Bab 1. Curahan Hati dari Hardi

1461 Kata
Curahan hati dari Hardi. Beberapa hari sebelum kejadian di Gunung Putri. Selama ini aku menjadi tulang punggung keluarga. Kebahagiaanku sebagai seorang anak sulung laki-laki adalah ketika melihat ibuku bahagia. Tidak ada wanita lain yang ingin kubahagiakan di dunia ini selain ibu. “Hardi, kalau Sonya tak bisa segera punya anak, maka apa yang harus kamu lakukan? Kamu tahu kalau ibu tidak bisa hidup selamanya hanya untuk menunggu sampai istrimu hamil!” ujar ibuku di dalam kamarnya. Permintaan ibu adalah sesuatu yang mutlak bagiku, tentu aku tidak bisa menolak. Mengenai masalah anak, sudah sejak lama aku memikirkan jalan keluar untuk itu. “Ibu tidak perlu khawatir, sebentar lagi Ririn pasti hamil!” timpalku sambil memeluk ibu dari belakang. “Nah! Kamu makanya harus berusaha, jangan banyak disuruh-suruh itu Ririn kalau sedang di rumah! Buat dia betah, dia itu mengandung calon anakmu, Di!” Aku tersenyum, saran dari ibu memang selalu benar. “Iya, aku mengerti ibu pasti khawatir! Nanti aku akan minta Ririn agar banyak istirahat!” “Bukan kamu saja! Tapi Si Sonya juga! Ajari dia mengurus dirinya sendiri walau dalam keadaan buta, biar tidak selalu repotkan Ririn. Sonya itu, padahal dia tidak bisa hamil, tidak bisa beri kamu keturunan. Masih saja tidak bisa mandiri!” Kalau ibu sudah membahas masalah cucu, maka dia pasti akan menggebu-gebu menyalahkan Sonya. Karena Sonya yang menjadi biang kerok dari semua ini. Semua masalah hidupku memang dimulai dari Sonya. “Iya, Hardi janji akan mendidik Sonya agar lebih tahu diri lagi dan tidak merepotkan orang lain nantinya!” janjiku pada ibu. Ibu tersenyum, dia mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang. Aku merasa jadi anak laki-laki paling berharga jika ibu sudah mengusapku seperti ini. “Ibu bangga padamu, Hardi! Kamu selalu melakukan segalanya untuk membahagiakan ibu! Ibu tahu, kalau menikah dengan Sonya itu pasti sulit karena dari awal kamu tidak mencintainya. Tapi kamu tetap menikahi wanita itu, hanya untuk membahagiakan ibu. Terima kasih, ya, Nak!” Aku menatap pada matanya yang bergetar dan pipinya yang mulai keriput. Wajah ini adalah wajah pertama yang aku lihat saat lahir di dunia ini. Tentu, apa pun akan kulakukan demi kebahagiaannya. “Kamu pantas mendapatkan semua ini! Sonya itu tidak bisa mengurus harta peninggalan orang tuanya, dia malah kecelakaan, lalu menjadi buta dan tidak berguna! Seandainya bukan kamu yang menjadi suami Sonya, wanita buta itu pasti sekarang sudah menjadi gelandangan! Ibu percaya, Tuhan akan mengabulkan doa kita!” “Terima kasih, Bu! Semua tidak akan bisa kudapatkan tanpa doa darimu!” “Mas! Mas Hardi!” Suara Ririn yang merengek terdengar dari luar. Ibu pun langsung menepuk pundakku. “Itu, Si Ririn minta ditemani kayaknya! Sudah sana!” Segera aku keluar dari kamar ibu dan menemui perempuan cantik yang aku cintai ini. Walau kadang aku agak kesal kalau dia sudah sok manja dan selalu merengek seperti sekarang. “Ada apa ...? Jangan kencang-kencang, nanti Sonya dengar suaramu.” Aku bicara dengan suara yang lirih pada cintaku ini. Tapi menyebalkannya, wanita manja ini malah mengerucutkan bibir. “Mas kok tidak langsung ke kamar? Kan, sudah tahu aku tidak mau ditinggal sendiri kalau malam.” Aku hanya bisa menghela napas. “Rin ..., kita di sini jangan sampai ketahuan sama Sonya. Jadi aku tidak bisa setiap malam menemanimu.” “Ah, Sonya sudah tidur duluan! Kamu memang tidak pernah ada keinginan untuk menemaniku!” Wanita ini malah berjalan dengan cepat dan merajuk meninggalkanku. Sebenarnya aku kesal, tapi ekspresi marahnya sambil mengentak-entakkan kaki seperti tadi, terlihat sungguh seksi. Apalagi jika dilihat dari belakang seperti sekarang, tubuh Ririn benar-benar mungil dan sangat menggairahkan. Kalau sudah begini, tanpa pikir panjang. Aku segera menyambar dan menggendong wanita muda ini untuk menuju ke kamar. “Aaah ...!” Ririn yang terkejut karena tiba-tiba kugendong tak sengaja berteriak. “Hardi ...?” Belum usai hajatku dengan Ririn, kali ini masalah yang sesungguhnya malah datang. Ririn mengalungkan tangannya pada leherku, lalu dia berbisik, “Itu ... ada Sonya ....” Dia bersembunyi pada ceruk leherku. “Iya ... biarkan saja,” timpalku sambil berjalan dengan lebih pelan menggendong Ririn. “Hardi ...?” Wanita buta itu masih memanggil-manggil namaku sambil tangannya meraba-raba dinding. “Jangan ... ber ... suara ....” Aku berbisik pada Ririn agar tetap diam. “Hardi ...? Apa aku salah dengar? Kamu di mana?” Dia malah bicara sendiri walau tak ada yang menimpali. Kami berpapasan, aku mencoba memeluk Ririn lebih erat dalam dekapanku. Kulewati si buta yang sedang meraba-raba dinding tersebut dengan melangkah secara perlahan. Selangkah, dua langkah .... Cukup berat juga, menggendong Ririn dengan kaki setengah jinjit. Hingga pada akhirnya, kami berhasil melewatinya. Lalu aku pun membawa Ririn ke kamarnya dan kami pun saling menyalurkan gairah agar bisa memenuhi keinginan ibuku. ** Keesokan pagi, begitu aku terbangun di atas ranjang Ririn. “Aduh! Kenapa kamu tidak bangunkan aku?” kesalku pada Ririn yang ternyata dia juga masih meringkuk di sampingku. “Emmm, Mas? Sudah bangun?” Aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaannya. Segera aku turun dari ranjang dan kupungut semua pakaian yang berserakan. Kupakai ala kadarnya, lalu aku segera keluar dan menuju kamarku. “Hardi ...?” sapa seseorang yang duduk di ruang tengah rumah ini. Walaupun buta, tapi dia selalu bisa saja untuk merasakan kehadiranku. Siapa lagi, jika bukan wanita buta itu. “Ada apa, Sonya?” jawabku perlahan dengan nada yang ramah. Bagaimanapun juga, dia belum memasukkan aku ke dalam daftar ahli warisnya, jadi aku harus terus berbuat baik padanya. “Saat bangun tidur tadi, aku tidak merasakan ada kamu di samping. Lalu ... semalam, aku juga tidur sebelum kamu datang. Kamu ... tidur di mana?” Aku pun terpaksa singgah dulu sebentar untuk duduk di sampingnya. “Sayang, aku ... tidur di sampingmu. Hanya saja, aku datang setelah kau tertidur dengan lelap. Lalu ... aku juga bangun sangat awal sebelum kamu bangun. Maafkan aku, karena aku sangat sibuk!” Untung saja, wanita buta ini sangat mudah dibodohi. Dia malah tersenyum mendengar jawabanku barusan. “Oh, begitu! Maaf ya! Aku terlalu manja, jadi selalu ingin ditemani olehmu!” “Tidak apa-apa! Aku ke kamar dulu, ya! Aku akan bersiap ke kantor!” Dia pun tersenyum dengan bodohnya. ** “Hardi!” Saat hendak berganti baju, ibu tiba-tiba muncul mengejutkan. “Aduh, ibu! Bikin aku kaget saja! Ada apa?” “Sini! Ibu kenal dengan orang yang bisa menulis kaligrafi Cina, dia akan membantu kita untuk memalsukan surat wasiat Sonya!” Tanpa basa-basi pengantar terlebih dahulu, ibu langsung mengatakan rencananya di sini. “Ssst, ibu! Nanti Si Sonya dengar, bagaimana?” “Heh! Ibu akan melakukan bagian ibu untuk membuat surat wasiat palsu, kamu juga bertugas untuk membuatnya kecelakaan seperti dulu, bukan? Kali ini kita harus berhasil!” “Tenang! Aku sudah menyusun rencana untuk membuat dia seolah tergelincir saat sedang naik gunung! Ibu tidak perlu khawatir!” Aku mencoba menenangkan ibu sambil merapikan penampilan ini. Ibu pun menarik dasi yang aku pakai, lalu dia membantu aku untuk merapikannya. “Pokoknya yang ini harus berhasil! Kita harus segera menyingkirkan wanita buta itu secepatnya, jangan sampai kejadian tiga tahun lalu terulang kembali!” Aku mengangguk dengan pasti! Iya, tiga tahun lalu! Aku dan ibukulah yang memang merencanakan kecelakaan pada Sonya, hingga menyebabkan kebutaan padanya! ** Dua hari setelah kejadian Gunung Putri "Kita harus segera mengadakan pesta pernikahan!" Kulihat wajah ibu berbinar, saat melihat foto aku dan Ririn memakai gaun. "Tenang dulu, Bu! Jangan terburu-buru mengadakan pesta! Kita harus menunjukkan bela sungkawa, agar semua terlihat normal. Ibu tahu, kan, masyarakat zaman sekarang sangat mudah berprasangka. Apalagi, sebelum dia buta, Sonya ini sangat disorot media karena dia adalah anak konglomerat!" jawabku. Karena aku sudah memikirkan matang-matang bagaimana langkah selanjutnya setelah aku membunuh Sonya agar kami bisa menguasai hartanya. "Padahal ibu sangat ingin memperkenalkan Ririn pada teman-teman arisan!" Untuk kali ini, aku menyesal tidak bisa membuat ibuku tersenyum. "Maafkan aku, Bu! Ibu harus bersabar, keinginan ibu pasti segera terwujud!" Kami pun terdiam, hingga kami mendengar bel pintu masuk berbunyi. "Iya, sebentar!" Salah seorang ART yang membukanya. Paling juga siapa, tidak penting! Aku masih melihat wajah ibu yang kusut, terlihat sekali jika dia sedang kecewa. Tapi apa boleh buat, ini untuk kebaikan kita semua. "Pak, di depan ada polisi!" Tiba-tiba ART kami menghampiri dengan raut wajah penuh kepanikan. "Polisi? Ada apa?" Kami semua saling tatap satu sama lain. Jangan sampai ada yang tahu mengenai kematian Sonya yang telah kami rencanakan. Aku pun berjalan tergopoh-gopoh menemui petugas tersebut. "Ada apa, Pak?" jawabku. "Benar, ini adalah rumah Bu Sonya?" Deg! Benar saja, polisi ini membicarakan pasal Sonya. "Emmm, i ... iya, benar, Pak! Ada apa?" tanyaku. Jujur aku agak gugup, bahkan jika ditunjukkan, telapak tanganku kali ini menjadi lengket dan basah. "Tim SAR menemukan seorang perempuan di kaki tebing Gunung Putri. Korban selamat dan masih hidup! Saat ini korban sedang kami rawat di rumah sakit!" "A ... apa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN