Prolog

691 Kata
“Siapa wanita ini?” Sonya memandang pada sebuah foto pernikahan yang digantung di depannya. Dia tidak akan menanyakan siapa perempuan yang ada dalam foto tersebut, jika laki-laki di samping perempuan itu bukanlah ... suaminya. “Kamar ini ... masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Tapi ... semua foto yang terpajang di sini, bukan diriku.” Dia bergumam menatap pada cermin, meraba dahi, pipi, hingga bibirnya. “Tak ada yang berubah dengan wajahku. Foto itu memang bukan aku!” Kecelakaan tiga tahun lalu membuat Sonya kehilangan penglihatannya. Dia sempat frustasi, tapi selama ini sang suami yang menjadi alasan dirinya untuk tetap bisa hidup. Pria tersebut menjadi sandaran di tengah keadaan yang rapuh. Bagi Sonya, keberadaan sang suami di sisinya adalah pelita di saat Tuhan memberinya kegelapan. Namun siapa sangka, selama ia tak bisa melihat dunia, ternyata sebuah pengkhianatan sedang terjadi di depan mata. “Hardi, siapa perempuan ini?” tanya Sonya sambil menitikkan air mata. Dia berada di kamar itu sendiri, tentu saja tak ada yang menimpali pertanyaan tersebut. Sonya berjalan mengitari kamar yang sudah tiga tahun tidak dilihat olehnya, lalu detik ini saat penglihatannya kembali, foto pernikahan yang dipajang di depan ranjang telah berubah. Perempuan tersebut menutup mulut agar suara tangisnya tidak keluar. Sebagai perempuan, pikirannya mengeluarkan segala kemungkinan. “Jika selama ini foto ini ada di sini, itu artinya ... semua orang yang bekerja di sini juga melihatnya.” Sonya memejamkan mata, sebulir bening menetes basah di pipi. Sepertinya, bukan hanya sang suami, tapi semua pekerja di rumah ini juga dibayar untuk berkhianat padanya. “Apa dia menikah lagi? Kenapa berani-beraninya dia memajang foto pernikahan mereka di kamar pengantinku!” Suara Sonya tampak bergetar karena tenggorokannya mulai tercekat oleh tangisnya. “Hanya karena aku menjadi buta, jadi ini caramu untuk menyingkirkanku, Hardi?” lanjutnya lagi dengan lirih. “Apa jangan-jangan, jatuhnya aku di gunung kemarin itu disengaja?” Pikiran Sonya mulai melanglang buana pada hari di mana dia tergelincir saat mendaki. Awalnya Sonya menolak untuk naik gunung, tapi Hardi berjanji untuk tidak naik terlalu tinggi. Dia hanya akan membawa Sonya hingga air terjun Gunung Putri yang posisinya tidak jauh dari kaki gunung. Mereka hanya berdua, hingga Sonya sangat menikmati perjalanan mereka. Namun, Sonya tidak ingat bagaimana, dia tiba-tiba kehilangan pegangan. Kaki pun tergelincir dan jatuh, setelah itu ia tidak ingat apa pun. Hingga saat ini ia terbangun di sebuah kamar dan mendapatkan kembali penglihatannya. “Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi! Maka dari itu, mereka jangan sampai sadar kalau aku sudah bisa melihat.” Sonya menghapus air matanya, lalu ia mengambil salah satu foto berukuran 4R yang tersimpan di nakas. Sebelum Sonya menjadi buta, itu adalah foto kenangan Sonya dan suami saat mereka mendaki gunung Bromo. Namun, kini foto itu berubah menjadi suaminya dengan wanita lain yang diambil di tempat serupa. Bibirnya tersenyum sinis, walau hatinya merasa sangat miris. Dengan penuh kekesalan, Sonya pun mengambil foto tersebut. Dia mengangkatnya ... dan ...! ‘BRAK!’ Suara pecahan memekakkan telinga dan menarik perhatian banyak orang. “Aah!” jerit Sonya sambil meraba-raba. “Nyonya Sonya?” Terdengar suara seseorang menghampiri dia. “Sayang, kau sudah sadar?” Ini adalah suara Hardi, suami Sonya. “Tolong, aku tidak sengaja menjatuhkan sesuatu.” Sonya membungkuk dan tangannya meraba pada angin di depannya. “Kau menjatuhkan bingkai foto kita. Tak apa, yang penting kau tak terluka!” Hardi menuntun Sonya agar kembali ke ranjang. Dalam hati Sonya mengumpat. "Foto kita? Dasar laki-laki buaya!" “Kau datang kemari bersama siapa?” tanya Sonya, karena ia yakin jika ia mendengar suara orang lain tadi. “Itu saya, Nyonya! Saya akan membersihkan pecahan kacanya,” jawab perempuan tersebut. Sonya mengangguk. “Terima kasih!” Dia sangat mengenal suara perempuan itu. Perempuan yang dikenalkan sang suami padanya setelah ia menjadi buta, untuk menjadi kepala ART menggantikan orang kepercayaannya. “Ririn!” panggil Sonya lagi. “Iya, Nyonya!” Wanita yang sedang membungkuk dan memunguti pecahan kaca itu menoleh ke arah Sonya. Jelas terlihat oleh Sonya bagaimana wajah dari perempuan tersebut. Senyum mengembang dari bibir Sonya, dia mendapatkan jawabannya. “Tidak apa-apa! Lanjutkan saja pekerjaanmu!” “Ririn, jadi kaulah wanita ular di foto itu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN