Paramitha memanggil sebuah taksi dengan melambaikan sebelah tangannya, setelah itu ia menunjukkan pada sang sopir alamat hotel yang tadi sudah dikirim oleh Jorge ke ponselnya.
Bersama dengan Vella, Mitha masuk ke dalam taksi lalu angkutan umum tersebut melaju menuju ke tempat Jorge berada.
Sesampainya di depan hotel, Paramitha menuju ke meja resepsionis dan menanyakan kamar tempat Jorge berada. Setelah pegawai tersebut mengkonfirmasi melalui panggilan telepon ke kamar yang disewa sang CEO, kedua wanita itu pun menuju ke tempat yang dimaksud.
Hampir empat menit berada di lift hotel, akhirnya sampai juga mereka di depan kamar Jorge dan Mitha mengetuk pintu perlahan.
Tok tok tok …
Ceklek!
“Hai, Koko. Tambah ganteng aja deh kayaknya,” ucap Paramitha, tetapi Jorge hanya diam dan terpukau melihat gadis yang berada di samping wanita langganannya itu, meski ia hanya memakai pakaian ala kadarnya.
“Koko?”
“Eh! I..ya, Mbak.”
“Hm! Sabar dulu kali, Ko!” ucap Mitha terkekeh mendapati Jorge yang tergagap, akibat pesona gadis di sampingnya, “Waktunya gituan, kan, masih panjang. Sama-sama single ini. Sana, Vel. Kamu masuk duluan, gih! Mbak Mitha masih ada urusan sama si Koko ganteng,” lanjutnya bertitah, sembari mendorong tubuh Vella untuk masuk ke dalam kamar hotel.
Jorge melebarkan pintu, kemudian Vella pun masuk ke dalam. Setelahnya Jorge bersiap menutup kamar itu, tetapi Mitha lebih dulu beraksi di sana. Ia menyodorkan tangannya pada Jorge dan tentu saja semua terjadi akibat janji yang dikatakan sang CEO di telepon tadi.
“Eh, enak aja main Koko ganteng main tutup pintu! Bagian Mbak mana? Jangan sengaja lupa ya, Ko?”
“Astaga, Mbak Mitha ini! Kayak apa aja sama aku. Nanti ya, Mbak? Saya transfer langsung deh ke rekening, Mbak. Deal, kan?” ujar Jorge sedikit kesal, karena Paramitha membuat si juniorr di dalam boxer sedikit melemas.
“Yah, Koko! Katanya mau dikasih kes! Bagaimana, sih?” gerutu Mitha dengan wajah memelas.
“Ya sudah. Sana temui Jimmy aja di lobi kalau gitu. Cerewet banget, sih! Mbak minta uang kes sama dia aja kalau nggak sabar. Dasar mata duitan!” kata Jorge dengan nada kesal.
“Eh, enak aja! Koko sendiri yang janji duluan? Ya, udah deh. Aku ketemu Jimmy dulu. Makasih, Koko ganteng ... Mbak pamit dulu, oke?” Paramitha pun pergi meninggalkan pintu kamar itu.
Setelahnya, Jorge cepat-cepat menutup pintu dan melangkah ke tempat di mana gadis tadi berdiri. Laki-laki itu menatap punggung Vella dan seketika si juniorr kembali tegak berdiri lagi seperti Tugu Monas.
“Aduh ... Baru juga lihat punggungnya, juniorr gue sudah tegak aja nih. Uh ... Jadi nggak sabaran deh,” batin Jorge meneguk salivanya dalam-dalam.
Jorge sedikit mendekat ke tubuh Vella dan tingkah kikuknya kembali terjadi. Hampir sepuluh detik oa berpikir apakah harus langsung menerkam gadis itu ataukah dirinya wajib berkenalan terlebih dahulu.
Namun, sikap yang Jorge perlihatkan malah sebaliknya, hingga bahkan ia kini menyuruh Vella layaknya Jimmy, sang anak buah.
“Kamu mandi dulu, gih! Bajumu ada di atas meja nakas itu tuh. Tapi jangan lama-lama ya? Saya lagi sibuk!” ketus Jorge bertitah.
Vella pun mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Lima belas menit berlalu, ia sudah selesai membersihkan tubuhnya, lalu keluar dari sana hanya memakai jubah mandi, dan menghampiri Jorge dengan kepala tertunduk. seolah mengerti, apa yang hendak sang CEO itu lakukan padanya.
Jorge yang duduk di atas sofa panjang sempat tersentak melihat Vella tidak memakai baju yang ia berikan, tetapi hatinya berteriak kegirangan.
“Felicia, sini!” panggil Jorge menepuk bagian sofa yang kosong disebelahnya.
Vella pun mendekat, lalu reaksi alamiah kembali lagi terjadi padanya.
Deg ....
Debaran jantung Jorge bekerja dua kali lebih cepat, seperti laju mobil balap yang dikendarai Michael Schumacher, dan tentu saja Vella pun merasakan hal demikian.
“Ma..af ... Pe..peker..jaan a..pa yang ha..rus saya laku..kan, Ko?” tanya Vella terbata, akibat rasa malu bercampur dengan sedikit ketakutan. Terdengar helaan napas berat dari kedua rongga hidung Jorge, tetapi semua itu karena ia rasa gugup yang menderanya barusan.
“Sini, Felicia! Duduk dulu di sebelahku. Aku mau lihat wajahmu dulu,” titah Jorge, menepuk tangannya ke sofa.
Vella pun akhirnya menuruti permintaan Jorge, duduk di sampingnya, dan laki-laki itu mulai beraksi.
“Feli, ker—”
“Saya lebih suka dipanggil Vella, Ko. Itu nama kecil saya,” sanggah Vella membuat Jorge tersenyum.
“Ya Sudah. Vella, pekerjaan kamu itu adalah … Ehem ...”
Tenggorokan Jorge tercekat seketika, sedikit gugup untuk kesekian kali, akan tetapi ia akhirnya berbicara juga, karena desakan si juniorr,
“Kamu masih perawan?" tanya Jorge dan Vella mengangguk pelan, “Jangan takut. Sekarang kamu lihat aku ya?” pinta Jorge, menarik dagu Vella.
Kedua mata cantik itu kini bertatapan dengan wajah tampan Jorge dan satu reaksi alam terjadi dalam diri sang CEO muda.
“Buset ... Cantik banget. Bibirnya juga tebal lagi! Duh ... Gue paling suka nih yang kayak begini. Pasti enak banget kalau si juniorr dipuasin sama dia. Iya nggak, sih, Jun? Ugh ...” batin Jorge bertanya pada si juniorr yang semakin mengeras di balik boxer.
“Ehem ...” Namun, Vella berdeham, dan dunia Jorge kembali berputar.
“Egh, em ... Jadi gini, Vel. Kamu lagi butuh duit, kan?” tanya Jorge, lalu Vella mengangguk lagi, “Aku akan kasih kamu uang yang banyak, asal kamu ikuti apa mauku, bisa?”
“Iy..iya, Ko. Bi..bisa.”
“Jangan panggil Koko. Panggil nama aku aja ya? Gege gitu. Coba sekarang kamu panggil namaku kayak gitu,” pinta Jorge seperti menguji.
“Egh, iya. Ge..ge,” Vella menurutinya.
“Ssttt ... Jangan kayak gitu, Sayang. Yang lembut dong! Gege ... gitu.” Jorge pun mengajari dengan sedikit mendesahkan suaranya.
“Gege ...”
“Nah, gitu.”
Jorge mulai mencari cara agar suasana sedikit mencair, dengan pembicaraan konyol, dan melembutkan intonasi bicara. Harapan sang CEO, semoga saja Vella patuh padanya, lalu tidak takut lagi.
“Vella ...” Jorge pun mulai membelai pipi Vella dengan punggung tangannya, “Kamu cantik. Jadi aku akan ajarin kamu untuk memuaskan aku sekarang. Kamu mau, kan?” lanjutnya bertanya seraya membelai pipi putihnya.
Tanpa menunggu jawaban dari Vella, Jorge pun memegang tangannya dan membawa ke tempat di mana si juniorr yang sekarang makin menegang.
“Coba Sekarang kamu bukain celanaku, ya?” titah lembut Jorge.
Vella pun menuruti perintah Jorge, lalu melepas boxer hitamnya, “Terus kamu elus ini. Bisa, kan?”
Sekali lagi Jorge bertitah di sana dan lagi-lagi Vella menurut dengan perkataan Tuan CEO. Kendati mengetahui itu adalah hal yang salah, tetap saja ia melakukan juga.
Vella mengelus milik Jorge yang sudah menegang, sehingga itu benar-benar sukses membuat sang tuan seolah mendapatkan oase di padang gurun.
“Emh ... Kamu urut sedikit ya, Sayang? Kayak gini nih. Coba kamu buat kayak yang aku ajarkan tadi,” pinta Jorge dengan matanya yang nyaris tertutup, “Emh ... Tanganmu lembut banget, Vel. Ssttt ... Aku suka ...”
Sekali lagi, Vella menurut dan mulai mengurut milik Jorge yang sudah mengeras, membuatnya mendesah lembut.
“Udah, ya? Sekarang kamu kasih masuk ke dalam mulut, terus diemut. Mau, kan, Sayang? Tapi kasih masuknya pelan-pelan, jangan sampai kena gigimu. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Ayo sekarang kamu coba.” Lima menit pun berlalu dengan keadaan Vella masih saja mengurut milik Jorge, pria dua puluh lima tahun itu mulai mengajarkan.
Perlahan tapi pasti, Vella pun memasukkan milik Jorge yang sudah menegang sempurna ke dalam mulutnya, lalu terdengarlah suara laki-laki itu yang meracau kenikmatan, “Oh … enak, Sayang! Hangat! Nikmat banget lagi!”
Napas Jorge semakin memburu, karena ternyata Vella menuruti apa yang ia katakan tadi, membuat desahannya terdengar berkali-kali, “Sambil diurut ya, Sayang? Seperti yang tadi it— Ugh! Iya, gitu! Enak banget, Sayang ...”
Jorge juga membelai rambut Vella yang kini sudah berubah posisi berada tepat di depannya dan sama sekali tak ada satu perlakuan kasar darinya di sana.
“Putar ujung lidah kamu di lubangnya, Vella. Coba putar ya? Itu enak banget, Sa— Enak, Sayang! Nikmat ...” Jorge juga mengajari Vella hal nikmat lain yang menjadi kesukaannya, tetapi gadis itu lebih dulu membuatnya meracau, sebelum ia selesai berkata-kata.
Jorge terus menyugar rambut Vella dan sesekali meremasnya, menikmati apa yang diberikan padanya, “Kamu pintar, Vella. Aku suk— Gila! Aku suka banget caramu. Benar-benar nikmat ...”
Sapuan lidah berpadu dengan saliva dan juga bunyib‘pop’ yang Vella berikan, membuat Jorge terbang tinggi ke angkasa. Tentu saja hal demikianlah yang selalu ia cari selama ini.
“Teruskan, Sayang! Kamu memang the best,
Vella ...”
Selama kurang lebih lima belas menit, Jorge menikmati permainan bibir dan juga pijatan jari-jari Vella, sampai tiba waktu untuk laki-laki itu meledakkan semuanya.
“Sayang ... Aku sudah mau keluar, Sayang ... Ka..kamu telan ya, Sa— Vella!” pinta Jorge bersiap meledakkan miliknya.
Vella hanya mengangguk, sembari masih terus melakukan apa yang Jorge inginkan. Sampai tak lama kemudian, ia merasakan milik laki-laki itu semakin merekah, dan membesar di dalam rongga mulut. Di detik selanjutnya cairan kental pun keluar juga.
Anehnya, hanya napas memburu yang terdengar dari kedua lubang hidung ketika Jorge menyemburkan cairannya. Sementara Vella sedikit merasa aneh dengan rasa pelepasan itu, hampir saja melepaskan kejantanan itu dari mulutnya.
Namun, kedua tangan Jorge menahan tengkuk kepala Vella, sehingga suka tidak suka ia terpaksa menelan habis cairan kental itu tanpa sisa.
Setelahnya Jorge membelai rambut hitam Vella yang panjang dengan satu senyuman terbit bersama barisan gigi putihnya.
“Aku puas banget, Sayang. Kamu benar-benar sudah buat kepalaku nggak sakit lagi. Ayo bangun dari situ,” ujar Jorge meminta Vella untuk duduk di dekatnya.
Vella lagi-lagi menuruti permintaan Jorge dan sekali lagi kedua mata mereka saling bersitatap.
“Kamu tinggal di mana, hm?”
“Belum tahu, Ko— Eh, Gege,” kikuk Vella."
"Kok belum tahu?” Membuat Jorge merasa heran.
“Iya. Memangnya Mbak Mitha tadi nggak cerita di telepon?” Vella lantas mencoba untuk menjelaskan, “Aku ini, kan— Uhuk uhuk uhuk ...” Namun, ia terbatuk, dan Jorge dengan cekatan membuka tutup botol air mineral di atas meja sofa yang dekat dengannya.
“Eh, Maaf-maaf. Lupa tadi. Ini minum dulu,” ujar Jorge dengan kikuk menyodorkan botol air mineral.
Vella meneguk isi botol hingga tersisa setengah dan Jorge tertawa dalam hati tadi, karena ia lupa setelah mendapat kenikmatan sempurna dari mulut gadis itu.
“Ehem! Jadi gini, Ge. Aku ini kabur dari rumah, karena Paman kandungku mau menikahkan aku sama anaknya,” sahut Vella kembali menjelaskan. Ia juga terus bercerita tentang kedua orang tuanya yang telah lama meninggal dunia, tentang harapan mengenai melanjutkan kuliahnya, dan tentu saja Jorge mendengarkan semua penjelasan itu dengan seksama, sembari mencari solusi.
“Tinggal di apartemenku aja kalau gitu ya?”
“Jangan, Ge! Nanti aku merepotkan kamu,” tolak Vella secara halus.
Namun, bukan Jorge Luis de Olmo namanya jika keinginannya berhasil ditolak begitu saja, “Jangan pernah membantahku! Kamu mau kuliah nggak? Aku bisa bantu kamu, kok! Percaya sama aku ya, Sayang?”
“Tapi aku mau berusaha sendiri, Ge.”
“Vella ... Aku benar-benar akan bantu kamu dalam hal keuangan dan apa pun itu, Sayang. Aku ngomong serius ini. Asalkan ...”
“Asalkan apa, Ge?”
“Asal setiap hari kamu mau melakukan seperti tadi. Aku suka sama bibirmu ini, Vel. Kamu mau, kan?” ucap Jorge, mengusap bibir Vella dengan ibu jarinya.
Sepersekian detik kemudian, Jorge mengecup bibir Vella, lalu perlahan tapi pasti, gadis itu pun membalas ciumannya.
“Aku ketagihan, Vel! Bibir dan mulut kamu ini benar-benar buat aku melayang tadi. Rasanya beda banget sama yang sudah-sudah. Jadi, kamu mau ya tinggal di apartemenku aja?” bujuk sang CEO, setelah melepaskan ciumannya.
Vella hanya bisa mengangguk dan ia merasakan getaran lain dalam hatinya. Itu adalah rasa nyaman, sedikit lega dan bercampur senang yang menjadi satu.
“Ya, Tuhan! Apa mungkin aku sudah jatuh cinta sama Gege? Ini nggak boleh terjadi, Tuhan. Dia ini pasti laki-laki yang banyak ceweknya. Kamu harus anggap dia itu majikanmu, karena biaya hidup dan kuliahmu dia yang akan bayar nanti, kan? Maka itu jangan berharap lebih ya, Vel?”