12 - The Day

1928 Kata
Saat ini, Almira sedang duduk di depan kaca rias dengan empat orang yang mengelilinginya. Almira memperhatikan pantulan dirinya di cermin yang memang tampak berbeda dibanding biasanya. "Sudah selesai, Mbak. Silakan ganti baju biar dibantu tim saya," ujar perias Almira. Almira mengangguk. Ia pun segera mengganti pakaiannya dengan gaun yang khusus ia desain untuk resepsi pernikahannya. Dahulu, Almira pernah memimpikan akan mengenakan gaun bak Cinderella yang besar dan mewah. Namun, menjelang pernikahannya rencana itu berubah drastis. Almira mengubah rencananya dan memilih kebaya modern sebagai pakaian resepsinya. Kebaya itu berwarna navy dengan sentuhan silver yang memberi kesan mewah sekaligus elegan. Kebaya itu tampak pas di tubuh Almira. Semakin menggambarkan jika pakaian itu memang tercipta hanya untuk Almira. "Sudah, Mbak. Wah, cantik sekali," puji staf yang membantu Almira berganti pakaian. Setelah itu Almira digiring kembali ke meja rias untuk melakukan finishing dan memasang aksesoris tambahan seperti hiasan rambut, kalung emas putih, dan beberapa hiasan lain. Tak berselang lama, pintu di belakangnya terbuka dari luar. Dari pantulan cermin di hadapannya, Almira bisa melihat pria yang baru saja resmi menjadi suaminya berdiri di sana. "Tepat waktu. Mbak Almira juga sudah selesai didandani, Pak." Tatapan Almira dan Naga bertemu melalui pantulan cermin itu. Namun, perlahan Almira mulai bangkit dan menghampiri Naga. "Bagaimana, Pak? Mbak Almira hari ini benar-benar cantik kan, Pak?" tanya salah seorang staf MUA. Pipi Almira bersemu mendengarnya. Ia jadi menebak-nebak bagaimana Naga akan menanggapinya nanti. "Bukankah dia memang sudah cantik setiap hari?" Ah benar juga. Pria seperti Naga memang sulit untuk diandalkan jika menyangkut soal pujian. "Ah? I- iya. Mbak Almira setiap hari juga sudah sangat cantik. Hanya saja-" "Sudah selesai, kan? Ayo!" ajak Naga. Almira mendelik, menyadari jika perbuatan Naga barusan tidak sopan. Namun ia hanya bisa pasrah saat Naga membawanya pergi dari sana. "Ah, buket bungaku!" seru Almira. Ia segera berlari kembali ke ruang rias untuk mengambil buket bunga berwarna putih miliknya. "Kamu bisa berlari dengan sepatu setinggi itu?" tanya Naga saat Almira sudah kembali ke sisinya. Almira menunduk. Belum sempat ia menjawab, Naga sudah kembali bersuara, "sebenarnya siapa sih yang memilih sepatu itu untukmu?" "I- ini aku sendiri yang minta, kok. Aku suka. Sudah ayo langsung ke tempat acaranya saja!" Almira menarik Naga, berusaha mengalihkan perhatian laki-laki itu. Naga menunduk sebentar untuk melihat tangan Almira yang melingkari lengannya. Jika dipikir-pikir, mereka benar-benar tampak seperti pasangan pengantin baru yang saling mencintai. Pintu ballroom dibuka. Menampilkan pasangan pengantin yang tampak bahagia itu di hadapan para tamu. Keduanya berjalan perlahan menuju mimbar, di mana dua ibu mereka sudah menunggu di sana. Setelah itu, kemeriahan pesta pun dimulai. Pesta diadakan secara besar-besaran namun tertutup. Bisa dipastikan jika hanya orang-orang tertentu sajalah yang bisa hadir di pesta mereka kali ini. Setelah beberapa saat, satu per satu tamu mulai naik ke mimbar untuk menyalami mereka. "Kamu nyaman berdiri lama dengan sepatu seperti itu?" tanya Naga. "Aku sudah cukup terbiasa," jawab Almira. Sebenarnya tidak. Kakinya sudah terasa pegal bukan main. Tapi memangnya ia bisa apa? Sementara itu, Naga terus melirik ke arah Almira yang tampak tidak nyaman. "Kalau tidak nyaman, lepas saja! Lain kali tidak usah sok-sokan mau pakai sepatu setinggi itu!" ujar Naga. "Aku tidak apa-apa, kok. Aku masih bisa menahannya sedikit lagi," balas Almira. Dan pada akhirnya, Almira berhasil membuktikan ucapannya. Ia masih sanggup bertahan hingga Naga membawanya keluar dari ballroom karena pesta yang telah usai. "Tahu kan, setelah ini masih akan ada makan malam keluarga. Pakai saja sepatu yang membuatmu nyaman, jangan menyiksa diri sendiri!" tegur Naga. "Iya aku tahu," balas Almira. Mereka kembali ke ruang rias masing-masing untuk berganti pakaian dan sekalian mandi. Satu jam kemudian, mereka kembali bertemu di depan kamar. Naga memang sengaja mengosongkan salah satu hotelnya untuk pernikahannya kali ini. Karena menurutnya, mengadakan pesta di tempatnya akan membuat keamanannya lebih terjamin dan mudah untuk mengaturnya. Makan malam diadakan di restoran semi outdoor yang ada di lantai paling atas bangunan hotel. Dari atas sana, mereka bisa melihat pemandangan kota saat malam hari. Dan sampainya di sana, mereka langsung disambut oleh sanak saudara yang sudah lebih dulu sampai, termasuk Dami dan Ira. Almira duduk di antara Naga dan Ira. Mereka tampak asyik mengobrol dan melakukan pendekatan layaknya anggota keluarga baru yang bahagia. Almira tidak menyangka jika ternyata dirinya pandai berakting seperti ini. Bahkan Almira yang biasa lebih tertutup pun kini tampak bisa mengimbangi komunikasi keluarga besar Naga. Setelah acara makan malam usai, para orang tua kembali ke kamar masing-masing. Menyisakan sekitar sepuluh orang di tempat itu. Almira tidak tahu kalau masih akan ada acara lain setelah makan malam. Ia bahkan cukup terkejut saat melihat dia orang pelayan membawa troli berisikan beberapa botol wine. Almira menoleh ngeri ke arah Naga. Sementara Naga masih tampak asyik dengan dunianya sendiri. Dua pelayan itu mulai menuangkan wine di gelas kaca cantik milik sepuluh orang di sana, termasuk milik Almira. "Are you oke, Almira?" tanya seorang wanita di sebelahnya. Tadi mereka sudah berkenalan, dan wanita itu bernama Nirina, sepupu Naga. "Aku baik-baik saja, Kak. Ini, harus banget kita minum, ya?" tanya Almira polos. Pasalnya, ia paling tidak bisa menegak minuman beralkohol. "Kamu bisa kan, Ra?" tanya Nirina. Almira mengangguk kaku, seakan tak mau mengecewakan yang lain. Satu per satu dari sepupu Naga mulai mengangkat gelasnya. Bersorak menyebut nama Naga dan Almira hingga Naga tersadar dan menoleh ke sampingnya. Naga meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar. Lalu, ia merebut gelas Almira yang baru saja menyentuh bibir istrinya itu. "What? Why?" "Kamu kenapa, Naga?" "Apa Almira tidak bisa minum?" Perbuatan Naga barusan berhasil menyita perhatian semua orang di sana. "Biar aku yang menggantikannya minum," balas Naga. "Eh? Nanti kalau kamu mabuk, bagaimana?" protes Almira. "Loh, kalian belum pernah minum bareng? Yang benar saja!" ujar seorang sepupu Naga, yang Almira ingat anak itu masih berstatus sebagai mahasiswa. "Kamu kan masih kuliah. Kamu sudah biasa minum?" heran Almira yang mengundang gelak tawa yang lainnya. "Kenapa?" bingung Almira. "Stop it! Ayo lanjut minumnya!" ujar Naga. Lelaki itu meneguk dua gelas wine itu sekaligus. "Sudah, ya! Aku nggak mau kamu nanti mabuk," bisik Almira pada pria yang kini sudah sah berstatus sebagai suaminya itu. "Almira, kamu tidak tahu kalau Naga sangat kuat minum?" tanya Nirina. "Hah?" "Ya. Dia yang terbaik di antara kita semua," sambung suami Nirina di sisi wanita itu. Almira menatap horor ke arah sang suami. Jadi, manusia es itu biasa mabuk juga? "Almira, jangan menatap Naga seperti itu, dong! Kesannya kamu seperti kaget banget tahu Naga biasa minum." "Iya. Kayak orang yang baru kenal kemarin sore saja," komentar satu yang lain. Naga berdehem hingga menyita perhatian yang lain. "Selama ini aku memang jaga imej di depannya." Almira mengangguk setuju saat tahu skenario Naga agar saudara-saudaranya tidak curiga. "Wow, tapi kelihatan sih. Istri Bang Naga memang seperti gadis baik-baik. Sial saja dia nikah sama pria berengsek seperti Bang Naga," ejek sepupu termuda Naga. "Hey, berengsek-berengsek gitu, Bang Naga masih jauh lebih baik dari kamu, tahu? Mahasiswa kok kerjaannya clubbing," ejek yang lain. "Ya elah, Bang. Namanya juga anak muda zaman sekarang," alibinya. Almira kembali menoleh ke arah Naga, hingga laki-laki itu juga menatapnya. "Ini masih lama?" tanyanya. "Kita tidak mungkin, kan, meninggalkan para tamu begitu saja saat acaranya baru saja dimulai?" balas Naga yang membuat Almira menghela napas panjang. Almira mulai merasa tidak nyaman. Awalnya, ia memang senang makan malam bersama keluarga besar Naga. Tampaknya Almira memang jauh lebih cocok menghadiri acara resmi dibanding acaranya anak muda seperti ini. "Kalian tidak mau istirahat? Istri kamu kayaknya udah capek banget, Ga," ujar Nirina. Memang, di antara yang lain, Nirina lah yang paling peka. Naga menoleh ke arah Almira. Dan gadis itu berbisik, "terserah kamu saja." "Iya juga. Udah jam sembilan lebih, nih. Malam pertama loh. Nggak mau langsung ke kamar aja?" goda suami Nirina. "Iya, Ga. Bisa gagal malam pertama kamu kalau kelamaan di sini. Nanti balik-balik kalian udah capek," imbuh yang lain. Almira meremat tangannya. Ia bisa merasakan pipinya mulai memanas sekarang. Malam pertama. Bukankah itu terdengar romantis? Tapi, mengingat pernikahannya dan Naga hanya di atas kertas, sepertinya Almira tidak akan bisa mendapat momen itu. "Baiklah. Kalau begitu kita akan kembali dulu. See you, semua," pamit Naga. Naga berdiri lebih dulu, mengabaikan saudara-saudaranya yang menggoda mereka. Setelah beberapa saat, Almira baru mengikuti Naga berdiri. Kemudian, mereka pun kembali bergandengan tangan, berakting seperti pasangan bahagia menuju ke lift. "Aw!" Almira memekik saat merasakan kakinya terkilir saat hendak naik ke lift. "Ck, sepatu hak tinggi lagi?" kesal Naga saat menyadari apa yang membuat Almira memekik barusan. Almira menempis pelan tangan Naga yang hendak membantunya. "Aku baik-baik saja. Masih- ah..." Ternyata, ia benar-benar terkilir. Namun Almira sangat keras kepala. Enggan menerima bantuan Naga. Akhirnya Naga hanya bisa memapah istrinya yang pincang itu. Almira berdiri dengan tidak nyaman di samping Naga. Rasanya ia ingin segera duduk karena kakinya yang terasa sakit. Hingga ia dikejutkan oleh gerakan Naga yang tiba-tiba. Naga bersimpuh dan memaksa Almira melepas sepatu hak tinggi miliknya. "Naik!" suruh Naga, sambil membungkukkan tubuhnya dan membelakangi Almira. Almira menyeritkan alisnya, seolah tidak yakin dengan sinyal yang baru saja ia tangkap. Tidak mungkin kan Naga mau menggendong Almira? "Buruan naik! Bisa semakin parah kalau kamu tetap memaksakan diri untuk berjalan," ulang Naga. "Tapi-" "Buruan!" Naga memotong ucapan Almira. Terpaksa, Almira pun segera memeluk Naga dari belakang. Kemudian, lelaki itu kembali bangkit berdiri. "Pegangan yang kuat!" Almira bisa mendengar suara Naga dari jarak yang lebih dekat dari biasanya. Seketika, pipinya memerah. "Maaf merepotkanmu," ungkap Almira. "Lain kali jangan keras kepala! Kalau aku bilang pakai yang buat kamu nyaman, nurut saja!" ujar Naga. Almira mengangguk pasrah. Ia teringat kembali dengan pesan Naga sore tadi yang memang sudah melarangnya memakai high hills. Almira menghela napas beberapa kali, berusaha meredam detak jantungnya yang sudah tak karuan. Tepat di depan pintu sebuah kamar, Naga menghentikan langkahnya. Ia mengeluarkan cardlock dari celananya dan segera menggunakannya untuk membuka pintu. Selama itu terjadi, Almira mencengkram erat bahu Naga agar tidak terjatuh dari gendongan lelaki itu. Sebelum melangkah masuk, Naga terdiam sesaat. Membuat perasaan Almira semakin tidak menentu. "Ingat, jangan sampai kamu menaruh hati padaku jika tidak ingin menelan kekecewaan pada akhirnya!" ujar Naga, seolah bisa merasakan degup jantung Almira yang sangat kencang di punggungnya. "Kamu mengerti, kan?" tanya Naga karena merasa tak segera mendengar jawaban dari gadis di gendongannya. "Iya. Kamu kan sudah mengatakannya berkali-kali. Lagi pula aku juga sudah bilang, kan, aku tidak akan jatuh cinta pada orang yang tidak mencintaiku," ucap Almira. "Aku tidak ingin mengulang kesalahanku di masa lalu," lirihnya, membuat Naga tersenyum miring sebelum melangkahkan kakinya masuk ke kamar pengantin mereka. Naga menurunkan Almira secara perlahan di atas tempat tidur, lalu membalikkan badannya menghadap gadis itu. "Terima kasih," ungkap Almira. "Aku akan panggil tukang urut," ujar Naga. "Hah? Ini sudah jam berapa? Memangnya ada? Tidak apa-apa besok saja," tolak Almira. "Bisa semakin parah jika tidak segera ditangani." "Ini bukan masalah besar. Aku hanya keseleo sediki. Aku- ah... sakit!" Almira memukul lengan Naga yang dengan sengaja menyentuh pergelangan kakinya. "Seperti itu buka masalah besar?" tanya Naga, menyindir. "Pokoknya besok saja. Ini sudah malam. Aku tidak mau merepotkan banyak orang," tegas Almira. "Huft. Terserah kamu saja." Setelah itu, Naga beralih ke kamar mandi. Sementara Almira segera menaikkan kakinya, meluruskannya sebelum akhirnya menutupnya dengan selimut. Ia sudah sangat lelah dan mengantuk. Sebenarnya ia tidak yakin jika Naga akan mengizinkannya tidur di kasur ini. Mengingat bagaimana kisah istri yang dinikahi bukan karena cinta, dalam n****+-n****+ romansa. Tapi, mau berpindah ke sofa pun Almira tidak yakin sanggup. Ia juga tidak mau tidur dalam keadaan tidak nyaman saat keadaannya seletih ini. Tapi, mungkin ia tidak akan protes jika Naga nanti akan menendangnya agar jatuh ke lantai, jika memang lelaki itu tidak mau tidur satu ranjang dengan Almira. Tapi, Naga tidak mungkin sejahat itu, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN