Renggangnya Hubungan Keluarga

2485 Kata
Semalam sambungan telepon tiba-tiba diputus sepihak oleh Vanya. Jika mengingat hal tersebut, Lian kerap terkekeh sendiri. Baginya omelan Mama Vanya sangat lucu saat memergoki kebandelan putrinya. Lian rasa, Vanya memang masih kecil. Jadi Lian tidak perlu mengkhawatirkan buntut ungkapan perasaan cinta yang hanya main-main itu. “Dasar anak kecil,” cibir Lian. Yunita yang sejak tadi memperhatikan Lian mulai merasa ada yang aneh dengan putranya itu. Saat ini mereka berdua memang sedang berada di dapur. Yunita yang sedang memasak hidangan sarapan, sedangkan Lian membantu mencuci perabotan kotor yang telah selesai Yunita gunakan. Putranya ini memang tidak pernah malu untuk membantunya di dapur. Itulah nilai plus Lian yang kerap Yunita banggakan pada teman-temannya. Hmm..siapa tahu salah satu dari mereka ada yang tertarik meminta Lian menjadi menantunya. “Kamu kenapa ngomong-ngomong sendiri?” “Enggak kok, Ma. Ini..sisa minyak di wajan susah dihilangkan,” bohong Lian. “Ya digosok aja terus. Nanti juga hilang.” Lian mengangguk. “Iya, Ma.” “Mama lihat juga dari tadi kamu senyum-senyum sendiri. Kenapa? Lagi bahagia banget kelihatannya?” Kali ini Lian berpikir keras guna memberi jawaban yang tepat agar mamanya tidak curiga. Lagipula Lian juga heran pada dirinya sendiri. Mengapa sejak tadi ia masih saja mengingat kejadian semalam? Benar-benar kurang kerjaan pikirannya! Daripada mengingat kejadian konyol itu, alangkah baiknya Lian memikirkan inovasi baru untuk L’Biscuit. “Lian sedang memikirkan inovasi baru L’Biscuit, Ma. Banyak ide yang bermunculan dalam pikiran Lian. Sehingga hal tersebut membuat Lian tersenyum-senyum sendiri.” Kali ini jawaban Lian membuat Yunita geleng-geleng kepala. Setelah mematikan kompor dan menghidangkan tumis wortel dan kembang kol di piring. Yunita lantas menyinggung Lian. “Kamu itu mikirin bisnismuu terus! Kapan mikirin calon istri? Mama menunggu lhoo, Lian.” “Ya sabar, Ma. Lian juga sedang berusaha.” “Usaha apa!? Mama lihat kamu enggak ada usaha apapun tuh!” “Lian berusaha kok, Ma. Hanya saja tanpa sepengetahuan Mama dan Papa. Intinya nanti Mama dan Papa cukup terima jadinya saja..” Lian mengakhiri perbincangannya dengan sang mama. Terbukti dengan dirinya yang telah selesai dengan kegiatannya. Pria itu lantas mencuci tangan. “Lian temui Papa dulu, Ma. Ada hal penting yang harus Lian bicarakan dengan Papa.” Membiarkan Lian pergi, bibir Yunita lantas mendumel. Ia berpikir, mungkin yang Lian bicarakan dengan papanya perihal pekerjaan. Lagi-lagi selalu pekerjaan. Yunita kadang sampai berpikir saking herannya pada kesantaian Lian. Mengapa Lian tidak ngebet nikah seperti putra teman-temannya? Bahkan ada salah seorang putra teman Yunita yang menghamili kekasihnya di luar nikah, sehingga pada akhirnya mereka dinikahkan lebih cepat. Apa Lian tidak berhasrat untuk ke hal-hal— “Astaghfirullah..kok kesannya aku jadi kepingin Lian maksiat, sih? Ya jangan dong!” “Harus melakukan ibadah ternikmat itu setelah HALAL pokoknya!” “Jangan sampai aku kecolongan! Bahaya..” Meninggalkan Yunita yang berbicara sendiri di dapur, Lian menemui papanya di ruang kerja. Kebetulan hari ini, hari sabtu. Papanya tidak pergi ke kantor pada hari ini dan hari minggu. Berbeda dengan Lian yang pada hari sabtu tetap ke kantor, meskipun siang hari, dan hanya sekadar mengecek pabrik biskuitnya. Akhir pekan seperti ini memang jadwal kesibukan begitu lenggang untuk keduanya. Sehingga keduanya bisa lebih lama menikmati waktu istirahat dan melepas kepenatan. Saat tiba di ruang kerja sang papa, Lian tidak mendapati papanya duduk di kursi kebesaran beliau. Tetapi pandangan Lian kemudian tercuri pada pintu kaca yang terbuka karena tirai putih itu beterbangan tertiup angin. Ternyata sang papa sedang duduk bersantai di luar sana. Meskipun ruangan ini berada di lantai satu, tapi pemandangan pagi di sini sangat indah. Menyejukkan. “Pa..” panggil Lian yang kemudian turut mendudukkan dirinya di samping Baskara. Keduanya kini duduk menghadap pemandangan depan sana, dengan di tengah-tengah terhalang oleh meja bundar. Di atas sana sudah tersedia cemilan L’Biscuit dan secangkir teh. Mamanya memang selalu memberi suguhan kecil saat sarapan belum matang. “Ada yang ingin kamu bicarakan, Lian?” tanya Baskara yang memang sudah hafal tindak-tanduk putranya saat tidak ada angin pun hujan, menemuinya seperti ini. Sudah pasti ada kepentingan di baliknya. Karena kesibukan, keduanya memang jarang berbicara santai. “Iya, Pa. Tapi ini bukan tentang pekerjaan.” “Lalu?” Baskara masih menatap lurus ke depan sana. Bersama itu beliau menikmati setiap hembusan angin pagi yang menyejukkan. Lian dengan ragu-ragu menjawab, “Tentang Pak Wiryawan, teman Papa. Papa masih ingat?” Seketika Baskara menoleh. “Wiryawan? Ada apa dengan Wiryawan?” Baskara terkejut karena putranya mengingat nama rekan seperjuangannya itu. Padahal sudah lama sekali Baskara tidak bersua dengan Wiryawan. Semenjak bisnis Wiryawan semakin meroket, pria itu seperti menjauh darinya. Seolah mencipta dinding kokoh diantara mereka berdua. Sehingga segala hal baik yang Baskara lakukan sebagai bantuan, tidak terasa ada nilainya. Bukan maksud Baskara membantu karena ada maunya. Hanya saja, Baskara sedikit kecewa ketika Wiryawan seolah menyombongkan dirinya karena lebih berhasil daripada Baskara. Sehingga semenjak saat itu, Baskara berjuang seorang diri, hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri untuk menaikkan bisnisnya. Meskipun tak bisa menyaingi Wiryawan, tapi perusahaan Baskara berada di urutan kedua di bawah perusahaan Wiryawan. Lalu kini, anehnya tiba-tiba Lian mengajaknya berbincang mengenai Wiryawan? Baskara tentu saja penasaran. “Begini, Pa. Kapan hari, Lian menyelamatkan putri Pak Wiryawan dari seorang pria berengsek di area klub.” “APA!? Klub? K—klub malam maksud kamu?” Baskara sangat terkejut. Karena sepengetahuannya, Wiryawan begitu tegas mendidik putrinya selama ini. Yang Baskara ketahui, putri semata wayang Wiryawan itu enggan melanjutkan kuliahnya dan lebih memilih berdagang online. “Iya, Pa..” “Lanjutkan ceritamu, Lian.” Baskara meminta kelanjutan cerita Lian karena masih penasaran. Lian pun melanjutkan ceritanya sampai dengan dirinya mengantar pulang dan mengancam putri Wiryawan itu akan melaporkan kebandelannya yang bermain di klub ini pada sang papa. Dari sinilah Baskara mulai merasa ada yang aneh dengan diri Lian. Lian yang menurutnya sedikit tertutup, mengapa bisa sampai sepeduli ini mengurusi putri Wiryawan? Tapi Baskara mencoba untuk tidak membahas keanehan tersebut, karena ia masih ingin mendengar kelanjutan cerita Lian. Sampai pada akhirnya Lian menunjukkan ponselnya kepada sang papa. Di sana, terpampang sederet nomor dengan kontak nama ‘Pak Wiryawan’. Baskara mengerutkan dahinya dan mendengkus kesal. “Untuk apa kamu sebegitunya mengurusi putri Wiryawan? Kamu sedang kurang kerjaan, Lian?” Tanggapan Baskara sontak membuat Lian juga turut mengerutkan keningnya. Lian merasa papanya berubah sensi pada hal yang menyangkut Wiryawan. Hal ini mencipta sebuah tanda tanya besar di kepala Lian, ada apa dengan hubungan pertemanan mereka? Sementara Lian ingat sekali dahulu ia dan sang papa kerap mengunjungi kediaman Wiryawan. Walau Lian tidak pernah sama sekali bertemu dengan Vanya. “Papa ada masalah dengan Pak Wiryawan?” “Tidak ada,” jawab cepat Baskara. Singkat. Tapi menurut Lian, papanya sedang berdusta saat ini. Dengan berani Lian mengutarakan apa yang ada di pikirannya, “Tapi menurut Lian, Papa memang sedang ada masalah dengan Pak Wiryawan..” “Papa minta, jangan lagi mengajak Papa berbincang mengenai Wiryawan.” “Pa..ada apa sebenarnya? Bila diantara Papa dan Pak Wiryawan ada masalah, bukankah mencari jalan penyelesaian masalah itu lebih baik? Mengingat usia Papa dan Pak Wiryawan yang tak lagi muda, apakah tidak sebaiknya memperbaiki lebih baik daripada membiarkan masalah terus bergulir?” Pertanyaan-pertanyaan yang Lian lontarkan memang benar. Lian memang bijak. Tapi rasa-rasanya Baskara enggan memulai penyelesaian. Karena Baskara tidak yakin Wiryawan masih mengingatnya sebagai teman. Selain itu, Baskara merasa hanya dirinya saja yang bermasalah di sini. Sementara Wiryawan tetap santai-santai saja menjalani hidupnya tanpa memikirkan teman seperjuangannya ini. Miris. Tapi memang itulah sebuah kenyataan yang harus Baskara terima. “Lupakan soal itu, Lian. Biarlah menjadi urusan kami—para orang tua. Papa ingin membahas hal menarik lain. Sekarang biarkan Papa bertanya suatu hal kepada kamu.” Lian diam dan menyimak pertanyaan apa yang selanjutnya akan Baskara lontarkan. ‘Hal menarik lain’ kata beliau, mungkinkah perihal calon istri Lian yang hingga detik ini belum terlihat tanda-tanda kehadirannya? Lelah sekali rasanya menjadi Lian. Tidak mama, tidak papa, semuanya membuat Lian tidak tenang dalam masa pencarian calon istri. Lian berharap, Allah segera mengirimkan Lian sosok jodoh terbaik. Yang bersedia diajaknya menggapai surga-Nya bersama. “Kenapa kamu sepeduli itu kepada putri Wiryawan? Papa rasa, kamu bukan tipe orang yang mudah peduli dengan orang lain. Apalagi seorang wanita. Kepada Yasmin, Papa rasa kamu tidak sepeduli ini.” Pertanyaan Baskara yang di luar dugaan Lian plus membawa-bawa nama sepupunya. Padahal di belakang orang tuanya Lian sudah memutus harapan Yasmin padanya. “Kenapa Papa membawa-bawa Yasmin?” “Karena Yasmin menyukai kamu, Lian.” “Lian tidak ada rasa apapun pada Yasmin. Selain rasa sayang kepada saudara sepupu, Pa,” tegas Lian memberi tanggapan atas pemberitahuan sang papa. Walau sebenarnya tanpa papanya beritahu, Lian sudah mengetahuinya. “Baiklah. Berarti kamu ada rasa pada putri Wiryawan?” Kedua bola mata Lian sontak melotot sempurna. “Pa..” lirih Lian saking kesalnya. “Sarapan sudah siap!!” seru mama tiba-tiba menjeda perbincangan antar papa dan sang putra. Melihat betapa tegangnya ekspresi yang ditampilkan Baskara dan Lian, membuat Yunita penasaran. “Kalian berdua membicarakan apa? Kenapa wajahnya sama-sama tegang begitu? Ada masalah dengan perusahaan?” “Bukan masalah perusahaan, Ma. Ini masalah anak bujang kita yang sepertinya mulai jatuh hati pada seorang gadis.” Lian semakin geram di sini, ia hanya bisa mengepalkan kedua tangannya di bawah sana. Mencoba menahan amarahnya agar tidak meledak. Mau bagaimana pun, yang sedang di hadapinya adalah papa dan mamanya. Kedua orang tua yang seharusnya ia hormati. “Oh yaa.. Astaga! Siapa gadis itu, Pa!?” Yunita dengan mata yang berbinar-binar merasa sangat senang, sekaligus penasaran. “Pa, tolong jangan menciptakan asumsi yang tidak benar,” peringat Lian dengan nada dingin dan ekspresi datar. Tapi Baskara mengabaikannya begitu saja dan melanjutkan pembahasan yang sensitif bagi Lian ini. “Seseorang yang sebenarnya sangat Papa hindari, Ma. Tapi ternyata jalan takdir Lian membawa kita untuk berhubungan lagi dengan mereka.” “Siapa, Pa!? Mama sepertinya harus segera bersiap untuk seserahan lamaran, kebaya, dekor dan kateringan!” “Putri Wiryawan.” Yunita terkejut. “VANYA!?” Ia tidak menyangka, ternyata Vanya yang dimaksud Baskara. Gadis cantik, muda, dan gigih mengelola bisnis onlinenya. Daripada Yunita, sebenarnya Lian lebih terkejut. “Mama kenal dengan Vanya!?” “Ya kenal dong, Lian! Mama kemarin baru aja beli sepatu cantik dari toko onlinenya. Bagus-bagus lhoo, barang-barang yang dia jual. Harganya juga terjangkau. Pengiriman cepat. TOP BGT deh, pokoknya! Cuman..Mama belum pernah ketemu langsung sama dia semenjak dia besar. Dulu sih, waktu kecil Mama suka cubit-cubit pipinya. Habisnya gemas! Leta adik kamu, dia dulu senang momong si Vanya! Kalau kamu sih, entahlah..sukanya ngintilin Papa terus! Jadi kayaknya kalian berdua pernah ketemu sewaktu kecil. Cuman enggak pernah main bareng. Ya ‘kan, Pa?” Baskara hanya mengangguk-angguk sekenanya. Sungguh rasanya harus mendinginkan kepalanya yang tiba-tiba mengebul saat mengetahui ketertarikan putranya pada putri Wiryawan. Yaa, kalau kedepannya semua berjalan dengan baik. Dalam artian Wiryawan mau menerima Lian. Tapi bila sebaliknya? Apakah goresan luka di hati Baskara tidak semakin menganga lebar? Baskara hanya takut Lian merasakan kekecewaan yang juga selama ini Baskara rasakan. “Tapi sayangnya hubungan keluarga kita renggang ya, Pa? Entahlah..mungkin karena bisnis kita tidak seberkembang bisnis Pak Wiryawan. Yaa..apalah kita ini di mata orang sehebat beliau. Mama Vanya juga bukan orang sembarangan. Isna Wiryawan, seorang pelukis hebat yang sering mendonasikan pameran lukisannya untuk sebuah amal. Entah membantu panti asuhan, yayasan pendidikan, sampai panti jompo.” Penuturan sang mama barusan membuat Lian akhirnya dapat menarik kesimpulan dari permasalahan yang dihadapi papanya dan teman lamanya. Ternyata karena ini keduanya renggang. Rasa tidak percaya diri Yunita kemudian langsung ditepis oleh Lian. Ia yang paling muda di sini merasa harus menaburkan lebih banyak lagi energi positif. Supaya kedua orang tuanya tetap bangkit dengan kepercayaan diri yang mereka miliki. “Mama ngomong apa, sih? Bisnis Papa juga sangat berkembang pesat, kok. Lian yakin, rezeki setiap orang itu sudah ada takarannya masing-masing. Kita harus senantiasa bersyukur dan melihat ke bawah. Masih banyak orang-orang yang tidak seberuntung kita.” “Lian benar, Ma. Sudahlah. Mari kita awali pagi ini dengan sarapan lezat masakan Mama,” ajak Baskara yang lantas merangkul mesra Yunita. Menganggap Lian tidak ada di sekitar mereka. Sementara Yunita dengan malu-malu mengiyakan ajakan suaminya. “Iya, Pa. Ayo kita sarapan! Mumpung masih hangat..” Di belakang sana, Lian merasa pemandangan semesra ini seharusnya tidak ia lihat. Membuat jiwa singlenya bergejolak! Hanya saja, sayang juga bila dilewatkan. Kedua orang tuanya masih memupuk kemesraan bahkan di usia mereka yang telah senja. “Ayo Lian! Kamu jangan terus memikirkan putri Wiryawan! Papa tidak ingin nantinya kamu sakit hati sendiri.” Lian tersentak dari keterdiamannya menikmati pemandangan indah kedua orang tuanya yang berbahagia. “Pa! Siapa yang memikirkan Vanya!? Lian sama sekali tidak memikirkan dia! Papa salah paham.” “Iya, anggap saja begitu. Kita lihat saja bagaimana kedepannya,” balas Baskara dengan mengulas senyum miring. Baskara sangat yakin bila sebenarnya Lian diam-diam tertarik pada putri Wiryawan. Sementara itu, di sebuah rumah besar lain. Vanya tengah tersenyum-senyum sendiri memakan roti bakar buatan Mbok Sih. Hal itu membuat Isna kepikiran dengan perbincangan yang terjadi di atas ranjang putrinya semalam. Isna sampai tidak bisa tertidur nyenyak dan mempunyai lingkar hitam di bawah matanya karena kepikiran dengan permintaan tidak masuk akal Vanya. Lalu kini, dengan tidak berdosanya anak itu terus mengulum senyumnya!? Menyebalkan sekali anak gadisnya itu! “Semalam kamu kurang tidur?” tanya Wiryawan yang sebenarnya sejak tadi diam-diam memperhatikan sang istri. “Iya, Mas..” ‘..karena anak kita yang tiba-tiba ngebet nikah!’ “Vanya semalam rewel?” Rewel!? Vanya tidak terima dengan satu kata papinya yang seolah-olah menganggapnya ini anak kecil. “Ihh..Papi! Emangnya Vanya anak kecil apa!?” “Terus kenapa Mamimu sampai kurang tidur begini?” “Entahlah..Papi tanya aja ke Mami!” jawab Vanya dengan penuh semangat dan senyum setannya. ‘Bocah nakal!’ batin Isna memelototi Vanya. Tapi kemudian perbincangan beralih pada Sang Tuan Putri kediaman ini. “Gimana keadaan kamu, Vanya?” “Sudah membaik. Ini..infusnya tadi pagi sudah dilepas sama pelayan. Vanya sudah tidak apa-apa, Pi. Hari ini Vanya sangat bersemangat menerima banyak orderan, karena ‘kan ini akhir pekan! Biasanya orderan membeludak,” jelas Vanya dengan senyum merekah menghiasi wajah cantiknya, walau sebenarnya masih pucat. Tapi Vanya dan otak cerdasnya mengakali wajahnya dengan riasan tipis. Sehingga menyamarkan kepucatan di wajahnya. Meskipun belum fit sepenuhnya, harus tetap terlihat cantik dong! “Aamiin.” “Makasih do’anya Mami, Papi!” Kedua orang tuanya hanya tersenyum dan mengangguk. Bangga rasanya mempunyai anak segigih Vanya. Namun rasa bahagia itu tidak bertahan lama bagi Isna. Ia panik saat Vanya kembali bersuara. “Oh ya, Vanya mau ngomong sesuatu hal yang sangat penting pada Papi.” “Vanya, selesaikan sarapanmu terlebih dulu. Baru setelah itu—” “No, Mami. Vanya takut lupa!” Di sinilah Isna mulai pasrah. Aksi nekad Vanya memang sudah tidak bisa dihalangi. “Ya sudah. Ngomong saja. Memangnya sepenting apa, sih?” Dengan senyumnya, Vanya sudah berpikir matang dan yakin untuk permintaannya kali ini. “Vanya mau Papi nikahin Vanya dengan anak teman Papi. Mas Lian. Anak Pak Baskara. Papi kenal baik dengan Pak Baskara ‘kan?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN