebelahnya.
Key kembali membuang napasnya lega. Akhirnya, ia bisa sedikit lebih tenang dibanding yang tadi.
"Oh, iya, Tris." Ravano kembali berujar, "Mulai besok lo gak perlu datang ke sini lagi. Keanna ke sekolah sama gue." Ia melanjutkan.
Apa?
Senyuman Key yang tadi mulai semringah itu luntur seketika dan gadis itu menatap Ravano.
"Ra-Rav—"
"Lo bisa pulang sekarang. Makasih karena udah nganterin Key." Ravano mencekal salah satu pergelangan tangan Key dan membawa gadis itu menuju pintu utama rumahnya.
"Rav, tunggu—" Key menahan lelaki itu dan menolehkan kepalanya ke belakang, menatap seseorang yang masih bergeming di posisinya. "Tris!"
Di posisinya, Tristan menatap Key yang terlihat mencoba melepaskan diri dari cekalan Ravano walaupun tenaganya tak sebanding. Dengan sedikit paksaan, Tristan menarik kedua sudut bibirnya ke atas lalu ia melambaikan tangannya pada Keanna yang sudah memasuki rumah, hingga tubuh gadis itu benar-benar menghilang dari pandangan Tristan begitu pintunya ditutup.
"Sori, Key. Gue sebenernya udah tahu kalo hal seperti ini bakalan terjadi," batin Tristan.
*
"Kenapa lo ngomong kayak gitu, Rav?!"
"Masuk ke kamar lo, Keanna." Ravano melepaskan tangan Key tepat di depan pintu kamar gadis itu.
"Rav, apa mungkin lo bener-bener kemakan sama omongannya Axcel?" Key menatap kedua mata Ravano yang juga mengarah padanya. Wajah lelaki itu sedari tadi memang masih tampak begitu tenang, namun ternyata Key terlalu lengah. Dia terlalu santai sampai tak menyadari ada perubahan di dalam tatapan itu.
"Berhenti nyuruh Tristan ke sini lagi. Mulai besok lo bakalan berangkat ke sekolah sama gue, termasuk pas pulang."
"Rav!" Key dengan sigap menahan salah satu lengan Ravano saat lelaki itu hendak pergi. "Rav, bilang sama gue kalo ini bukan karena ucapan Axcel tadi. Dia cuma pengen kita berantem lagi kayak dulu, Rav! Dia ngelakuin itu karena—"
"KARENA DIA PUNYA MASALAH SAMA LO, KEANNA!" Ravano tiba-tiba menginterupsi dengan lantang, "DAN ITU SEMUA TERJADI GARA-GARA LO KENAL SAMA TRISTAN!!"
Tangan Key yang semula masih memegang lengan Ravano itu perlahan kembali jatuh ke samping tubuhnya. Gadis itu menatap kedua mata Ravano yang kini menatapnya nyalang.
"Gue dulu pernah bilang kalo keberadaan Tristan itu bakalan jadi ancaman buat lo. Dan apa? Ucapan gue bener!!" Ravano mengepalkan kedua tangannya. Dengan napas yang memburu, ia kemudian kembali berujar, "DAN JIKA SEJAK AWAL LO DENGERIN OMONGAN GUE, KEY, LO GAK BAKALAN DAPET LUKA BEKAS PUKULAN ITU!!!"
Tanpa sadar kini penglihatan Key memburam. Samar-samar ia menatap Ravano yang berjalan menjauhinya dan setelah itu ia mendengar suara bantingan pintu yang cukup nyaring. Key memejamkan mata rapat seraya mengepalkan kedua tangannya kuat.
"Ada apa ini? Kenapa Mama denger ada keributan? Kalian berantem lagi?" Karin berjalan mendekati Key yang terlihat berdiri di depan pintu kamar.
Karin mencoba mengangkat wajah Key agar menatapnya namun wanita itu malah dibuat terkejut begitu melihat adanya memar di salah satu sudut bibir Key.
"Ka-kamu kenapa, Key? Siapa yang ngelakuin ini? Apa Ravano mukul kamu?!" Karin terlihat panik dan menatap wajah putrinya dengan saksama. Ia memeriksa apakah di sana ada luka lain atau tidak.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Key menggelengkan kepalanya. Pandangannya masih tampak kosong, sebelum akhirnya ia bersuara, "tolong jangan bilang apa-apa ke Papa, Ma," ujarnya lirih.
"Tapi kenapa? Papa kamu perlu tahu, Key. Setidaknya dia bisa lapor ke pihak sekolah—"
Key menggelengkan kepalanya, "Enggak perlu, Ma. Dengan Mama gak bilang ke Papa pun, itu udah cukup. Dan ... aku juga gak pengin Irina tahu soal ini."
Karin menatap Key khawatir. Wanita itu lantas menganggukkan kepalanya pelan, "Tapi jika kamu ngerasain sesuatu, tolong jangan diem aja. Mama gak mau kamu kenapa-napa." Ia mengusap puncak kepala Key.
Key mengangguk. Dengan ditemani Karin, ia masuk ke dalam kamarnya. Kemudian wajahnya yang memar itu dikompres menggunakan air dingin.
"Maaf karena ngerepotin Mama," ujar Key.
Karin membuang napasnya. "Mama gak tahu lagi sekarang kamu ada masalah apa sama Ravano. Padahal hubungan kalian udah membaik dan itu udah bikin Mama sama Papa seneng. Kenapa sekarang jadi begini lagi? Siapa yang bikin kacau semuanya? Siapa orang yang udah tega mukul kamu sampai begini? Bener-bener bukan Ravano?"
"Bukan, Ma. Ceritanya agak panjang dan
... maaf karena aku belom bisa cerita sekarang."
"Oke. Tapi soal Papa kamu, lambat laun dia bakalan tahu akar dari permasalahan ini. Jadi, sebaiknya kamu harus segera ceritain semuanya, sebelum papa yang nyari tahu sendiri."
Key mengangguk. Setelahnya, Karin pergi dan membiarkan Key berada di sana sendirian.
Di luar, kedua kaki milik Karin melangkah menuju pintu kamar Ravano. Ia mengetuknya selama beberapa kali. Walaupun kemungkinan Ravano akan lebih sulit diajak bicara, namun setidaknya Karin harus memastikan sendiri apakah ada luka memar juga di wajah putranya atau tidak.
"Rav?" panggilnya. Tak lama kemudian pintu itu dibuka dan menampilkan Ravano di baliknya.
"Apa Mama boleh masuk?"
—tbc