10. Perasaan

1379 Kata
Ravano memijit pangkal hidungnya mendengar celotehan gadis yang berada di depannya. Beberapa orang yang berlalu-lalang menatap mereka aneh, terutama ketika gadis di depan Ravano itu meninggikan suaranya. "Pokoknya lo harus marahin Keanna!" Silvi menekan bagian ujung kalimatnya. Dia mendengus kesal mengingat kejadian kemarin sore, tepatnya ketika Key menjawab telepon darinya. Apalagi respon gadis itu sangat menyebalkan. "Apaan coba maksudnya dia sampe blokir nomor gue dari HP lo?" Kedua alis Ravano semakin bertaut. "Tapi gue bener-bener gak tahu. Lagian Key juga gak ngomong apa-apa." "Lo kan kakaknya. Jadi lo harusnya nyuruh dia buat gak nyentuh HP lo. Apalagi maen blokir nomor orang aja. Kan gak sopan. Lo harus lebih tegas lagi sama Key." Silvi berujar dengan ekspresi 'tidak mau tahu dan pokoknya harus'. "Key itu gak suka dinasihatin. Semakin dia dikasih tahu, semakin dia membangkang." Silvi menghela napasnya kasar. Sejak dulu dia memang tidak pernah menyukai sikap Key. "BTW lo tahu nomor gue dari siapa?" "Dari cowok yang sering sama lo itu." Silvi tersenyum lebar. Sementara Ravano mengutuk teman sebangkunya dalam hati. "Key, lihatin apa sih?" Adel menghampiri Key yang sejak tadi menatap pemandangan di bawah sembari menopang dagu. Adel berusaha mencari objek yang menarik perhatian Key sejak tadi. Sesaat kemudian dia melihat sesuatu di salah satu koridor di bawah sana. Gadis itu menyeringai tipis lalu melirik Key. "Lo cemburu, ya?" "Enggak," jawab Key dengan tampang lempeng. "Gue cuma ngasih tuh cewek pelajaran. Gak ada kapoknya emang, masih aja ada niat nempelin Ravano." "Key?" Adel berkedip beberapa kali. "Lo tahu? Kemarin dia nelepon Ravano dan kebetulan gue yang angkat karena Ravano lagi ke dapur. Gue bilang aja Ravano lagi sibuk. Gue blokir aja deh nomornya." Ucapan Key membuat Adel memijat pelipisnya. "Itu namanya cemburu, Keanna," geramnya. "Enggak kok. Gue gak suka aja sama tingkahnya. Centil banget bikin gue mual. Apalagi setelah tahu kalo gue sama Ravano ganti status jadi sodara, makin menjadi aja kelakuannya." Adel berkedip dua kali. "Artinya lo ... Udah nerima Ravano? M-maksud gue, lo udah nerima status kalian yang baru?" Key berbalik dan menyandarkan punggungnya di pembatas koridor. "Belom sih. Tapi sesuai ucapan lo, gue berusaha buat gak egois. Mungkin sekarang untuk masalah Ravano sama Irina, gue masih bisa handle. Tapi kalo nyokapnya, gue ... Masih berat, Del. Gue masih gak ikhlas kalo ada yang gantiin posisi mama." "Key, gak ada yang berusaha gantiin posisi Tante Diana. Om Handoko itu pengen lihat lo bahagia lagi. Dia tahu kalo nyokapnya Ravano itu wanita terbaik yang bisa melengkapi hidupnya sekarang. Lo harusnya juga kasih kesempatan buat bokap lo bahagia." Adel mengelus bahu Key. "Lo selalu aja sabar nasihatin gue, Del." "Gak masalah. Gue juga gak mungkin diem aja lihat sahabat gue murung terus. " Key tersenyum. "Thanks, ya. Gue bakalan nyoba. Mungkin bener, gue cuma butuh waktu buat membiasakan diri sama diri gue yang sekarang. Dulu gue terlalu berekspetasi terlalu tinggi, tanpa tahu rencana Tuhan yang sebenernya. Gue harusnya belajar menerima sejak awal. Dan gue, gak seharusnya benci sama Ravano dan keluarganya." "Key, semuanya hanya soal waktu dan bagaimana lo menyikapinya. Lo harus inget, Ravano juga berada di posisi yang sama." Key tersenyum tipis. Dia yakin bisa melewatinya. Meskipun jika menyangkut perasaan, Key sendiri tidak tahu apakah perasaannya akan hilang atau justru ... Sebaliknya? *** Semua kantin selalu penuh saat jam istirahat. Hal ini yang menjadi salah satu alasan Key ogah ke sana. Selain karena harus mengantre, di sana juga banyak murid laki-laki yang super menyebalkan. "Del, balik aja yuk. Antreannya panjang banget." "Ih, enggak ah. Gue laper. Percuma kalo ke kantin sebelah juga, pasti bakalan sama aja. Tanggung udah masuk antrean." Ucapan Adel membuat bibir Key mencebik. Akhirnya dia menurut saja. Jika saja perutnya tidak lapar, dia pasti memilih untuk diam di kelas. "Keanna?" Key menoleh begitu namanya disebut. Dia melihat Andra yang baru saja membeli minum. "Oh, hai," sapa Key. "Hm ... Luka lo udah sembuh?" Andra tersenyum tipis. "Udah kok." "Bagus deh. Maaf soal Ravano, ya. Kayaknya kemarin itu dia lagi khilaf," ucap Key. Namun Andra malah terkekeh. "Harusnya gue yang minta maaf sama lo." Key dan Adel saling berpandangan. "Kenapa lo minta maaf ke gue?" "Ravano emangnya gak cerita?" "Ravano cerita apa, Key?" tanya Adel. Key menggelengkan kepalanya, merasa Ravano tidak pernah lagi membahas perkelahiannya dengan Andra beberapa hari yang lalu dan tidak pernah mengatakan apa pun. "Gue waktu itu ngomongin hal-hal gak pantes tentang lo pas bareng temen-temen gue. Ternyata Ravano juga ada di sana dan dia denger. Gue langsung kena amuk deh." Andra kembali tertawa. "Jadi itu alesan lo gak ngelawan?" "Gue salah, jadi ngelawan pun percuma meskipun resikonya muka gue babak belur." Salah satu alis Key naik. "BTW emangnya lo ngomongin apa?" Andra tersenyum tipis. Dia hendak menjawab namun seseorang tiba-tiba datang dan berdiri di depannya. "Lo gak usah ngomong apa pun sama dia," ucap Ravano seraya menatap Andra penuh. Dia sedikit menarik Key ke belakangnya. Hal itu membuat Andra tertawa pelan. "Santai, Rav. Gue gak macem-macem kok." Key yang melihat itu segera buka suara, "gue barusan cuma—" "Mending lo sama Adel nunggu di meja," potong Ravano tanpa mengalihkan pandangannya. "Dan lo, gak usah ngungkit lagi soal kemarin." Kedua bahu Andra naik. "Gue cuma minta maaf sama dia. Kalo gitu gue pergi ya Key, sebelum abang lo yang super galak ini ngamuk lagi." Lelaki itu tertawa dan pergi dari sana. Tangan Ravano mengepal saat Andra sengaja menekan kalimatnya. Dia hendak berbalik dan mengejar Andra namun Key dengan cepat menahan lengannya. *** "Lo gak usah ngomong apa pun sama dia." "Emang seberapa kurang ajar omongan Andra?" Key bergumam di depan gerbang seraya menunggu Ravano yang berada di parkiran. Apa pun yang dibicarakan Andra tempo hari, pasti itu juga akan terdengar buruk di telinganya mengingat Ravano sampai bisa langsung memberi Amdra bogem mentah tanpa pikir panjang. Lamunan Key seketika buyar begitu seseorang berdiri di sebelahnya. Gadis itu meliriknya malas. "Ngapain lo?" tanya Key dengan wajah yang mulai tidak bersahabat. Silvi lalu menatapnya. "Gue? Mau pulang lah." Kedua mata Key memicing. "Kenapa harus diem di sini? Kayak gak ada tempat lain aja." "Eh, lo bisa gak sih sopan dikit kalo ngomong sama gue? Gue ini kakak kelas lo. Setidaknya panggil kakak atau apa kek." Salah satu alis Key naik. Gadis itu lalu bersidekap. "Kenapa gue harus sopan? Lo aja gak pernah sopan sama gue. Dan lagi Ravano juga gak pernah manggil lo pake sebutan kakak. Lo gak protes tuh. Berarti gue juga sama dong?" ucap Key membuat Silvi menggeram pelan. "Lo juga kemarin ngapain pake acara blokir nomor gue di HP-nya Ravano?" "Kan gue udah bilang kalo Ravano sibuk." "Lo sekarang cuma adik tirinya, ya. Gak usah sok!" Kedua mata Key mengerjap. Salah satu sudut bibirnya naik. "Cuma lo bilang? Justru karena gue sekarang adiknya, jadi gue bisa ngelakuin apa pun yang gue mau. Dan lo gak berhak nasihatin gue. Karena lo ... Bukan siapa-siapa." Key tersenyum menang melihat Silvi yang semakin kesal. Tidak lama kemudian, motor milik Ravano berhenti di depan mereka. "Ada apa?" tanya lelaki itu menatap Key dan Silvi bergantian. "Nggak ada." Key berpegangan di salah satu bahu Ravano dan hendak naik sebelum— "Rav, lo bisa anterin gue pulang, kan?" Key yang masih berdiri di tempatnya itu langsung memelotot ke arah Silvi yang kini tersenyum senang. "Eh, lo gila? Pantesan aja lo dari tadi diem di sini." "Loh? Tapi gue pulang sama Key," ucap Ravano yang kini menatap wajah Key yang mulai kesal. "Sekali aja, please. Gue buru-buru." "T-tapi—" "Gue gak izinin. Ravano pulang sama gue, dan lo tahu itu." "Ayolah, Key. Gue buru-buru nih." "Alesan." Key membuang muka. "Lo naik angkot aja. Bisa, kan?" Tiba-tiba Silvi menyerobot hingga tubuh Key bergeser. Tanpa persetujuan apa pun, Silvi langsung naik ke atas motor Ravano. "Heh! Yang nyuruh lo naik siapa?!" protes Key tidak terima. Ravano mendadak blank jika sudah begini. Key pasti nanti akan marah, tapi di sisi lain dia juga tidak mungkin memarahi Silvi dan menyuruhnya turun. Gadis itu juga pasti tidak akan menurut. "Ya udahlah terserah. Pergi sana!" Key kembali membuang mukanya. "Gue naik angkot aja." "Lo yakin? Hati-hati ya, apalagi kalo angkotnya penuh sama anak-anak sekolah lain." "Berisik lo. Buruan pergi!" usir Key tanpa mempedulikan ucapan Ravano. "Makasih, Keanna." Silvi tersenyum lebar dan memberi kode agar Ravano segera menjalankan motornya. Perlahan motor Ravano menjauh, lelaki itu menatap pantulan Key lewat spion. — To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN