9. Permintaan Maaf

1100 Kata
"Mati lo! Mati! Mati! Mati!" Kinn hanya pasrah saja saat Adel tidak henti-hentinya memukuli punggungnya dengan buku paket. "Ish, udah dong! Gue kan gak sengaja!" Kinn menyingkirkan tangan Adel dan bersidekap. Adel terdiam. Kedua matanya lalu memelotot. "Apa lo bilang? Gak sengaja? Pala lo gak sengaja!" Adel mencubit tangan Kinn hingga membuat lelaki itu mengerang. "Key pingsan gara-gara lo, b**o! Gak ada hati emang lo ya maen lempar-lempar bola ke kepala orang!" "Iya, ampun! Ampun!" Kinn mengusap tangannya yang memerah begitu Adel melepaskan cubitannya. Gadis itu masih menatapnya garang. "Gue kan udah bilang sama lo, kalo dia lagi gak enak badan," ucap Ravano yang duduk di pinggiran ranjang. Dia menatap Key yang masih belum sadar. "Tuh kan! Ravano aja udah bilang sama lo! Dasar gak ada akhlak lo ya!" Adel kembali memukuli Kinn menggunakan buku paket di tangannya. "Iya, iya, maaf!" Kinn langsung merebut buku itu. "Gue pikir si Key cuma lagi bete kayak biasanya. Gue pengin liat dia ngomel-ngomel lagi kayak dulu." "Tapi gak gitu juga, b**o!" Adel menabok lengan Kinn dengan kesal. "Ish, gue kan udah minta maaf, Net!" Adel menatap Kinn geram dan kembali memukulinya. "Nama gue Adel!" "Aw! Sakit, oy! Lagian nama lo kan emang ada Junet-Junetnya." "Nama depan gue Zaneth!" "Halah, beda dikit." "Jauh, oy!" "Udah dong, kalian gak kasian apa sama yang lagi pingsan?" Ucapan Ravano membuat Adel dan Kinn terdiam. Tidak lama kemudian, Key sadar dan mendudukkan tubuhnya. Dia menatap teman-temannya yang berada di sana. "Lo di UKS. Tadi lo pingsan," jelas Ravano. Tiba-tiba Kinn mendekat. "Maafin gue ya, Key. Gue bener-bener gak ada niatan bikin lo pingsan kayak gini. Gue pikir lo cuma lagi badmood kayak biasanya." "Jadi lo yang tadi ngelempar bola ke gue?" Kinn mengangguk. Key memijat pelipisnya. "Gendong gue sampe ke kelas." "Hah?" Kedua mata Kinn mengerjap. Bahkan Adel pun ikut terkejut. "Lo bisa minta tolong Ravano—" "Gendong." "Lo masih marah sama Kinn? Dia udah minta maaf," ucap Ravano. Namun Key sama sekali tidak mempedulikannya. "Key, tapi kan kelas lo ada di atas. Apa lo tega lihat gue naik tangga sambil gendong lo?" Kinn memasang tampang memohon. Jarak dari UKS ke kelas Key cukup jauh. Apalagi jika sambil menggendong gadis itu. Key menatap Kinn penuh. "Apa lo tega lihat gue pingsan lagi?" Kinn pasti sudah melemparkan tubuh Key yang sekarang berada di gendongannya. Namun dia tidak tega. Pertama, Kinn sudah membuat gadis itu pingsan. Ke dua, Ravano berada tepat di sebelahnya. Dia akan langsung mati muda jika berani melemparkan Key ke tengah lapangan. "Gue tahu lo pasti lagi nyumpahin gue, kan?" Key berujar di belakang Kinn dan memukul-mukul kepala lelaki itu, tanpa peduli orang-orang yang menatapnya. "Sakit, oy! Gue lempar juga nih lo ke tengah lapangan!" ancamnya. "Lo masih sayang sama kepala lo, kan? Kebetulan gue lagi pengin nebas kepala orang nih." sahut Adel di belakang. "Psikopat lo, Net!" Adel dan Key saling bertatapan dan menyeringai puas. Sementara Ravano hanya menggelengkan kepalanya. *** Key segera turun dari motor Ravano ketika mereka sudah sampai di rumah. Setelah memberikan helm kepada Ravano, gadis itu langsung pergi mendahuluinya. Betapa terkejutnya Key saat Irina berlari memeluknya sembari menangis. Key langsung berjongkok, menyamakan tingginya dengan Irina dan mengusap air mata anak itu. "Irina kenapa nangis, hm?" "Kenapa Kakak gak bilang kalo Kakak takut ketinggian? Harusnya tadi malam aku nggak maksa Kakak terus. Gara-gara aku Kak Key jadi sakit." Irina lantas memeluk erat leher Key. Sementara kakaknya itu tampak mengerjap, cukup terkejut dengan penuturan Irina. Ravano yang baru saja datang langsung bertanya, "Irina kenapa?" "Kak Key sakit gara-gara aku." Irina kembali terisak. "Mama cerita sama Irina tentang phobia Key. Supaya Irina tahu dan terbiasa. Dia gak akan lagi ngajak Key ke tempat-tempat tinggi," ucap Karin yang baru saja datang. "Kenapa harus diceritain? Aku gak masalah selama Irina seneng." Key mengusap puncak kepala Irina. "Tapi Mama khawatir kalau kamu gini terus. Setidaknya Irina harus tahu." "Maaf ya, Kak." Irina kembali berucap. Key tersenyum tipis dan mengangguk. "Kakak udah sembuh kok. Sekarang Kakak mau ganti baju dulu, ya?" Key menatap Karin sejenak sebelum akhirnya berjalan menaiki tangga. Karin menatap punggung Key yang menjauh. Sudah lima bulan, namun sikap Key tidak mengalami perubahan. *** Suasana balkon ramai ketika Irina dan Ravano berselisih pendapat. Ravano berusaha membantu Irina mengerjakan PR, namun adiknya itu memprotes saat cara yang dikatakan Ravano berbeda dengan yang diajarkan oleh gurunya di sekolah. Key yang baru saja keluar dari kamar tidak sengaja mendengar keributan itu dan berjalan ke arah balkon rumahnya. Irina yang menyadari kedatangannya langsung berseru dan menyuruh Key duduk di sebelahnya. "Kak Ravano, tuh! Masa soal SD kayak gini aja gak bisa," adu Irina pada Key. "Nggak gitu, oy! Punya Kakak juga caranya bener, jawabannya aja sama," protes Ravano. Kedua alis Key bertaut. Dia lalu mengambil buku milik Irina dan memeriksanya. "Udah bener kok. Punya Kak Ravano jawabannya udah bener." Ucapan Key membuat Irina mengerjap, sementara Ravano memasang tampang sombong. "Cara ngerjain soalnya beda-beda, kalo Irina bisanya pakai cara yang diajarin di sekolah, pakai yang itu aja." Irina mengangguk paham. Dia lalu kembali mengerjakan tugasnya, sesekali dibantu Key. "Kakak ngambil camilan dulu. Mau sekalian nitip gak?" Ravano bangkit dari tempatnya. "Nitip es krim vanila sama camilan rasa keju yang kayak kemarin," ucap Irina tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. "Kakak ke dapur, oy! Bukan ke minimarket." "Ambil apa aja yang masih ada." Key segera menengahi sebelum mereka berdua kembali berselisih. Meskipun kelihatannya mereka akrab, tapi Irina tetaplah sosok anak normal yang terkadang bisa bersikap menyebalkan di mata Ravano. Maka tidak jarang mereka bertengkar. "Ya udah deh." Key kembali fokus pada Irina. Namun getaran ponsel milik Ravano mengalihkan perhatiannya. Gadis itu menoleh ke arah pintu dan tidak mendapati tanda-tanda Ravano kembali. Dia pun mengambil ponsel Ravano dan melihat siapa yang menelepon. Ini nomor siapa? Tanpa pikir panjang, Key langsung mengangkat panggilan itu. Keningnya berkerut saat mendengar suara perempuan. "Halo, Rav?" Key terdiam. Rasanya dia tidak asing dengan suara itu. "Rav, ini gue, Silvi." Kedua mata Key sontak berputar. Malas. Mau apa Silvi menelepon Ravano? Dan dari mana dia tahu nomornya? "Apaan?" Key menjawab malas. "Loh? Ini siapa?" "Ya menurut lo?" Hening selama beberapa saat, sebelum Silvi kembali berkata, "Keanna?" "Hm." "Ravano ada? Kalo ada tolong kasihin HP-nya—" "Sibuk." "Hah?" "Ravano lagi sibuk ngerjain tugas bareng gue." Key menguap. Tugas Irina maksudnya, batin gadis itu. "Oh, ya? Mana coba gue mau ngomong—" Pip. Key menatap datar layar ponsel Ravano. Dia langsung mem-black list nomor ponsel kakak kelasnya itu, tanpa mempedulikan bagaimana reaksi Ravano nanti. "Dasar centil," gumamnya setelah meletakkan ponsel Ravano di tempat semula. Kemudian dia kembali fokus mengajari Irina. Dan tidak lama setelahnya, Ravano datang. — To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN