13 - Hari Pertama

1434 Kata
Kelopak mata Almira bergerak-gerak saat perlahan kesadarannya mulai pulih. Suara yang pertama kali ia keluarkan saat matanya terbuka adalah ringisan, karena tanpa sadar ia sudah menggerakkan kakinya terlalu keras. Almira ingat. Semalam ia keseleo sehingga pergelangan kakinya terasa sakit. Kemudian, ada satu hal yang lebih besar yang masuk ke ingatannya. Naga Mahawira. Almira segera menoleh ke kanan. Dan ia mendapati laki-laki itu tidur membelakanginya. Mereka sama sekali tak bersentuhan. Pantas saja Almira bisa sampai lupa dengan keberadaan lelaki itu. Punggung Naga tampak begitu lebar dan keras meski terbalut kaus yang cukup longgar. Almira akui, lelaki itu memang memiliki tubuh yang sempurna bak seorang model. Mungkinkah karena dia memang mantan model dan terbiasa menjaga bentuk tubuhnya? Ini adalah pagi pertamanya menjadi seorang istri. Ia kira, ia akan disambut oleh senyum cerah dan pelukan dari sang suami. Namun, mengingat lelaki yang menjadi suaminya adalah seorang Naga Mahawira itu, tampaknya harapan Almira memang terlalu besar. Sadar jika hari sudah pagi, Almira segera menarik tubuhnya dan berusaha untuk duduk. Kemudian, ia menurunkan satu per satu kakinya. Ia berdiri sambil berpegangan dengan barang apapun yang ada di sekitarnya menuju ke lemari. Almira mengambil pakaian gantinya, kemudian menuju ke kamar mandi. Satu tangannya memegang pakaian gantinya, dan kini satu yang lain harus ia gunakan untuk memegang hendel pintu, hingga ia harus melepaskan pegangannya dari tembok. Kakinya bergetar saat ia tak lagi berpegangan pada apapun yang bisa menopang tubuhnya. 'Brukkk' "Ah!" Almira berusaha keras meredam teriakannya. Ia ingat jika saat ini ia tidak sendiri. Kamar ini bukan miliknya sepenuhnya, karena ada orang lain yang kini masih tampak terlelap di atas kasur. "Ssshh..." Almira meringis. Ia berusaha menggapai meja yang tak jauh darinya untuk menopangnya berdiri. Namun rasanya sangat sulit. Ia bahkan sudah sampai berkeringat meski AC kamar tersebut dalam keadaan menyala sejak semalam. "Memangnya kamu bisu, sampai tidak bisa meminta tolong padaku?" Suara dingin itu berasal dari arah belakang tubuh Almira. Kata-katanya begitu tajam. Belum pernah Almira mendengar cacian seperti itu sebelumnya. Saat sebuah tangan hendak membantunya berdiri, refleks Almira pun menempisnya. "Aku masih bisa sendiri." Almira terlampau kesal mendengar ucapan Naga sebelumnya. Bukankah itu sangat keterlaluan? Lelaki itu mengatakan Almira bisu hanya karena tidak mau minta tolong padanya? Padahal Almira tidak melakukannya karena tidak mau mengganggu lelaki itu. "Jangan keras kepala. Kakimu sakit," tegas Naga. Melihat Almira yang sulit menurut, akhirnya lelaki itu menggendong Almira ala bridal style dan segera membawanya masuk ke kamar mandi. Setelah meletakkan Almira di bathup, Naga mengambil paksa pakaian ganti gadis itu dan meletakkannya ke tempat yang aman. "Jika sudah selesai, panggil aku! Jangan keras kepala kalau kamu tidak mau kakimu semakin parah!" tegas Naga. Nada bicara lelaki itu jelas menunjukkan kekesalan. Hello! Bukankah di sini seharusnya Almira yang kesal karena sudah dicaci dan diperlakukan seenaknya? Lima belas menit berlalu. Almira sudah selesai dengan kegiatannya. Ia meraih bathrobe yang ada di cantelan tak jauh darinya. Setelah itu, ia berusaha berdiri menuju tempat pakaian gantinya berada. Di saat bersamaan, terdengar ketukan pintu dari luar. "Sudah selesai?" Itu suara Naga. "Sudah. Ini sedang mau pakai baju," jawab Almira seadanya. Dan tanpa Almira duga, pintu kamar mandi itu terbuka dari luar. Menampakkan Naga dengan wajah datarnya yang membuat Almira terkejut bukan main. "Bu- bukankah aku bilang aku lagi mau pakai baju?" kesal Almira. "Aku kan sudah bilang, panggil aku saat kau sudah selesai." Naga mengabaikan ucapan Almira. Ia menyerahkan pakaian ganti Almira lalu mengangkat gadis itu ala bridal style secara tiba-tiba hingga membuat Almira terpekik kaget. Naga meletakkan Almira di atas kasur secara perlahan. "Pakai di sini saja! Sangat berbahaya terlalu lama di kamar mandi, apalagi saat kakimu sakit seperti itu," ujar Naga. "Tapi kan kamu-". "Aku akan mandi sekarang. Jadi cepatlah sebelum aku selesai mandi," potong Naga. Setelah sosok Naga menghilang, Almira pun bergegas mengenakan pakaiannya. Dan saat Naga keluar, ia sudah selesai, bahkan sudah menyisir rambutnya juga. "Ibu tadi menelepon, katanya Beliau menunggu kita untuk sarapan bersama," ucap Almira menyampaikan pesan dari Dami. "Kita makan di kamar saja, sambil menunggu tukang urut untukmu," balas Naga. "Lalu Ibu dan Mama?" "Biar aku yang jelaskan nanti." Almira hanya dapat menghela napas panjang, menuruti ucapan suaminya. Toh ia juga tidak mau jika Naga menggendongnya sampai restoran jika ia nekat ingin pergi. Setelah memutuskan untuk sarapan di kamar, tak ada percakapan lagi di antara keduanya. Baga sibuk dengan ponselnya, mengurus ini dan itu. Sementara Almira baru saja membuka sosial medianya, dan menemukan ratusan pesan berisi ucapan selamat atas pernikahannya. Sudut bibir gadis itu terangkat. Ternyata dengan menikah ia bisa mendapat perhatian sebesar ini dari orang-orang yang ia kenal. Meski Almira orang yang introvert, tentu ia tidak akan menolak saat mendapat perhatian dari orang-orang di sekelilingnya, kan? Almira tersentak saat mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Baru saja ia hendak beranjak, namun sosok Naga sudah mendahuluinya. Tak beberapa lama, Naga masuk bersama seorang pelayan yang membawa troli makanan untuk mereka. "Terima kasih," ungkap Almria setelah melihat pelayan itu selesai menata makanan emreka di atas meja. Almira bersusaha berdiri. Lalu, Naga menghampirinya dan merangkulnya hingga ke kursi. "Ibu dan Mama bagaimana?" tanya Almira saat hendak menyantap hidangan di depan matanya. "Aku sudah mengabari Ibu. Dan Beliau serta Mama Ira juga bisa mengerti," jawab Naga seadanya. Setelah itu, keduanya pun mulai makan. Pukul sebelas siang, Naga dan Almira sudah siap untuk check out dari hotel. Untung saja Almira tidak membawa banyak barang. Sehingga saat keluar ia hanya membawa satu tas jinjing berisi pakaian kotornya saja. Sementara untuk alas kaki, Almira terpaksa harus menggunakan selop milik hotel karena Naga yang melarangnya memakai hak tinggi. Naga membiarkan Almira berpegangan dengan salah satu tangannya, karena gadis itu sangat keras kepala dan tidak mau ia gendong. Sampainya di mobil, Almira menghela napas lega. Akhirnya ia bisa melepas tangan Naga tanpa harus takut jatuh. "Barang-barangmu sudah sampai dan ditata. Jadi kita tidak akan mampir ke rumahmu dulu," ujar Naga. "Lalu, kita mau ke mana?" tanya Almira. "Apartemenku tempo hari. Tapi, mengingat di sana hanya ada satu kamar, aku harap kamu bisa mengerti hingga aku menemukan unit lain yang memiliki lebih dari satu kamar." Ah ya. Andai di apartemen itu ada lebih dari satu kamar, Naga pasti memang akan menempatkan Almira di kamar yang berbeda darinya. Almira harus selalu ingat satu kenyataan pahit itu. Jika Naga menikahinya bukan karena cinta. Melainkan hanya sebatas status karena ia sudah menjadi lelaki dewasa sekarang. "Kamu keberatan kita tinggal di sana sementara?" tanya Naga. "Ti- tidak sama sekali. Aku bisa tinggal di mana saja," jawab Almira sedikit terpaksa. Sepertinya ia harus sadar jika mimpinya untuk memiliki rumah tangga yang harmonis masih jauh dari pelupuk matanya. Sekitar setengah jam kemudian, mereka tiba di apartemen Naga. Almira segera membanting tubuhnya di sofa. Kakinya masih terasa sakit meski ia sudah diurut beberapa jam lalu. Mungkin perlu waktu dua hingga tiga hari sampai sakitnya hilang dan Almira bisa kembali berjalan normal. "Selama kaki kamu sakit, aku akan memanggil orang untuk bersih-bersih dan memasak. Jadi kamu fokus pemulihan saja!" ujar Naga. "Eh? Tapi aku masih bisa-" "Tidak ada bantahan, Almira. Belajarlah untuk bisa patuh. Karena aku sangat tidak suka orang yang keras kepala," potong Naga sambil berjalan meninggalkan gadis itu menuju pantry. "Padahal dia duluan kan yang memintaku jadi istrinya? Tapi kenapa sekarang dia memperlakukanku seolah seperti aku yang sedang mengejarnya?" gumam Almira lirih. Almira menatap ke sekeliling. Apartemen itu masih tampak mewah dan luas sama seperti saat pertama kali ia ke sini. Hanya saja, entah kenapa Almira merasa jika apartemen ini tidak senyaman saat pertama kali ia melihatnya. Apa itu karena ia sudah terlanjur tahu sikap dari pemilik apartemen ini yang mungkin memang tidak akan membuatnya nyaman? Almira sadar jika mau tidak mau, kini ia harus belajar beradaptasi di sini. Ia akan tinggal di tempat ini untuk waktu yang cukup lama, bersama pemiliknya. Seorang lelaki yang dingin, yang kini sudah resmi berstatus sebagai suaminya. 'Apa aku akan berhasil membuatnya jatuh cinta padaku? Atau justru aku yang harus menyerah dan membiarkan pernikahan ini berjalan begitu saja tanpa adanya cinta selamanya? Tuhan, apa aku memang tidak selayak itu untuk dicintai? Bahkan oleh lelaki yang kini berstatus sebagai suamiku?' batin Almira pilu. Rasanya, untuk berharap pun ia tak punya cukup kepercayaan diri. Naga sangat berbeda dari pria lainnya. Lelaki itu seolah memiliki tembok kokoh yang sulit ditembus oleh siapapun. Namun, apakah benar lelaki dewasa seperti Naga belum pernah merasakan cinta sebelumnya? Almira menggeleng. Rasanya sangat tidak mungkin jika Naga belum pernah jatuh cinta. Jika memang lelaki itu pernah jatuh cinta, bukan sebuah kemustahilan kan jika Almira berharap, suatu hari mungiin saja ia akan mendapat cinta dari Naga? Sungguh. Almira hanya ingin kehidupan yang biasa. Hidup bersama keluarga kecil yang ia cintai. Seorang suami dan dua atau tiga anaknya kelak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN