Adel mengerjapkan matanya beberapa kali setelah mendengar apa yang baru saja Key katakan padanya saat gadis itu kembali ke kelas. "Jadi Ravano mukulin Andra? Kok bisa sih?"
Key mengedikkan bahunya. "Gue gak tahu."
"Terus sekarang gimana?"
"Tadi mereka dipanggil ke ruang BK, terus ya baikan."
"Ravano kan gak pernah berantem. Kok bisa sih?"
"Ya mana gue tahu. Pengen nyoba rasanya dipanggil ke ruang BK kali," ucap Key tak acuh.
"Mungkin Andra bikin dia kesel. Jadinya Ravano marah. Tapi kok sampe segitunya sih?"
"Bukan urusan gue, dan gue gak mau bahas itu. Mending sekarang gue ke perpustakaan. Biologi gurunya gak masuk, kan?" Key menyeringai tipis.
Adel tersenyum lebar. "Ikut!"
Key tersenyum dan menarik tangan Adel. Namun langkah mereka terhenti tepat di ambang pintu kelas begitu melihat Ravano yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana. Matanya menatap Key, sementara yang ditatap malah membuang muka.
"Yuk, Del!" Key menarik tangan Adel dan segera melanjutkan langkahnya. Namun dengan sigap Ravano menarik tangannya hingga pegangannya pada Adel terlepas.
"Mau lo apa?!" tanya Key dengan nada yang mulai meninggi.
"Ikut gue!" Ravano menarik tangan Key, sedikit mencengkeramnya. Cowok itu menarik Key tanpa mempedulikan segala protes yang dilayangkan Key padanya.
"Lepasin gue! Ravano!"
Orang-orang yang berada di koridor memperhatikan mereka berdua. Terlebih saat melihat keduanya berjalan menuju rooftop. Tempat yang jarang sekali dibuka oleh security sekolah karena tempat itu hanya digunakan sebagai tempat membolos oleh sebagian besar murid, terutama murid laki-laki. Selain itu, beberapa bagian pembatas masih dalam tahap perbaikan.
"Lo mau apa? Rav!"
Dengan cekatan Ravano membuka pintu rooftop dengan kunci yang sudah dia minta ke Pak Udin. Salah satu tangannya masih memegangi tangan Key. Dan dengan satu tarikan, dia kini telah berada di sana bersama dengan Key. Tidak lupa lelaki itu mengunci kembali pintunya.
"R-Rav, kenapa malah ke sini? Lo tahu kalo gue takut ketinggian! L-lo gak berencana buat-"
"Biar lo gak bisa lari, Key!"
Key tersentak. Dia menatap kedua mata Ravano yang berlihat berembun. Napas lelaki itu tersengal, seolah tengah menahan luapan emosi di dadanya.
"Kenapa? Lo gak suka?" Ravano terkekeh tanpa alasan sebelum kembali melanjutkan, "lo bisa loncat, Keanna!"
Ravano melepaskan tangannya dan dia mendorong tubuh Key mendekati pembatas rooftop yang sedang diperbaiki. Namun Key langsung berhambur ke pelukan Ravano. Memeluknya begitu erat dengan bahu yang bergetar hebat.
Ada rasa bersalah yang terbesit di benak Ravano saat Key menangis ketakutan sembari memeluknya dengan erat. Ravano tahu dia salah, namun hanya itu yang bisa dia lakukan. Dia hanya ingin bicara dengannya, tanpa adanya perlawanan.
"R-Ravano, gue takut!" jerit Key dengan tangisan yang kembali pecah. Dia bahkan meremas seragam Ravano hingga kusut.
Ravano meremas rambutnya. Tangannya terulur ke balik tubuh Key dan memeluknya erat.
"Maaf, Key. Gue cuma pengen lo nggak pergi lagi," ucapnya.
***
Adel melirik Key yang tengah mengerjakan tugas Biologi bersamanya. Sejak Key kembali, gadis itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Adel berkali-kali menghela napas ketika mulutnya ingin sekali bertanya. Namun dia takut merusak mood Key.
Ponsel milik Key bergetar begitu sebuah pesan masuk. Sang pemilik menghentikan kegiatan menulisnya dan melirik layar benda tipis itu. Nama Ravano langsung terlihat begitu ia membukanya.
From : Ravano
Nanti pulang bareng. Gue tunggu di parkiran.
Tanpa berniat membalasnya, Key kembali meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Rupanya Adel diam-diam memperhatikan sahabatnya itu. Melihat ekspresi Key yang masih datar, bisa ditebak kalau pesan itu dari Ravano.
"Kenapa, Del?" tanya Key ketika sadar Adel hanya bengong memandanginya. Gadis berambut sebahu itu mengerjap.
"Eh? Enggak kok. Hehe." Adel kembali menulis dengan kikuk.
"Del, hari ini lo pulang sama siapa?" tanya Key tiba-tiba.
"Sendiri. Kenapa?"
"Gue nebeng, ya?"
Gerakan tangan Adel terhenti dan mendongak, menatap Key yang juga masih menatapnya.
"Nebeng?"
Key mengangguk.
"Tapi kan rumah kita beda arah, Key."
Key tampak menggigit bibir bawahnya. Gadis itu tampak berpikir. Dia tidak ingin pulang bersama Ravano. Sekalipun lelaki itu memaksa. "Kan kemaren juga lo nawarin gue, Del."
Adel yang sudah bisa menebak isi kepala Key lalu berkata, "Ravano ngajak lo pulang bareng, ya?"
Key terdiam, dan hal itu semakin menguatkan dugaan Adel. Pesan yang diterima Key tadi pasti dari Ravano.
"Saran gue, sebaiknya lo terima aja. Sori gue ngomong gini, tapi sekarang kalian saudara dan kalian serumah. Gak ada salahnya kalian pulang bareng. Mungkin ada hal yang pengin Ravano omongin sama lo, tapi selalu gagal karena lo yang selalu menghindar. Lo harus sedikit lebih dewasa, Key. Mungkin ini emang takdir kalian berdua. Kalian emang ditakdirkan bersama, tapi hanya sampai sebatas saudara. Bersyukur Key, setidaknya Tuhan masih kasih kesempatan kalian buat bersama."
Ucapan Adel seakan menampar Key secara bertubi-tubi. Gadis itu benar, tampaknya Key memang sedikit egois. Bukan ini yang dia harapkan, dan Tuhan tidak mengabulkan harapannya. Dengan kata lain, Key menolak takdirnya.
"Gue mungkin bisa nerima Ravano," ucap Key. Dia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "tapi gak sekarang."
Bahu Adel merosot seketika. "Lo bisa, Key. Maka dari itu lo harus membiasakan diri. Jangan menghindar. Semakin lo menghindar, semakin kuat rasa cinta dan benci lo. Inget Key, Ravano gak salah. Dia juga di posisi yang sama kayak lo, tapi bedanya dia bisa menerima meskipun mungkin hatinya juga sakit. Posisi kalian sama, Key. Kalian jatuh bersama, kalian juga bisa bangkit bersama."
Segala kalimat yang hendak keluar dari mulut Key tertahan begitu saja di kerongkongan. Hatinya kembali menjerit. Dia ingin protes dengan segala ucapan yang dilontarkan Adel, namun rasanya terlalu sulit. Ucapan Adel ada benarnya, Key tahu itu.
***
"Keanna itu cantik. Ya seneng lah jadi Ravano, bisa ketemu tiap waktu. Kan mereka serumah. Bisa tidur sekamar juga, kan? Hahaha."
"b******k!"
BUGH!
Ravano menghela napas mengingat ucapan Andra dan teman-temannya tadi. Ketua OSIS b******k itu diam-diam membicarakannya dan Key tanpa menyadari kalau orang yang tengah mereka bicarakan itu tepat berada di depan meja mereka.
Mengingatnya saja sudah membuat emosi Ravano naik, apalagi saat teman-teman Andra mengucapkan kata-kata yang tidak pantas terhadap Key.
Ravano mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia juga bisa berontak jika dia mau. Tapi dia melakukan semua ini demi kebahagiaan mamanya. Dia ingin melihat sang mama bahagia.
Jam tangan Ravano sudah menunjukkan jam dua lewat lima belas. Itu artinya, bel jam terakhir juga sudah berakhir lima belas menit yang lalu. Jam terakhir di kelas Ravano kebetulan kosong karena guru tidak datang. Hanya ada tugas, dan itu pun baru beberapa nomor yang Ravano kerjakan. Lagi pula tugasnya dikumpulkan besok.
Kesempatan ini tidak Ravano sia-siakan. Dia lebih cepat datang ke parkiran sebelum Key benar-benar pergi mendahuluinya. Dia sebenarnya ingin menunggu di depan kelas gadis itu, namun dia tidak ingin mengganggunya dan malah membuatnya semakin kesal.
Ravano merogoh saku celana dan segera menelepon Key. Namun nomornya ternyata tidak aktif. Ravano mendengus. Sudah dipastikan kalau Key sengaja melakukannya.
Dia segera mencari kontak Adel dan berusaha menelepon cewek itu, namun sayangnya tidak diangkat.
"Nggak mungkin bareng Adel, kan? Rumahnya bahkan beda arah," gumam Ravano. Akhirnya dia memutuskan untuk ke kelas Key, namun matanya dengan cepat melihat seseorang yang berjalan ke arahnya. Kedua sudut bibir Ravano perlahan terangkat.
— To be continued