Sebenarnya menggunakan nama Oki adalah alasan Jayden belaka. Jujur saya, Jayden merasa senang berdekatan dengan Vanya. Ini di luar pikiran liarnya. Sungguh..menurut Jayde, Vanya berbeda dari gadis kebanyakan yang pernah Jayden jumpai—Vanya berharga. Untuk saat ini, itulah kesimpulannya.
Vanya meronta. Mencoba melepaskan tangan Jayden dari tangannya. Tapi karena ia hanya seorang wanita yang tenaganya sudah pasti tidak bisa menandingi seorang pria plus kepalanya masih pusing, Vanya tidak kuasa melepaskan genggaman erat tangan Jayden yang memaksa mengantarnya pulang. Bahkan pria itu sudah menyeretnya kini. Mungkin hendak membawanya menuju mobil yang ia parkirkan, yang entah dimana—Vanya tidak tahu.
Teriakan Vanya seolah diabaikan oleh orang-orang di sekitarnya. Vanya takut. Ia tidak percaya sama sekali dengan Jayden. Meskipun tadi Vanya sempat melihat ketulusan yang terpancar dari mata pria ini. Namun tetap saja! Pria bisa berubah kapan saja. Mudah percaya adalah hal bodoh yang tidak seharusnya wanita lakukan.
“Lepaskan saya!” teriak Vanya menatap tangannya yang diseret oleh Jayden. Sakit fisik pun juga Vanya rasakan. Pasti setelah ini tangannya memerah.
Merasa diabaikan oleh Jayden. Vanya tidak kehabisan akal. Tujuannya berlari ke pinggir jalan raya adalah untuk menemukan keramaian, supaya ia bisa meminta pertolongan.
“Tolong!! Tolong saya..” Vanya berusaha mencari bala bantuan.
“Berteriak hanya akan menghabiskan tenagamu, Vanya. Saya mohon, berhentilah memberontak. Saya bersumpah, kali ini saya berniat baik!”
Untuk pertama kalinya, pria bernama Jayden ini memanggil namanya. Itu artinya Oki sudah memberitahukan identitasnya pada rekannya ini. Oki benar-benar pantas mendapatkan tamparan Vanya berkali-kali. Awas saja bila nanti Vanya bertemu dengan Oki. Ia pastikan kedua pipi Oki merah akibat serangan tangannya.
“Saya tidak percaya pada kamu! Lepaskan saya! Lepas..” Vanya masih berusaha meronta, dengan tangan satunya sesekali memegangi kepala. Denyutan di kepalanya sungguh menjadi. Ia bisa limbung kapan saja. Namun sebisa mungkin Vanya berusaha untuk tetap menjaga kesadarannya.
Dalam kondisi sadar saja Jayden bisa memaksanya sekeji ini. Apalagi dalam kondisi tak sadarkan diri! Bisa raib mahkota yang selama ini Vanya jaga.
“Tidak akan,” jawab Jayden dengan nada dingin.
Di tengah-tengah kepasrahannya. Tiba-tiba dari arah belakang, tangan Vanya yang menganggur digenggam oleh sebuah tangan besar. Kejadian selanjutnya adalah tangan Jayden yang dilepas paksa dari tangannya oleh sosok tersebut. Vanya hampir tidak mengenalinya, karena penampilannya saat ini sungguh berbeda dari pertemuan mereka sebelumnya.
“Lepaskan, Bung. Jangan memaksa wanita sampai kau melukai fisiknya!”
“P—pak Lian..” Vanya masih terperangah dengan kehadiran sosok malaikat pelindungnya yang tiba-tiba ini. Meski kedatangannya sedikit terlambat, tak apa. Setidaknya ia datang.
Vanya mengulas senyumnya dengan air mata yang terus berderai. Dalam hati ia mengucap syukur dan berterima kasih pada Tuhan atas kehadiran Lian yang entah mengapa bisa sampai di sini. Tentu Vanya heran. Pasalnya saat ini mereka berada di area terdekat menuju klub. Pertanyaan yang singgah di kepala Vanya adalah mengapa bisa Lian berada di sekitar zona yang tak seharusnya ia jamah ini?
Tapi kemudian ia menepis segala rasa penasarannya untuk sesaat. Karena ada yang lebih penting yakni, meloloskan diri dari Jayden. Langsung saya Vanya mengutarakan uneg-unegnya, berharap Lian akan berbaik hati menolongnya. “Tolong saya, Pak.. Dia memaksa mengantarkan saya pulang. Sedangkan saya tidak mau! Saya takut, Pak Lian..” Vanya sampai bersembunyi di balik tubuh Lian. Ia benar-benar ketakutan dengan pria pemaksa seperti Jayden.
“Sudah jelas, Bung? Dia ketakutan. Alangkah baiknya..lepaskan dia. Biar saya yang mengantarnya pulang.”
Ketegasan Lian dalam berucap, membuat kekaguman dalam diri Vanya semakin menjadi. Jika Lian seberani ini melindunginya, sudah dapat Vanya pastikan ia jatuh cinta berkali-kali pada sosok Lian.
‘Dear, Mas Lian. Aku jatuh cinta untuk ke sekian kalinya. Setelah cinta pada pandangan pertama..’ batin Vanya mulai mengartikan debaran jantungnya yang selalu luar biasa berbeda dari biasanya. Terutama saat ia terlibat interaksi dengan Lian.
“Vanya, Oki yang meminta saya—"
“Nanti saya akan mengabari Bang Oki! Kamu tidak perlu khawatir!” potong Vanya, karena Vanya rasa Oki tidak akan marah hanya karena Vanya tidak mau diantar pulang oleh rekannya. Lagipula Oki belum tahu bagaimana perlakuan Jayden padanya. Jayden memang pantas mendapatkan hukuman dari Oki berupa sunat tiga kali!
Menyerah.
Jayden tak lagi memaksa. Walau ia tidak mengenal pria asing yang tiba-tiba membantu Vanya, tapi Jayden tidak bodoh untuk menyimpulkan bahwa keduanya sudah saling mengenal. Vanya bahkan menyebut namanya—'Pak Lian’. Dengan hati yang panas, Jayden berusaha menahan gejolak dalam d**a.
Atas ketidakrelaannya, karena Vanya dilindungi pria lain.
Jayden mengela napas. “Ya sudah. Hati-hati pulangnya..”
“Pasti. Saya aman bersama Pak Lian,” balas Vanya dengan ketus. Ia masih kesal pada tindakan pemaksaan Jayden. Bagi Vanya, pria ini patut dihindari. Karena ia menakutkan. Semoga ini pertemuan pertama dan terakhirnya dengan Jayden.
Mencoba menegaskan sesuatu pada Jayden, Vanya dengan berani mengapit lengan Lian. “Mari, ekhm—Mas..” ajak Vanya dengan suara lembut, berlawanan dengan nada suaranya pada Jayden.
Jayden bisa apa selain mengepalkan kedua tangannya di bawah sana. Ia geram melihat kepergian gadis yang benar-benar berhasil mencuri dunianya dalam sekejap. Bahkan mengenyahkan pikiran kotornya yang selama ini selalu bekerja tatkala dihadapkan dengan para wanita bertubuh molek. Vanya termasuk di dalamnya? Tentu saja! Tapi Jayden bisa mengenyahkan pikiran kotornya sejak mendapati Vanya menangis dan memohon untuk tidak dihalangi saat ingin meninggalkan klub.
Sepertinya, Jayden mulai tertarik dengan sahabat wanita Oki.
Meninggalkan Jayden yang akhirnya justru kembali melangkahkan kaki ke dalam klub karena kebaikannya ditolak mentah-mentah oleh Vanya. Sosok Vanya justru terus tersenyum selama mengapit lengan Lian. Bibirnya sampai kering karena tertiup dinginnya angin malam. Sementara Lian? Tubuhnya mendadak kaku dan mengikuti segala tindakan Vanya pada tubuhnya.
Setelah bertahun-tahun tidak dekat dengan sosok wanita—selain Kirania, mama dan adik perempuannya—ini pertama kalinya Lian berkontak fisik lagi dengan wanita sedekat ini. Yaa, sejak ditinggal menikah oleh Kirania—wanita yang dicintainya—Lian seolah menutup rapat-rapat hatinya. Hingga detik ini, nama Kirania masih sesekali mengusik hatinya. Mengingatkannya pada rasa cinta yang teramat dalam. Bahkan sampai Lian terluka dalam pun, rasa cinta itu masih terasa sesekali dalam dadanya. Hanya sekadar singgah. Karena Lian sadar betul, Kirania telah menjadi istri pria lain.
“Astaghfirullah..” Lian sadar dan segera melepaskan sepasang tangan yang membelit lengannya. Bergelayut mesra tanpa rasa bersalah sama sekali. Pasalnya wanita itu justru tersenyum lebar, meskipun masih ada sisa air mata di sudut matanya.
Apa-apaan wanita ini!?
Emosi Lian sudah berada di puncak. Telunjuknya dengan berani menunjuk-nunjuk wajah Vanya yang tengah tersenyum senang itu. “Kamu—”
“Pak Lian kenapa istighfar kayak begitu, sih? Ini saya hanya mengapit lengan Bapak, lhoo. Bukan menindih tubuh Bapak.”
“Jaga ucapan kamu, Vanya.” Lian memberikan sebuah peringatan tegas. Tapi dengan nada bicara rendah.
“Wow! Sebuah kemajuan yang pesat ya, Pak. Akhirnya Bapak memanggil nama saya..” sindir Vanya berusaha mengingat kalimat menyebalkan Lian saat di koridor kampus. Masih ingatkah kalian?
Lian membuang mukanya karena eneg dengan perkataan Vanya yang mengcopy kalimatnya itu. Berbeda halnya dengan Vanya yang justru kesenengan bukan main. Padahal Lian hanya memanggil namanya, belum mencium pipinya. Eh!
Saat Lian kembali menatap wajahnya, sepasang mata Vanya terus berkedip-kedip. Ia sengaja melakukan itu, untuk menggoda Lian. Bagaimana reaksinya? Akankah Lian dapat jatuh cinta hanya karena kedipan mata penuh cinta dari Vanya? Semoga saja..
Ohoo..tidak semudah itu! Karena kalimat Lian yang selanjutnya berhasil membuat Vanya menyudahi senyum manis dan kedipan mautnya. “Tugas saya dalam misi membantu sesama sudah selesai. Saya rasa kamu bisa memesan kendaraan.” Lian menjeda ucapannya. Ia melihat jam di tangannya. “Belum terlalu malam, masih banyak kendaraan umum yang beroperasi. Ponselmu masih berfungsi dengan baik bukan?”
“Saya permisi.” Lian hendak melenggang begitu saja. Tetapi dengan sigap Vanya menahan pergerakan Lian dengan mencekal tangannya.
Vanya tahu, Lian memintanya untuk memesan kendaraan online. Tapi Vanya tidak mau! Bukan karena ia tidak mempunyai ongkos. Tetapi ia merasa, saat ini kepulangannya dengan selamat sampai rumah adalah tanggung jawab Lian. Enak saja. Lian sudah berhasil melepaskan dirinya dari tindak pemaksaan Jayden. Lalu kini? Lian melepaskannya begitu saja bak anak kucing yang terlantar. Tidak bisa!
Misi membantu sesama yang dikatakannya itu belum tuntas! Ya, meskipun agak kurang ajar pemilihan katanya. Dikira Vanya ini korban tsunami apa!?
Akibat pencekalan tangannya yang dilakukan oleh Vanya, Lian menatap tajam gadis itu.
Vanya tak kehabisan akal. Dengan memasang raut wajah memelasnya. Vanya memohon, “Pak Lian tega meninggalkan saya begitu saja? Jayden sepertinya bukan tipe pria yang mudah dikalahkan, Pak. Bagaimana kalau nanti di tengah jalan saya dicegat oleh Jayden? Lalu saya diapa-apain. Bagaimana, Pak? S—saya masih takut!” Vanya hampir menangis kencang. Tapi Lian sudah lebih dulu membekap bibir Vanya agar tidak menimbulkan keributan.
“Diam.”
Setelah bekapan tangan Lian terlepas, Vanya membik-membik. Ia terlihat begitu manja. Padahal ini keluar dari karakternya sehari-hari. Sepertinya memang menunjukkan karakter ini dihadapan Lian cukup menguntungkan. Karena raut wajah Lian tak lagi sedingin tadi. Kini Lian menatap Vanya dengan tatapan iba. Meskipun Vanya tidak menyukai tatapan iba yang Lian berikan, tapi untuk malam ini pengecualian. Ia benar-benar menginginkan diantar pulang oleh Lian dan menghabiskan waktu lebih lama berbincang di sepanjang perjalanan pulang nanti.
Akhirnya dengan berat hati Lian menghela napas kasarnya. “Ya sudah. Ikut saya. Jangan berisik dan menyulitkan saya. Mengerti, Gadis Pembangkang Aneh?”
Vanya mengangguk lemas.
Oke, sebutannya bertambah satu suku kata. Aneh.
Entah mengapa tidak ada bagus-bagusnya? Padahal sebutan untuk wanita cantik itu banyak, lhoo. Contoh sederhananya ; Gadis Cantik, Gadis Pintar, Gadisnya Abang. Hadeh, mengapa tidak ada satu pun dari ketiga contoh sederhana itu digunakan Lian untuk memanggilnya? Lian kelewatan. Menyebalkan! Tapi Vanya cinta. Jadi dengan terpaksa Vanya berusaha menerima panggilan buruk yang Lian berikan padanya.
Senyum Vanya yang tadinya sirna, kini kembali terlukis indah mengalahkan keindahan malam. Vanya berjalan penuh semangat mengekori Lian. Hingga mereka memasuki sebuah kafe yang terletak tak jauh dari posisi mereka berdebat tadi. Oh..jadi Lian berada di kafe ini tadi. Vanya pikir, Lian menginjakkan kaki di klub. Mustahil.
“Saya bersama dengan teman saya. Kamu jangan berbicara yang tidak-tidak, ya? Awas kamu..” peringat Lian dengan nada rendah. Seperti biasanya.
“Iya-iya..” Vanya sedikit kecewa. Ternyata Lian tidak sendiri pergi ke kafe ini. Vanya sudah mempersiapkan hatinya bilamana teman Lian itu merupakan kaumnya—betina.
Hingga sebuah suara bernada kesal membuat Vanya mengangkat kepalanya yang sempat menunduk. “Kemana saja kamu, Lian!? Lama sekali mengambil berkas yang ketinggalan di mobil! Memangnya dari sini ke parkiran itu sepuluh kilo meter!?” Kavin menyemburkan kekesalannya karena lama sekali menunggu Lian kembali. Padahal pamitnya tadi hanya mengambil berkas yang tertinggal di mobil. Apakah mobilnya sudah berpindah ke kota lain?
Tidak berhenti di situ saja. Kavin yang belum puas dengan kekesalannya, kemudian menunjuk jam yang melingkar di tangannya. “Ini sudah jam setengah sepuluh malam. Bisa digantung oleh Pak Baskara saya! Ayo kita pulang!” Kavin ini seperti emak-emak yang mengajak pulang paksa anaknya karena kelewat jam malam. Lian merasa risih dengan kekesalan Kavin. Terlebih sosok gadis yang berdiri di belakangnya ini memperdengarkan kekehan kecilnya.
Lian ditertawakan oleh Gadis Pembangkang Aneh yang ditolongnya!
Mendapati Lian hanya terdiam, Kavin merasa khawatir. Apa ia sudah kelewatan? Sepertinya IYA. Wajah Lian sedikit memerah. Entah karena dinginnya malam atau karena menahan amarah. Kavin berdehem, setelah itu memberitahukan sesuatu pada sahabatnya. “Makanan dan minumannya sudah saya bayar semuanya..”
Lian masih diam.
Hingga Kavin menyadari adanya sosok lain didekat Lian. Lebih tepatnya bersembunyi di balik tubuh tinggi tegap Lian. Pantas saja Kavin baru melihatnya. “Ini—”
“Bukan siapa-siapa. Ceritanya panjang. Intinya, saya menolong dia tadi. Makanya membuat kamu lama menunggu. Maaf.”
“I—iya. Santai saja..”
“Sepertinya kamu yang tidak santai,” cibir Lian seraya mengemasi barangnya. Ada laptop dan beberapa kertas-kertas penting. Vanya yang melihat Lian mulai membereskan barangnya, berniat membantu. Lian membiarkannya begitu saja. Sesuka Vanya. Lian sudah lelah melarang gadis itu.
Kavin mulai panik. Khawatir Lian marah padanya. “Saya minta maaf. Habisnya kamu lama sekali!”
“Dimaafkan. Tapi biar saya yang menyetir mobil kamu, bagaimana?”
Kavin curiga, tapi ia langsung mengangguk dan memberikan kunci mobilnya pada Lian. Tumben Lian mau mengambil alih kemudi mobilnya. Tidak seperti biasanya. Padahal biasanya Lian tidak pernah sudi menyetir mobil orang lain. Katanya resiko bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya. Yaa, meskipun Kavin sangat percaya dengan kemampuan menyetir Lian. Tapi pria itu sendiri yang selalu menolak menggantikan Kavin menyetir mobilnya selama ini. Aneh.
Apa ini ada hubungannya dengan gadis yang tiba-tiba mengekori Lian?
Daripada rasa penasaran terus menggerogotinya. Kavin yang kini berjalan di samping Lian, berbisik. “Kamu mau mengantarkan dia pulang terlebih dulu?”
“Menurutmu?” Lian menaikkan sebelah alisnya.
Jika Kavin berbicara dengan berbisik. Maka tidak dengan Lian yang menjawab pertanyaannya itu secara terang-terangan. Sudah pasti gadis yang Lian bawa di belakang sana mendengar percakapan mereka.
Bahkan tanpa sepengetahuan dua laki-laki yang berjalan di depannya itu, telinga Vanya juga mendengar pertanyaan saat salah seorang pria berbisik. Tapi Vanya mencoba enjoy. Ia merasa jauh lebih aman pulang diantar oleh mereka berdua, daripada bersama Jayden. Mengingat Jayden, Vanya masih sedikit merinding.
Tak lagi berbicara dengan berbisik. Terang-terangan Kavin bertanya lagi. “Sebenarnya dia ini siapa? Saya kok sepertinya tidak asing dengan wajahnya. Tapi saya lupa. Saya pernah melihatnya dimana, ya?” Kavin berpikir keras, mencoba menggali ingatannya. Sejak pertama kali menyadari keberadaan gadis ini bersama Lian, Kavin memang tidak asing dengan wajahnya. Seperti pernah melihatnya sekelebat. Tapi dimana?
“Mungkin hanya pikiranmu saja,” jawab Lian dengan cuek.
Sampai mereka bertiga memasuki mobil. Dengan posisi Vanya duduk di belakang. Kavin sesungguhnya masih mencoba mengingat-ingat. Berharap dirinya benar-benar ingat. Hingga saat mobil baru dijalankan sekitar dua kilo meter, Kavin bersorak. Ia menoleh ke belakang dan menunjuk-nunjuk Vanya. “Kamu mahasiswa yang berada di rekaman video viral bersama Lian ‘kan!?”
“Betul sekali!” Vanya dengan semangat menjawab pertanyaan pria yang duduk di kursi penumpang depan itu.
Sudah Vanya duga. Cepat atau lambat, pria ini pasti mengenalinya. Sepertinya ia juga cukup dekat dengan Lian. Dari interaksi mereka, Vanya bisa menilainya.
“Kamu apa kabar? Masih dihujat tidak, sampai sekarang? Aman semuanya! Pak Lian sudah menghapus video-video yang beredar. Saya sendiri yang diutus beliau.” Pria itu membanggakan dirinya dengan menepuk-nepuk dadanya. Lucu sekali. Pria ini karakternya sangat bertolak belakang dengan Lian. Vanya merasa, mereka berdua memang cocok menjadi kawan. Saling melengkapi!
Vanya terkekeh. Ia juga turut menepuk-nepuk dadanya sendiri. “Tenang, Pak. Saya ini tahan berbagai hujatan. Tapi ada satu hal yang membuat saya tidak tahan, Pak.”
“Apa itu!? Rumahmu diteror? Atau ada SMS-SMS yang tidak jelas masuk ke ponselmu? Ceritakan sekarang juga! Mumpung ada Pak Lian.”
“Saya tidak enak mau bilang..” cicit Vanya. Lian yang tadinya fokus menyetir, merasa penasaran hingga melirik ekspresi Vanya sekilas dari kaca depan.
Menggemaskan.
Kendati demikian, selanjutnya Lian beristighfar dalam hati dan menggeleng keras. Diri Lian mulai error bila sampai memuji gadis di belakang sana menggemaskan.
“Tidak apa-apa. Tidak perlu sungkan. Ceritakan saja! Supaya kamu lega..” Kavin benar-benar membuka akses untuk Vanya bercerita. Padahal, bossnya yang menjadi korban. Sementara gadis ini pelakunya.
Tapi untuk ukuran gadis cantik nan manis ini, Kavin ragu bila ia menimpuk punggung Lian tanpa alasan. Pasti Lian melakukan suatu hal yang memancing kekesalannya. Kavin yakin akan kesimpulan yang dibuatnya barusan.
Dengan tersenyum malu-malu. Vanya akhirnya mengungkapkan. “Satu hal yang membuat saya tidak tahan adalah sikap Pak Lian kepada saya! Terlampaui manis, Pak. Waktu saya minta nomor pribadinya, saya malah dikasih nomor call center rumah sakit. Memangnya saya sakit, apa!? Terus tadi, tiba-tiba Pak Lian datang menolong saya lepas dari pria b******n yang memaksa mengantar pulang saya. Itu kira-kira sebuah takdir atau kebetulan ya, Pak? Kok indah sekali..”
Kavin tertawa kencang! Sedangkan wajah Lian memerah dengan bibir membentuk garis lurus. Tidak hanya itu saja, Lian bahkan mencengkram kemudinya. Semua itu tidak lepas dari pandangan Kavin.
Daripada mobil ini menabrak pembatas jalan. Sebaiknya Kavin segera beraksi. Kavin menepuk-nepuk lengan Lian. “Sudahlah, Lian. Jangan tegang! Tidak apa-apa. Bila ada gadis yang menyukaimu, saya tidak pernah keheranan. Kamu pantas disukai, Lian!”
“Kamu menyukai Pak Lian ‘kan?”
Vanya memutar kedua bola matanya dengan malas. “Ya menurut Bapak, bagaimana?”
“Ya sudah, kejar sampai dapat! Semangat..” Kavin memberikan energi positif pada gadis di belakang sana. Dibalas senyum manis oleh gadis tersebut.
Sebagai seorang sahabat, Kavin mempunyai firasat baik. Sepertinya kisah cinta Lian akan sangat menarik! Apalagi saat Kavin melihat penampilan gadis muda ini. Hmm..bertolak belakang dengan kriteria Lian. Tapi tak apa. Jalan cinta seseorang, siapa yang tahu?
Asyik memberi dukungan semangat pada gadis yang menyukai Lian itu. Tiba-tiba hal tidak mengenakkan menimpa Kavin. Lian mengemudi, memasuki area pom bensin. “Sepertinya lebih baik kamu menunggu di sini. Biar saya sendiri yang mengantar gadis itu pulang. Saya janji, tidak akan lama. Saya pinjam mobil kamu. Nanti saya ke sini lagi untuk menjemput kamu. Tidak apa-apa ‘kan, Vin?”
Bukan sebuah izin, lebih kepada pemaksaan dengan nada halus. Kavin bisa apa? Tatapan tajam Lian membuatnya terhipnotis dan mengangguk begitu saja.
“Tunggu apalagi? Turun sekarang juga, Kavin.”
Di belakang, Vanya terperangah. Secara tidak langsung, pria bernama Kavin itu diusir halus. Padahal ia pemilik mobil ini..
Lalu, apa kabar dengan dirinya yang hanya menumpang?
***