08 - Hitam di Atas Putih

1634 Kata
Almira hanya bisa pasrah saat Naga mengajaknya ke sebuah gedung apartemen. Lelaki itu memang sebelumnya sudah bilang jika ada hal yang harus mereka bahas soal pernikahan. Dan tiba-tiba Naga membawa Almira ke apartemennya. “Ayo masuk!” ujar Naga sambil mempersilakan Almira yang masih membeku untuk masuk. Almira belum pernah masuk ke apartemen lelaki sebelumnya, kecuali milik Bara dan itu pun hanya sekali. Dan kini, apakah ia harus masuk ke apartemen Naga? Ia ragu. Ia bahkan belum kenal dekat dengan Naga. Almira belum tahu pasti seperti apa sifat asli Naga, meski keduanya akan menikah satu setengah bulan lagi. “Kamu tidak mau masuk?” tanya Naga, karena Almira yang tak kunjung masuk ke unitnya. Almira menatap Naga, kemudian dengan langkah ragu, ia pun masuk ke dalam. Naga mengajak Almira duduk di sebuah sofa panjang menghadap ke arah televisi. “Mau minum sesuatu?” “Air putih saja,” pinta Almira. Ia memang tidak suka minum yang macam-macam saat sudah larut seperti ini. Apalagi minuman yang mengandung gula. Selang beberapa saat, Naga kembali dengan dua gelas air mineral di atas nampan. Lalu ia meletakkannya di atas meja yang ada di depan Almira. Lelaki itu kembali menghilang tanpa kata selama beberapa saat. “Apa itu?” tanya Almira saat melihat Naga tengah membawa sebuah map cokelat. Naga segera membukanya, kemudian menyodorkannya pada Almira. Almira menerimanya, lalu membacanya. Semakin ke bawah, ia semakin menyeritkan alisnya. Ada beberapa kalimat yang cukup membingungkan. “Perjanjian pernikahan?” tanya Almira. “Kamu tidak mengira jika aku benar-benar mencintaimu, kan?” ucapan Naga barusan berhasil membuat Almira tersentak. Ia butuh beberapa waktu untuk mencerna kalimat tersebut. “Tunggu! Jika memang seperti itu, kenapa juga pernikahan ini harus dilakukan? Kita bisa batal-” “Tidak bisa. Pernikahan akan tetap berlangsung sebagaimana mestinya yang sudah kita dan orang tua kita bahas lagi. Yang perlu kamu lakukan hanya tanda tangan di surat perjanjian itu!” potong Naga dengan nada tegas. Almira menganga tak percaya mendengar ucapan Naga. Jadi, untuk apa mereka menikah jika ternyata di baliknya ada sebuah perjanjian seperti ini? Terlebih, Naga dulu lah yang mendekati Almira dan meyakinkan gadis itu jika ia mampu membahagiakannya. Tapi, kenapa sekarang jadi seperti ini? “Apa kamu mau membuat mama kamu dan ibuku kecewa, dengan kamu yang tiba-tiba membatalkan pertunangan kita? Lagi pula, bukankah di sini kedua belah pihak akan sama-sama diuntungkan?” “Diuntungkan dalam hal apa? Di mana-mana perempuan selalu menjadi korban kalau sudah menyangkut pernikahan kontrak,” protes Almira. “Kamu butuh suami untuk membuat Nasya dan Bara melupakan rasa bersalahnya terhadap kamu, kan? Dan jika itu bukan aku, maka siapa yang mau menikahimu mendadak seperti ini? Terlebih, bukankah aku cukup layak untuk menjadi suamimu?” ucap Naga. “Jadi, kita hanya akan menjalani pernikahan status? Tapi, di surat perjanjian ini tidak ada tenggat waktu pastinya,” bingung Almira. “Meski pernikahan status, aku memang tidak berniat untuk menceraikanmu. Aku tidak mau ada skandal,” jawab Naga. Di luar dugaan, ternyata Naga memiliki pemikiran selicik itu. “Maaf, aku tidak bisa,” ucap Almira. Gadis itu hendak bangkit, namun Naga sudah lebih dulu mencekal pergelangan tangannya. “Kamu tahu kan, aku tetap tidak akan melepaskanmu meski ribuan kali kamu menolakku.” “Jika bukan karena cinta, kenapa kamu harus menjeratku seperti ini? Kenapa harus aku?” kesal Almira. “Karena hanya kau yang layak menjadi istriku. Kamu cantik, terpelajar, berprestasi, dan memiliki imej yang baik. Aku suka itu.” Almira kembali teecengang mendengarnya. “Ternyata kau orang yang hanya peduli dengan imejmu, ya? Tapi, masalah pernikahan tidak sesimple itu. Kamu-” “Kamu bisa membacanya sampai usai. Sebagai suami, meski pernikahan kita hanya pernikahan status, aku akan tetap memberimu jatah bulanan yang layak, dan keuntungan lainnya,” potong Naga lagi. “Kamu pikir aku kesusahan dalam hal ekonomi? Aku punya butik dan itu sudah cukup untuk menghidupiku dan Mama.” “Ingat, Almira! Kau harus ingat siapa aku, dan apa yang bisa terjadi pada butik dan karirmu andai kamu berani membuat masalah denganku!” “Kamu mengancamku?” “Aku tidak keberatan kalau kamu menganggapnya begitu,” jawab Naga dengan seringaian miring di bibirnya. Almira terdiam untuk beberapa saat. Menimbang keputusannya sebelum menjawab. “Yang jelas jika kamu menolak untuk bekerja sama denganku, maka kamu akan semakin lama menyiksa batin Nasya dan Bara. Selain itu kau juga akan membuat ibumu kecewa.” Almira menghela napas panjang. Ia merasa dijebak. Naga benar-benar merencanakan ini dengan baik. Bahkan ia baru memberi tahu soal surat perjanjian itu setelah mereka melakukan pertemuan keluarga. Akan tetapi, jika dipikir-pikir ucapan Naga ada benarnya. Dengan menikah dengan Naga, Almira akan mendapat banyak keuntungan. Khususnya masalah karirinya di dunia fashion. `Memang kalau aku menolak, mau sampai kapan aku gagal move on dari Bara? Lalu, memangnya apa ada jaminan jika aku akan jatuh cinta lagi setelah apa yang aku alami bersama Bara, dan kini Naga? Aku justru ragu jika aku bisa jatuh cinta lagi. Dan pasti Mama akan sangat kecewa jika mengetahuinya.` batin Almira. Almira tidak tahu, apakah suatu hari nanti ia akan menyesalinya atau tidak. Tapi, untuk sementara ini, sepertinya tak ada cara lain. Almira meletakkan kertas di tangannya ke atas meja, lalu mengambil pulpen yang ada di dekatnya. “Bolehkah aku menambahkan satu point lagi sebelum menanda tanganinya?” pinta Almira tanpa mau susah payah menoleh ke arah Naga. “Katakan!” “Aku tidak mau kita memiliki anak sebelum kita saling jatuh cinta,” pinta Almira, membuat Naga terkekeh. “Apa kamu pikir aku akan jatuh cinta padamu suatu hari nanti? Bukankah akan terlihat aneh jika kita menikah tapi tidak punya anak sementara tak satupun dari kita ada yang memiliki kelainan di organ reproduksinya?” Almira terkekeh. “Kamu terlalu percaya diri kalau kamu tidak akan pernah jatuh cinta padaku,” ucap Almira. Naga terdiam, memilih abai daripada menyakiti perasaan gadis itu. “Tapi sayangnya aku juga cukup percaya diri jika suatu hari nanti kamu akan terpikat padaku. Terlebih setelah kita tinggal bersama. Jika memang kamu tak ada niatan untuk bercerai denganku, maka aku punya waktu yang cukup panjang untuk mengubah perasaan kita satu sama lain.” Naga terdiam. Mendadak, wajahnya menjadi dingin. Namun Almira tetap mempertahankan raut wajahnya yang santai. “Bagaimana? Karena aku keberatan memiliki anak dari lelaki yang tidak mencintaiku. Jadi, kalau-” “Tulis saja di sana, kemudian segeralah tanda tangan!” potong Naga, membuat Almira tersenyum miring, kemudian segera menulis satu point tambahan yang ia mau. Almira tahu ia salah. Tak seharusnya ia menjadikan pernikahan sebagai mainan seperti ini. Terlebih, bagi Almira muda, pernikahan adalah sesuatu yang sangat sakral dan berkesan. Namun, ternyata benar yang orang katakan. Semakin dewasa kita, maka kita akan dituntut untuk melepas satu per satu impian kita di masa lalu. Realita terlalu sulit untuk berjalan bersamaan dengan imajinasi indahnya di waktu muda. Keadaan menekannya untuk berubah, mempersempit opsi yang ada di hidupnya, sehingga ia tak punya pilihan lain selain mengikuti alur yang sudah Tuhan tuliskan untuknya. Almira menegakkan tubuhnya setelah ia menanda tangani surat perjanjian yang totalnya ada dua lembar itu. Ia menatap Naga dengan tatapan datar, menyimpan rasa kecewanya sendirian. Ia tidak menyangka jika ia akan dipertemukan dengan lelaki selicik Naga dalam hidupnya. Terlebih, dalam keadaan yang membuatnya cukup terdesak seperti ini. “Kamu puas?” tanya Almira. “Kamu boleh menyimpan salinannya. Kalau begitu, haruskah aku mengantarmu pulang sekarang?” balas Naga. “Tidak perlu. Aku bisa pulang dengan taksi online,” tolak Almira. Ia segera bangkit. Namun, lagi-lagi Naga mencekal pergelangan tangannya. “Sepertinya ibumu akan banyak bertanya jika kau pulang dengan taksi online. Apalagi secepat ini. Bukankah lebih baik kita berkeliling dulu sebelum aku mengantarmu pulang?” tawar Naga. “Aku rasa tidak-” “Dan kau tahu betul kan, jika kau tidak suka penolakan?” potong Naga. Selanjutnya, laki-laki itu segera menggandeng tangan Almira keluar dari apartemennya. Mereka kembali ke basement tempat mobil Naga berada. “Kenapa kamu sulit sekali setiap aku suruh masuk?” Almira mengerti maksud Naga. Pasti soal dirinya yang tadi ragu masuk ke apartemen laki-laki itu, dan kini untuk masuk ke mobil pun ia kelihatan enggan. “Bisakah kali ini kamu mengalah dan membiarkanku pulang sendiri?” tanya Almira. “Tidak,” jawab Naga singkat. Naga menghampiri Almira, lalu membimbing gadis itu untuk masuk ke bangku penumpang. “Kau tidak harus menangis kan, hanya karena aku mintai menanda tangani surat perjanjian itu? Toh aku melakukannya juga demi kebaikanmu. Aku hanya tidak ingin kamu terlalu berharap dan menuntut lebih dariku nantinya,” tanya Naga. “Ya. Lagi pula aku memang bukan tipe perempuan yang suka berharap lebih pada orang lain.” “Ya. Aku tahu betapa mandirinya kamu. Maka dari itu aku memilihmu,” balas Naga enteng. Almira menghela napas. Ia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Melihat apapun, asal bukan wajah memuakkan milik Naga yang berpotensi membuat air matanya turun. Almira meremat tangannya sendiri. Berusaha menahan emosi yang kini memberi efek menjalar ke seluruh tubuhnya. `Tidak. Kamu tidak boleh menangis lagi, Ra. Ini memang menyakitkan. Tapi kamu memang tidak punya pilihan lain selain menerima dan menjalani perjanjian ini dengan Naga. Memang mau sampai kapan kamu mau tampak menyedihkan di mata orang-orang yang mengetahui kesakitanku setelah dicampakkan Bara?` batin Almira, berusaha menguatkan dirinya sendiri. Naga seakan sengaja memilih jalan memutar agar bisa lebih lama sampai di rumah Almira. Almira pun tahu alasan kenapa laki-laki itu melakukan demikian. Agar Ira mengira jika mereka berdua benar-benar pergi berkencan malam ini. Sepertinya, mulai sekarang Almira harus belajar berakting agar tak ada seorang pun yang curiga dengan hubungannya bersama Naga. `Apa yang harus aku tangisi? Bukankah memang pada kenyataannya banyak orang yang menikah tanpa cinta? Terkadang dua insan bersatu bukan karena cinta, tapi sama sepertiku, karena terdesak oleh keadaan. Terlebih di negara yang aku tinggali, orang-orang akan menganggap aneh jika seseorang memutuskan untuk tidak menikah, atau bahkan masih betah sendiri di usianya yang sudah dianggap matang.`
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN