Zalikha dan Daylon saling tatap seakan melempar pertanyaan itu satu sama lain.
"Segera, Papi. Kami akan segera menikah," jawab Daylon tanpa melepas tatapannya dari Zalikha.
"Baiklah kalau begitu, kita bisa hubungin lagi team WO yang mengurus pernikahan Hugo dan Ara," ujar Alfredo disetujui oleh anggota keluarga lainnya.
"Bagaimana dengan kamu sendiri, Likha?” Hanya seorang ayah yang menanyakan keinginan putrinya sendiri di saat yang lainnya membuat keputusan sepihak. Aksa sangat menyayangi Zalikha. Putri kesayangannya harus bahagia pikirnya.
"Terimakasih ayah masih perduli denganku, jawabanku sama seperti Uncle Daylon. Aku siap menikah dengannya dan kami akan sesegera mungkin menikah," jawab Zalikha dengan senyum di bibirnya.
Daylon meremas lembut jemari lentik Zalikha yang menganggur di atas meja. Hal itu diperhatikan oleh Aksa. Meski sedikit masih ada rasa ragu dalam hatinya. Tapi dengan melihat hal kecil dan receh seperti genggaman tangan Daylon dan Zalikha membuat Aksa sedikit yakin kalau pria itu akan membahagiakan putrinya.
***
Masih di hotel yang sama hanya berbeda lantai dan kamar. Pengantin baru seharusnya lagi hot-hotnya setelah acara resepsi selesai. Akan tetapi pengantin baru yang satu ini tidak kalah hot-nya dalam artian panas karena emosi bukan gairah.
Setibanya di kamar mereka bertengkar hebat.
"Kenapa, Mas?” tanya Ara, ambigu.
"Kenapa apanya?” jawab Hugo dengan melontarkan pertanyaan karena dia tidak paham apa yang istrinya itu tanyakan.
Ara berdecak kesal. "Kamu sejak tadi terus memperhatikan Likha, apa belum bisa move on dari dia, hah?!” sentak Ara, urat di lehernya sampai keluar.
"Astaga, Sayang. Kamu salah sangka, aku tidak memperhatikan dia," kelit Hugo seraya memegang kedua pundak Ara agar yakin kalau dirinya sama sekali tidak memperhatikan Zalikha.
"Bohong! Jelas-jelas kok tadi mata kamu gak lepas dari dia! Aku istrimu, Mas! Kenapa kamu tidak memperhatikan aku malah memperhatikan dia?”
Hugo mengacak gemas rambutnya, kesal tertahan. Kalau saja Ara tidak sedang mengandung anaknya mungkin saat ini dia sudah melayangkan tamparan ke pipinya.
"Harus berapa kali aku ulang, aku tidak memperhatikan dia, Sayangku," bujuk Hugo.
Ara membanting dirinya duduk di pinggir kasur.
Hugo berlutut dan menggenggam tangan Ara, pria itu berusaha membujuk wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Hormon wanita hamil itu naik turun, sedikit banyak Hugo membaca sebuah artikel tentang kehamilan. Dia senang karena akan menjadi seorang ayah bersamaan sedih karena bukan Zalikha yang mengandung anaknya melainkan Ara—wanita yang tidak dia cintai, hanya menjadi pelampiasan nafsunya saja. Sesal menyelimuti hatinya karena kebodohannya tidak dapat menahan hasratnya, merutuki dirinya karena sudah bermain bodoh—meninggalkan benihnya di rahim Ara, seharusnya dia bermain cantik jangan sampai wanita itu hamil. Semua pasti akan lain ceritanya kalau Ara tidak hamil bukan? Akan tetapi, sudah lah ... Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang bagaimana caranya menikmati bubur itu agar dapat enak saat di nikmati. Sekarang istrinya adalah Ara, meski dia tidak cinta tapi Ara lumayan untuk dia pakai setiap malam, bathin Hugo.
"Sayang, aku mencintai kamu, kamu istriku sekarang. Bukan Likha, aku sudah tidak ada rasa sama dia sejak malam itu kamu datang ke kamarku," bujuk Hugo dengan mengingatkan di mana pertama kali mereka berhubungan.
"Aku langsung jatuh cinta sama kamu saat itu," tambahnya, tangannya merapihkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik istrinya lalu menyematkannya di telinga.
Senyum Ara kembali merekah, wanita itu gampang sekali di bujuk. Dengan sedikit perkataan manis Hugo dia sudah luluh.
Ara merentangkan tangannya, minta di peluk. Sontak saja Hugo langsung berdiri dan memeluk Ara.
"Kalau benar kamu mencintai aku, buktikan," tantang Ara.
"Kamu mau aku buktikan dengan apa?”
"Aku ingin ini ...."
Mata Hugo membola ketika Ara meremas kejantanannya.
"Tapi, Sayang. Kandungan kamu?” tanya Hugo ketika Ara membuka sabuk dan celana panjang yang Hugo pakai.
"Aku sudah konsultasi sama dokter ditelpon tadi saat kamu mandi, katanya tidak apa-apa selama tidak menekan bagian perut dan buang di dalam,” jawab Ara sambil sibuk memainkan adik kecil suaminya itu hingga membesar.
Semalam, usai resepsi pernikahan. Hugo dan Ara kembali ke kamar mereka. Hugo langsung tertidur karena lelah, dia juga berpikiran kalau Ara tidak bisa dia ajak bergulat karena sedang kandungannya masih muda. Takut terjadi apa-apa dengan janinnya.
Malam itu Ara kesal karena Hugo tidak menyentuhnya. Tidak seperti pengantin baru pada umumnya yang langsung menikmati malam pertama mereka. Malam pertama Ara dengan Hugo malah terkesan dingin.
Paginya ketika Hugo mandi, Ara menghubungi Sarah untuk meminta nomer telpon dokter kandungan yang menangani dia sebelumnya. Ara menghubungi dokter kandungan itu dan melayangkan satu pertanyaan.
"Apa saya bisa berhubungan intim dengan suami saya, Dok?”
"Tentu saja bisa, Ibu Ara. Anda dan suami bisa berhubungan badan seperti biasanya. Hanya saja jangan menekan bagian perut. Lakukan perlahan dan usahakan jangan membuang s****a di dalam rahim karena akan menimbulkan kontraksi yang berakibat buruk untuk janin. Jika Anda tidak nyaman saat bersenggama, katakan pada suami agar berhenti. Kesehatan dan ke selatan janin dan Anda lebih penting saat ini. Beri pengertian pada suami Anda jika dia tidak dapat menahan gairahnya. Segera ke rumah sakit jika terjadi pendarahan." Panjang lebar dokter kandungan itu memberi penjelasan pada pasiennya.
"Baik, Dokter. Terimakasih atas penjelasannya. Selamat pagi." Tutup Ara mengakhiri telponnya.
***
Tubuh Ara menggelinjang di atas kasur, dengan lahapnya Hugo menikmati puncak kecil di bawah tubuh Ara.
’Srrrup!’
Bunyi decak hisapan Hugo terus terdengar, menambah gairah kedua pengantin baru tersebut.
"Eughhh ... Hugo!” erang Ara terus menerus. Tangannya meremas rambut suaminya itu agar tetap pada tempatnya.
"Iya, di sana, Sayang. Uhhh... Nimat sekali, terus... Sayang, Terussshhh ...," racau Ara, begitu menikmati permainan indra pengecap Hugo di miliknya.
Hugo mengelap asal bibirnya yang basah karena saliva bercampur dengan cairan milik Ara. Kemudian dia memposisikan diri, bersiap memasuki lubang surga dunia yang selalu membuatnya bahagia itu.
"Pelan-pelan ya, Sayang. Ingat bayi kita." Ara menahan perut Hugo dengan tangannya dan berpesan pada sang suami agar tidak bermain kasar.
"Aku tidak janji, Ara!”
"AKH!” pekik Ara.
Hugo menancapkan batang berurat kebanggaannya itu langsung tanpa aba-aba, hasratnya sudah di ubun-ubun. Kalau sudah begini pria itu biasanya akan hilang akal, kenikmatan berhubungan intim membuatnya menggila.
"Ahhh ... Hugo ... Eughhh ... Pelan-pelan, Sayang," rintih Ara sesaat setelah Hugo terus memberinya hentakan yang cepat dan keras.
Akan tetapi, Hugo mengabaikan rintihan istrinya. Dia menggila dengan terus menerus menggerakan pinggulnya. Memberikan hentakan yang keras dan dalam. Mengejar puncak kenikmatan yang seharusnya dia rasakan.
"Tahan, Sayang. Sebentar lagi aku sampai," ucap Hugo dalam gerakannya yang Intent terus memompa istrinya.