07 - Saturday Night

1844 Kata
Lima hari berlalu sejak Almira memutuskan untuk menerima pinangan Naga secara personal. Dan malam ini, kedua pihak keluarga akan bertemu di tempat yang sudah disiapkan. Almira keluar dari kamarnya dengan setelan formal layaknya ia hendak berangkat bekerja. Rok selutut dengan kemeja berwarna biru yang tampak pas di tubuhnya. Sebenarnya ia tadi bingung mau memakai baju apa, mengingat pengalamannya yang memang sangat minim menyangkut hal kencan. “Astaga, Rara, kok kayak mau kerja begitu baju kamu?” heran Ira. “Ya habisnya Rara bingung, Ma, mau pakai baju apa,” ucap Almira seadanya. “Kamu itu desainer loh. Orang fashion. Bisa-bisanya sampai bingung milih baju. Udah ayo ganti! Mama bantu cari,” ajak Ira, sambil menggiring Almira kembali ke kamarnya. Ira langsung membuka bagian dress. Lalu, ia mengambil beberapa dress yang memiliki nuansa formal, namun juga manis. Rata-rata pilihannya berwarna gelap, yang memang akan lebih cocok digunakan untuk acara makan malam keluarga. “Sini, kamu berdiri!” ujar Ira, meminta Almira berdiri di depan kaca. Lalu, ia menempelka satu per satu baju yang ia pilih ke tubuh Almira. “Yang ini cantik,” ucap Ira. “Lengannya nggak terlalu terbuka, Ma?” tanya Almira. “Ya kan ini memang modelnya sabrina. Tapi aman, kok. Lagian dress-nya bukan yang ketat di badan.” “Coba yang lain dulu deh!” pinta Almira. Ira menghela napas, lalu meletakkan dress berwarna hitam dengan corak putih yang baru saja ia tempelkan pada tubuh putrinya ke atas tempat tidur. “Ini bagaimana? Mama suka. Sedikit lebih tertutup juga kan, daripada yang tadi,” ucap Ira sambil menempelkan dress berwarna marun. “Serius, Ma? Aku nggak pede ah pakai warna marun di depan Tante Dami. Yang lebih formal aja,” pinta Almira. Lagi, Ira menatap lelah ke arah putrinya. Hingga akhirnya ia meraih dress berwarna navy yang kini pantang ditolak oleh Almira. “Ini lengannya tertutup, warnanya tidak mencolok, dan modelnya cukup formal. Fiks kamu pakai ini saja!” putus Ira. Setelah itu, Almira berganti pakaian ke kamar mandi. Selang beberapa menit, Almira keluar mengenakan dress yang telah Ira pilihkan. Namun, Ira merasa masih ada yang kurang dengan penampilan putrinya. “Kamu nggak pakai eye shadow sama sekali, ya? Terus rambut kamu, masa mau seperti itu? Nggak mau di-blow dulu?” “Ma, ini udah jam tujuh loh. Nggak enak nanti kalau sampai telat,” ucap Almira putus asa. “Ya kamunya gimana sih, Ra? Kan tahu kita mau makan malam penting. Kok setengah-setengah dandannya? Mau ketemu calon mertua loh ini,” ujar Ira. “Ya Almira bingung, Ma. Tapi serius deh, ini udah nggak ada waktu buat dandan dan nge-blow rambut. Udah ah yuk gini aja ya?” “Masalah rambut, oke lah. Tapi eye shadow, Ra, astaga!” kesal Ira. Lalu, ia mendorong Almira untuk duduk di kursi rias dan segera memoles kelopak mata putrinya itu dengan eye shadow berwarna pink-nude. “Nah, oke. Sudah lebih baik. Kalau gitu, kita berangkat sekarang, yuk!” ajak Ira. Almira mengangguk. Kedua wanita beda generasi itu pun bergegas keluar dari rumah. Sampainya mereka di depan, keduanya dikejutkan dengan kedatangan Naga dengan mobil hitamnya yang kini sudah terparkir di halaman rumah Almira. “Loh, kamu kok-” “Selamat malam, Tante,” Naga menyapa dan menyalami Ira, mengabaikan Almira yang baru saja hendak melontarkan pertanyaan. “Nak Naga nggak jemput ibunya?” tanya Ira, mewakili pertanyaan sang putri. “Ibu lebih suka ke mana-mana dengan sopir, Tante,” jawab Naga sopan. “Sebenarnya sih aku juga begitu,” gumam Almira, setengah menyindir Naga. “Kalau sudah siap, bisa kita berangkat sekarang?” tanya Naga, lagi-lagi mengabaikan ucapan Almira. Membuat desainer muda itu mendengus kesal dan pasrah mengikuti langkah ibunya. “Loh, kamu duduk di depan dong, sama Nak Naga,” ucap Ira, menghalau putrinya yang baru saja akan mengikutinya duduk di bangku belakang. “Mama sendiri, dong?” “Ya nggak apa-apa- daripada Nak Naga yang sendirian di depan? Kesannya kayak sopir aja. Nggak sopan ah,” balas Ira. Almira hanya bisa kembali pasrah dan segera menutup kembali pintu di samping sang ibu. Setelah itu, barulah ia membuka pintu bagian depan sebelah kiri, dan segera masuk ke sana. Setelah memastikan jika para penumpang mobilnya sudah menggunakan sabuk pengaman, akhirnya Naga mulai menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah Almira. Tak sampai tiga puluh menit, mereka sampai di parking area restoran yang sudah Naga tentukan. Naga mematikan mesin mobilnya setelah mendapat tempat parkir yang sesuai. Lalu, tiga penumpang mobil itu pun segera keluar. “Saya sudah memesan private room di lantai tiga. Mari, Tante!” Naga mempersilakan Ira berjalan di sisinya. Sementara itu, Almira memilih berjalan di samping kiri ibunya. Tak lama kemudian, seorang pelayan menghampiri mereka, mengantar mereka menuju tempat yang sudah Naga booking. “Serius ini buat makan malam aja sampai booking private room?” tanya Almira. “Kita kan juga mau membahas hal penting. Jadi sebaiknya memang cari tempat yang private,” balas Naga. Kalau dipikir, benar juga ucapan Naga. Apalagi, yang akan mereka bahas adalah masalah pernikahan. Pernikahan seorang Naga Mahawira, pengusaha sekaligus donatur kondang di dunia fashion dan beberapa bisnis lain, yang tentunya akan menjadi topik hangat kalau sampai tersebar ke media. Pintu ruangan terbuka, menampakkan Dami yang ternyata sudah datang lebih dulu, dengan beberapa menu makanan dan minuman yang masih utuh. “Ah, akhirnya kita benar-benar bertemu, Jeng,” Dami langsung menyapa dan membimbing Ira untuk duduk di hadapannya. Setelah itu, disusul Naga dan Almira yang duduk saling berhadapan. “Saya sudah memesan beberapa menu agar kalian tidak perlu menunggu lama saat sudah sampai. Tapi, kalau ada tambahan, pesan lagi saja! Jujur saya kan juga belum tahu selera kalian,” ucap Dami ramah. “I- ini saja sudah cukup, Tante,” balas Almira, karena menurutnya, hidangan yang tersaji di depannya kini sudah lebih dari cukup untuk disantap berempat. “Tante tidak menyangka jika akhirnya kamu akan benar-benar menyambut baik ajakan Naga untuk bersama, Almira. Tante senang sekali dengarnya saat Naga mengabarkan jika pertemuan keluarga kita benar-benar akan digelar,” ucap Dami. “Anda sedikit berlebihan, Jeng. Seharusnya kami yang merasa tersanjung atas pinangan Nak Naga terhadap Almira,” balas Ira. Keempatnya pun mulai bergantian saling menanggapi ucapan satu sama lain, sembari menikmati hidangan yang tersaji. “Apa itu tidak terlalu cepat?” tanya Almira saat mendengar semuanya seolah setuju dengan usulan Naga tentang pernikahan yang akan digelar sekitar satu setengah bulan lagi. “Dua bulan lagi aku harus ke Milan untuk urusan bisnis. Kemudian, tiga bulan lagi kita juga harus menghadiri Paris Fashion Week, kan? Jadi, kalau tidak satu setengah bulan lagi, mungkin kita baru akan menikah lima hingga enam bulan lagi,” terang Naga. “Tapi kan kita juga butuh banyak persiapan.” “Soal itu, kamu serahkan saja pada Tante. Nanti kamu tinggal memilih konsep, dekor, dan sebagainya. Biar WO kenalan Tante yang siapkan semuanya,” sambung Dami. `Tapi kan tetap saja, pernikahan tidak bisa dilakukan secara mendadak seperti ini. Terlebih, aku dan Bara juga belum saling mengenal. Kami saja masih sering canggung satu sama lain kalau hanya berdua,` batin Almira, yang masih ingin mendebat keputusan Naga dan para ibu itu. “Soal saling mengenal, kan bisa dilakukan nanti seiring berjalannya waktu. Kalian akan tinggal satu atap, pasti akan lebih mudah untuk saling mengenal satu sama lain,” ucap Ira. “Nah. Dan masih ada waktu satu setengah bulan, kok. Kalian masih bisa melakukan pendekatan pra-nikah sambil menunggu hari-H nya tiba,” sambung Dami. Almira menoleh ke arah Naga, dan pria itu hanya mengangguk seolah menyetujui usulan para ibu. Mau mengelak pun, Almira sudah jelas akan kalah suara. Apalagi, dia sendiri jugalah yang memutuskan untuk menyetujui pertemuan ini. Jadi rasanya tidak etis kalau tiba-tiba ia menyampaikan keberatannya. Apalagi kan sejak awal Almira tahu, Naga mendekatinya memang untuk menuju jenjang yang se-serius itu. Dengan Almira menyetujui diadakannya acara pertemuan ini saja, itu sudah berarti ia juga menerima pinangan Naga, kan? “Bagaimana? Kamu setuju kan, sayang? Hal baik tidak boleh ditunda-tunda loh,” tanya Dami. “Mama tidak memaksa. Hanya saja, kalau secara usia, kamu memang sudah layak untuk sampai ke jenjang itu kan, Ra,” bisik Ira pada Almira yang ada di sampingnya. Almira menghela napas panjang. Toh ia sendiri juga kan, yang lima hari lalu memutuskan untuk mencoba menjalani ini dengan Naga? “Baiklah, Almira setuju, Ma, Tante,” putus Almira. Tanpa sengaja, Almira menangkap senyum tipis yang tercetak samar di bibir Naga. Membuat Almira sempat terkesima andai ia tidak segera sadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. `Sepertinya tidak akan sulit untuk aku jatuh cinta padanya,` batin Almira. “Berarti semua sudah sampai pada keputusan final, kan? Untuk tempat dan jam, saya rasa masih bisa menyusul,” ucap Naga. “Iya. Dan jangan lupa segera buat list tamu undangan, bridesmaid dan groomsmen-nya!” pesan Dami. “Baik, Tante,” sambung Almira. “Ssstt... sebentar lagi kamu kan juga akan jadi anak Ibu. Jadi mulai sekarang, biasakan panggil `Ibu` saja, ya!” pinta Dami, membuat Almira menelan salivanya dengan susah payah. Ia merasa malu sekaligus canggung. “Nak Naga juga boleh panggil Tante dengan sebutan `Mama` mulai sekarang!” sambung Ira. “Baik, Ma,” jawab Naga patuh, dan langsung mempraktikkannya. “Oke, kalau sudah selesai, karena ini masih terbilang sore, bagaimana kalau kita biarkan pasangan muda ini nge-date dulu, Jeng?” tanya Dami pada Ira. “Wah boleh. Mumpung malam Minggu juga, kan? Kalau tidak malam Minggu, Almira dan Naga sepertinya juga sama-sama sibuk.” “Betul sekali. Lagi pula kan benar yang tadi Almira bilang. Mereka butuh pendekatan dulu. Jadi, mari kita beri ruang untuk mereka!” Almira menelan salivanya. Ia mendadak menjadi gugup. Padahal, selama ini Almira sudah berhasil membangun kepercayaan dirinya dalam hal apapun. Namun, ternyata mentalnya langsung ciut saat ia dihadapkan dengan pembahasan tentang seperti ini. “Tapi, Ma-” “Udah, sayang. Biar Ibu yang antar mama kamu pulang. Kalian boleh lanjut di sini, atau jalan-jalan ke tempat lain. Pokoknya maksimalkan saja waktu kalian untuk saling mengenal satu sama lain,” potong Dami. “Naga, kamu sudah dewasa. Ibu percayakan hal ini pada kamu, ya?” ucap Dami pada putra semata wayangnya. Naga hanya menyahutinya dengan anggukan kepala, sebelum dua wanita paruh baya itu benar-benar meninggalkan mereka berdua. Almira meremat tangannya yang ada di bawah meja. Ini adalah kali pertama ia berhadapan empat mata dengan Naga setelah rencana pernikahan mereka diputuskan. Dan suasana menjadi hening. Ia tahu, Naga bukanlah pria yang banyak bicara. Dan Almira sendiri seakan tidak punya topik menarik untuk ia bahas dengan Naga. “Kamu-” “Kita-” Almira terkekeh canggung saat menyadari dirinya dan Naga berbicara di waktu bersamaan. “Kamu dulu,” ucap Almira. “No. Ladies first,” tolak Naga. “Hmm... aku cuma mau tanya. Kenapa kamu yakin sekali untuk menikah denganku hanya dalam kurun waktu satu setengah bulan ke depan?” Naga tersenyum miring, “Itulah yang harus kita bahas sekarang.” Ucapan Naga barusan berhasil membuat Almira merinding. Ia tidak mengerti dengan apa yang Naga maksud di sini. Hanya saja, perasaannya mendadak jadi tidak enak. Apakah ini pertanda buruk tentang akan terjadinya sesuatu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN