15 - Harapan

1916 Kata
Sejak menjadi istri Naga, Almira membiasakan diri pulang lebih awal agar ia bisa memasak makan malam untuknya dan sang suami. Seperti hari ini misalnya. Meski kekecewaannya karena Naga yang enggan memakan masakannya tadi pagi, Almira tetap berusaha melakukan yang terbaik hari ini. Ia menyiapkan makan malam seperti biasanya. Setelah itu, ia menyapu dan mengepel lantai sambil merendam cucian di mesin. Ia seperti tidak punya lelah. Tapi, bukankah memang seperti itu tugas seorang istri? Selesai dengan semua kegiatannya, kini giliran Almira sendiri yang harus dibersihkan. Ia pun segera mandi. Namun ada satu hal yang janggal saat Almira selesai mandi. Sudah pukul enam sore, dan Naga belum pulang. Biasanya lelaki itu akan sampai sebelum pukul enam. Tapi sepertinya hari ini ia akan sedikit terlambat. Namun, kenapa ia tidak memberi kabar pada Almira kalau ia akan terlambat pulang? Almira meraih ponselnya, kemudian mencoba mengirim pesan pada Naga. Tak lama, ada balasan masuk di ponsel gadis itu. 'Ya, aku lembur. Tidak usah menungguku!' Almira menatap masakannya dengan nanar. Akankah mereka berakhir di tempat sampah lagi seperti yang tadi pagi? Almira menghela napas panjang kemudian segera menyantap makanan di hadapannya tanpa minat. Padahal belum genap satu minggu mereka menikah. Tapi perubahan sikap Naga sudah sederastis ini. *** Almira membuka matanya. Ia meraih ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang. Dan ternyata, sudah pukul lima pagi. Almira menoleh ke belakang, mencari keberadaan pria yang berstatus sebagai suaminya, namun ternyata ia tidak ada di sana. "Masa sih dia belum pulang?" gumam Almira. Almira pun segera turun dari tempat tidur. Ia berniat mencari keberadaan Naga di ruang tamu. Dan ternyata benar, laki-laki itu ada di sana. Almira menyentuh dadanya yang terasa sesak. Mau sampai kapan ia dan Naga seperti ini? Jika memang kebahagiaan tampak terlalu mewah untuk seorang Almira Putri Deananda, apakah ia tidak bisa jika ia berharap setidaknya ia tidak menderita? Almira kembali masuk ke kamar. Ia mengambil baju ganti dan segera menuju ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian, ia keluar dan mendapati Naga yang sudah ada di kamar. "Kamu sudah bangun?" tanya Almira basa-basi. "Hmm." Almira menelan salivanya dengan susah payah. Ini masih pagi buta, dan ia sudah harus menghadapi sikap dingin suaminya. "Pagi ini kamu akan sarapan, kan? Kamu mau makan apa?" tawar Almira. "Tidak usah." "Eh? Kenapa?" bingung Almira. "Aku tidak terlalu suka sarapan. Minggir!" Almira menggeser tubuhmya, memberi jalan agar Naga bisa masuk ke kamar mandi. Glek Almira sedikit tersentak saat pintu di belakangnya sudah kembali tertutup. Dadanya terasa nyeri. Namun mau tidak mau ia tetap harus menahannya, kan? Almira pun segera beralih ke dapur. Ia tak kehilangan akal. Jika memang Naga tidak mau sarapan bersamanya, mungkin laki-laki itu bersedia membawa bekal. "Naga, tunggu!" Almira berseru memanggil sang suami saat melihat laki-laki itu keluar dari kamar, sudah dengan setelan rapi khas orang kantorannya. Almira berlari kecil ke arah Naga, kemudian menyodorkan sesuatu yang membuat Naga menyerit. "Aku buatkan kamu bekal. Dibawa, ya?" pinta Almira. "Kamu pikir aku anak kecil?" sentak Naga. "S- siapa yang menganggapmu anak kecil? Aku kan hanya membuatkanmu bekal. Lagi pula, bukan anak kecil saja kok yang boleh membawa bekal," ujar Almira. "Tidak," tolak Naga. Laki-laki itu berjalan melewati Almira. Namun, Almira tidak mau menyerah begitu saja. Ia mengikuti Naga, kemudian menangkap lengannya saat ia punya kesempatan. "Aku sudah capek-capek buatin ini untuk kamu loh," ucap Almira memelas. "Bukan aku yang minta," balad Naga. Setelah itu, ia menarik tangannya kembali dan segera pergi dari apartemen. 'Dia kenapa, sih? Mau sampai kapan dia seperti ini?' jerit batin Almira. Almira melangkah kembali ke meja makan dengan perasaan kecewanya yang kembali hadir. "Sepertinya dibanding harus belajar menjadi istri yang baik, aku juga harus lebih mempersiapkan hatiku untuk diperlakukan seperti ini oleh Naga. Memang apa yang bisa aku harapkan? Kan sudah jelas apa yang melandasi pernikahan ini." Almira menyantap makanannya dalam diam. Setelah itu, ia pun bersiap ke butik. Hari kemarin produktivitas Almira benar-bemar buruk. Dan hari ini ia sudah memantabkan diri kalau ia harus bekerja keras. Ia harus bisa mengalihkan perhatiannya ke arah hal-hal yang lebih positif. Almira mulai dengan mendesain produk baru untuk butiknya. Saat merasa stuck, ia pun mencari hawa baru dengan keluar dari ruangannya. Ia ikut serta melayani konsumen yang datang. Sejenak, Almira bisa benar-benar mengalihkan perhatiannya. Ternyata suasana ramai memang bisa membantunya untuk melupakan masalahnya sejenak. Saat butik cukup sepi, Almira berpindah ke ruang produksi. Tampak beberapa pegawainya sedang menjahit di sana. Butik ini memang dilengkapi dengan ruang produksi sekalian. Dan semua pakaian yang dijual butik ini memang diproduksi sendiri di sini. Almira mengecek satu per satu pakaian yang baru saja jadi. "Yang itu tinggal pelabelan saja, Mbak," ujar Ratna, penanggung jawab bagian produksi. Almira mengangguk. Lalu, ia menghampiri Sisi yang tengah sibuk mengukur kain. "Si," panggilnya. "Ya, Mbak?" "Sampel baju yang kamu buat kemarin sudah selesai direvisi?" "Ah iya sudah, Mbak. Sebentar saya ambilkan." Sisi segera berlalu untuk mengambil pakaian yang Almira maksud. Setelah itu, ia kembali dan memberikan kain itu pada Almira. Almira segera meneliti detail pakaian itu, lalu mengangguk. "Sudah bagus. Ini nanti diproduksi enam dulu saja, ya. Warnanya sesuai yang aku tulis di desainnya," ujar Almira. "Baik, Mbak. Akan saya kerjakan setelah saya menyelesaikan sampel yang kata Mbak Rara mau untuk PWF, ya?" ucap Sisi. "Iya. Nanti minta tolong saja pada Mbak Ratna, biar bisa bagi tugas," balas Almira. "Mbak Rara," Almira menoleh saat Ratna memanggilnya. "Yang ini boleh diproduksi ulang? Karena stoknya sudah habis," ucap Ratna. "Iya, Mbak, atur saja!" jawab Almira. Setelah itu, Almira kembali ke depan. Membantu beberapa pembelinya untuk memilih. "Mbak, Mbak Rara nggak makan siang? Ini sudah jam makan siang loh," ujar salah seorang pegawainya. "Oh ya? Cepat sekali," balas Almira. Ia sadar, jika ia masih ada di sini dan sibuk bekerja, maka para pegawainya tidak akan ada yang mau makan siang. Almira terkekeh memikirkannya. "Ya sudah kalau begitu, aku akan keluar untuk cari makan," ucap Almira. Ia kembali ke ruangannya untuk mengambil tas dan kunci mobilnya. Setelah itu, ia pun menuju ke restoran terdekat. Sembari menunggu pesanannya diantar, Almira pun memilih untuk membuka pesan-pesan yang masuk di ponselnya. Yang langsung berhasil menyita perhatian Almira adalah pesan dari Naga. Almira pun segera membukanya. 'Jam lima aku jemput di apartemen. Kita makan malam di luar.' Sudut bibir Almira terangkat saat membacanya. Benarkah ini Naga? Naga mengajaknya makan malam di luar? "Permisi, ini pesanan Anda." "Terima kasih," ungkap Almira. Ia mengetikkan pesan balasan dengan cepat pada Naga, yang mengatakan jika ia bersedia. Setelah itu, ia pun segera menyantap hidangan makan siangnya. "Mbak Rara!" Almira menoleh dengan cepat. Dan ia tersenyum lebar saat mendapati keberadaan Nasya yang kini sedang melambaikan tangannya ke arahnya. Wanita itu berlari kecil menghampiri Almira. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah keduanya sama-sama menikah. "Wah, memang beda, ya, aura pengantin baru," goda Nasya. Bukannya tersipu, Almira malah terkekeh. "Bukannya Mbak Nasya juga pengantin baru?" balas Almira. "Kan Mbak Rara yang lebih baru. Baru satu minggu. Gimana, Mbak, rasanya jadi istri?" tanya Nasya dengan menggebu-gebu. "Ya tidak bagaimana-bagaimana," jawab Almira. Ia juga bingung harus menjawab seperti apa. "Masa sih? Kan pasti ada yang baru, gitu. Apalagi pas pagi-pagi bangun, sekarang sudah tidak sendiri lagi," ujar Nasya. Almira tersenyum miris. Sayangnya sudah dua hari ini ia merasa seperti orang single karena Naga yang bahkan tidak mau tidur bersamanya. "Mbak Rara," panggil Nasya, membuyarkan lamunan Almira. "Ya?" "Seru kali, ya, kalau kita honeymoon berempat?" tanya Nasya yang membuat Almira melotot. "Bu- bukannya Mbak Nasya sudah honeymoon sama Bara?" "Tapi Mbak Rara belum, kan? Kalau ada rencana, boleh sih ajak-ajak. Honeymoon seru juga ternyata," ujar Nasya begitu mudahnya, membuat Almira menatap horor ke arah lawan bicaranya itu. Almira berdeham. Lalu, ia berusaha mencari celah untuk mengalihkan pembicaraan. "Mbak Nasya sudah positif?" tanya Almira. "Belum. Nggak buru-buru sih kalau saya. Kalau Mbak Rara gimana?" "Sa- saya kan baru seminggu, Mbak." "Eh, bisa loh langsung, kalo benihnya memang tokcer dan Mbak Rara lagi masa subur," ujar Nasya begitu frontal. "Hmm, Mbak, sepertinya kita bicarakan yang lain aja deh. Mbak Nasya udah pesan?" tanya Almira. "Udah, Mbak. Oh iya, tapi tidak apa-apa kan saya duduk di sini?" Almira terkekeh sebentar, "nggak apa-apa. Saya malah senang kalau ada temannya," balasnya. Setelah itu, Nasya mempersilakan Almira makan, sebelum akhirnya ia juga menyusul. Selesai makan siang, mereka pun kembali berpisah di parkiran restoran. "Serius, Mbak. Kalau Mbak Rara sama Pak Naga mau honeymoon, boleh loh ajak saya! Nanti double date kita," ujar Nasya. Wanita itu memang cukup frontal. "Iya, Mbak. Tapi memang dasarnya saja kami belum kepikiran sampai sana." Ya ampun, memang pasangan mana yang mau ajak-ajak orang saat pergi honeymoon? Honeymoon. Almira terpaku saat memikirkan satu kata manis itu. Jujur, dibanding acara inti pernikahan, Almira justru jauh lebih tertarik dengan perjalanan bulan madunya. Bahkan ia sudah punya wishlist tempat-tempat yang ingin ia kunjungi. Mulai dari Lombok, Raja Ampat, Korea Selatan, hingga Santo Rini. Tapi, mengingat siapa yang menjadi suaminya kini, tampaknya akan sulit bagi Almira untuk mewujudkan impian-impiannya itu. "Tapi hasil yang aku dapat, sepadan kan?" gumam Almira sembari tersenyum saat melihat mobil Nasya yang semakin menjauh. Meski kehidupannya kini terasa sedikit sulit dan menyakitkan, tapi Almira cukup puas melihat wajah cerah Nasya. Setidaknya Almira kini sudah bukan lagi beban bagi pikiran orang lain. Masalah kebahagiaannya sendiri, Almira percaya akan ada waktunya untuk ia bisa merasakan semua itu. Entah dengan Naga, atau mungkin laki-laki lain. Almira segera kembali ke butik dan melanjutkan kegiatannya. Hingga pada pukul setengah empat sore, Almira pun pulang. Ia mandi dan sedikit berdandan mengingat ia akan keluar makan malam bersama Naga. Ini adalah sebuah kesempatan langka, jadi tidak mungkin Almira tidak antusias menyambutnya. Ting Sebuah notifikasi muncul di ponselnya. Almira pun segera membukanya. Dan senyumnya tampak merekah saat melihat pesan Naga di sana. 'Aku menunggu di depan.' Almira bergegas mengambil tasnya, kemudian keluar dari unitnya. Ia pun segera turun dengan lift. Saat melihat mobil Naga, Almira semakin mempercepat langkahnya. Ia segera masuk tanpa banyak bicara. "High hills lagi? Kamu belum kapok juga?" tegur Naga. "Ah i- ini-" "Sudahlah. Terserah saja," potong Naga. Toh ia juga tidak mau jika harus menunggu Almira berganti sepatu lagi. Selang beberapa menit, mereka tiba di sebuah fine dining resto di daerah Jakarta Selatan. "Ah iya bunganya," ujar Naga. Almira tersenyum saat telinganya mendengar sebuah kata yang memang akan membuat gadis mana pun senang. Almira ikut turun dan segera menghampiri Naga yang sedang sibuk mengambil sesuatu di bangku belakang. Dan saat pria itu menyembulkan kepalanya kembali, Almira tersenyum melihat sesuatu di tangan Naga. "Itu-" "Kita akan bertemu rekan kerjaku. Dia mengajak istrinya. Jadi aku juga mengajakmu. Tolong nanti berikan ini untuk istrinya!" ucap Naga, mengintrupsi kalimat Almira. DUARRRR Rasanya jantung Almira seperti meledak. Jadi, ini bukan makan malam romantis seperti yang ada di benaknya? Ia pikir Naga akan mengajaknya makan malam romantis untuk pertama kalinya setelah mereka menikah. Tapi... ah ya. Dia adalah Naga Mahawira. Dan mereka menikah bukan karena cinta. 'Dasar bodoh! Bisa-bisanya kamu masih saja berharap?' gerutu Almira dalam hati. Ia hanya bisa menurut saat Naga memberikan buket mawat berukuran cukup besar itu padanya. Setelah itu, Naga memberi kode agar ia mengaitkan tangannya di lengan pria itu. Sekali lagi, Almira hanya bisa menurut. 'Aku tak lebih dari istri di atas kertas. Aku hanyalah istri pajangan yang akan membantunya agar terlihat lebih normal layaknya laki-laki dewasa lain. Jangan salah mengartikannya, Ra! Kamu hanyalah pajangan bagi Naga,' batin Almira menahan tangis. Ia sungguh kecewa setelah harapannya yang terlalu tinggi dibanting begitu saja. Namun, ia juga sadar kalau ia tidak berhak menyalahkan Naga. Toh sejak awal Naga juga sudah berkali-kali mengingatkan tentang status mereka. Juga tentang Almira yang tidak berhak menuntut apapun dari Naga. Terutama masalah perasaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN