6. Tanya hati

1871 Kata
"Ka-kau serius Ines?" tanya Hana tak percaya yang dibalas dengan anggukan antusias Ines ditambah juga senyuman yang masih dia tunjukkan. Hana tersenyum, dia berpikir apakah kebahagiaan yang selalu dia dan teman-teman pantinya yang lain dambakan akan segera terwujud. Harapan itu sekarang akan menjadi kenyataan. "Berarti salah satu dari kita akan segera pergi?" tanya Hana pada Ines. Dia sedikit tersenyum senang. Sebelumnya ada satu keluarga yang datang ke sini, dan berhasil membawa salah satu temannya untuk pergi bersama mereka. Hana dan Ines bahkan sempat mendapat surat dari temannya itu yang mengatakan kehidupannya sangat bahagia setelah diadopsi orang kaya Walaupun Hana dan yang lainnya sedih karena kehilangan teman, tetapi ketika teringat senyum bahagia yang ditunjukan teman mereka saat pergi itu sudah cukup mengobati rasa rindu mereka nantinya. Ines nampak mendelik tak suka, dia menggelengkan kepalanya. "Salah satu? Aku ingin aku dan kamu saja Hana," sungutnya. Hana terdiam, "Maksudmu?" tanyanya tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Ines. Ines menatap ke arah lain, ragu untuk menjawab pertanyaan Hana. "Maksudku … ini giliran kita yang pergi. Aku dan kau akan memiliki keluarga baru begitu," balasnya. Hana terdiam, dahinya berkerut mencoba mencerna apa yang dikatakan Ines tadi. "Apa maksudmu kau hanya ingin kita yang mendapatkan keluarga baru begitu?" tanya Hana mencoba memahami. Ines mengangguk pelan dan jawaban yang diberikan oleh Ines itu membuat Hana tergugu tak bisa berkata apa pun. Hana sangat menyayangkan akan sifat egois Ines, dia tidak mau jika Ines harus bersikap seperti itu pada yang lain. Cukuplah Ines memperlihatkan sifat jeleknya itu padanya, pikir Hana Hana memegang tangan Ines kuat, "Ines, katakan jika kamu bercanda," ucapnya tetapi Ines malah diam dan tidak menjawab apa-apa. Dirinya hanya tertunduk lesu dan enggan untuk menatap mata sahabatnya. Ines merasa malu pada Hana dan juga dirinya sendiri. Tetapi mengingat harapannya, dia tak mau jika harus merelakan dan mengubur dalam-dalam tentang mimpinya. Hatinya terasa pilu serta bingung, apa yang harus dia pilih sekarang. Hana hanya bisa menatap lemah pada Ines, sikapnya yang mementngkan dirinya sendiri masih belum hilang. Ingin sekali menasehati, tetapi Hana tidak mau gara-gara ini membuat persahabatannya yang telah dia jalin menjadi hancur. Keduanya terdiam, tak ada yang mau berbicara. Bingung bagaimana melanjutkan obrolan mereka tadi. Suasana di antara Hana dan Ines menjadi lebih cangung. Ines segera berdiri, berlalu meninggalkan Hana di dalam kamar tanpa mengatakan satu kata pun. Begitu juga dengan Hana, dia hanya bisa mematung seolah pasrah melihat kepergian Ines. Saat itu, Hana ingin mengatakan jika dirinya tidak suka dengan sikap egois Ines. Dia ingin temannya sadar jika sikap itu tidak baik. Bisa membuat tamak seseorang dan apa bila sikap itu tumbuh lalu berkembang akan membuat sifat itu menjadi dominan dan bisa sampai membuat orang-orang membenci dirinya. "Ines, aku berharap kau tidak terluka gara-gara sifat egoismu ini, semoga seseorang berhasil menyadarkanmu nanti." doa Hana seraya tertunduk lesu. Flashback off. *** James berjalan menyusuri koridor kantor miliknya, dia baru saja menyelesaikan urusan bisnisnya. Saat hendak ingin pulang, lelaki itu jadi teringat sesuatu. "Apakah Hana sudah pulang ke rumah?" tanyanya pada diri sendiri. Rasa cemas mulai menghampiri, James berdecak kesal. Dia mengurungkan niat untuk pulang lalu datang kembali ke ruangannya untuk memastikan apakah Hana sudah pulang atau belum Sesampainya James di sana, dia melihat ruangan tampak kosong. Namun, saat kedua matanya menatap ke ruangan sebelah, bola maniknya seketika memelotot tajam. Dia melihat Hana yang tertidur lelap di kantor, segera James menuju ruangan tersebut. Dia membuka pintu dengan pelan takut membangunkan Hana. Di dalam James terus saja menatap dan memperhatikan Hana yang masih terbuai mimpi. Kepala Hana yang bertumpu di atas tumpukan tangan dengan rambutnya yang tergerai indah, tampak sangatlah cantik. James begitu menyadari jika Hana sangat cantik, dan mungkin lebih cantik dari Ines, almarhumah isterinya. Ditambah sikap baik hati Hana yang memang benar-benar tulus datang dari hati tanpa dibuat-buat menjadi poin tambahan kecantikan dalamnya yang terpancar (inner beauty ) "Kenapa harus kamu yang justru harus berakhir jadi permasalahan hidupku, Hana?" ucapnya dengan tatapan masih ke wajah Hana. James begitu kecewa terhadap Hana. Mengapa Hana tetap mempertahankan cinta untuknya saat sudah tahu jika dirinya telah dipenuhi oleh dendam. Dia juga kecewa pada takdir yang mempermainkan jalan hidup yang kini ia lalui. Takdir membuat hidupnya terikat dengan dua orang wanita yang ternyata akrab satu sama lain.James sadar, jauh di lubuk hatinya masih tersimpan nama Hana, bahkan rasanya namanya itu tidak akan pernah tergeser oleh siapapun juga James tenggelam dengan pikirannya sendiri, sampai lenguhan Hana disertai sedikit menggeser tumpukan buku membuat James tersadar dari lamunan. Dia memperhatikan Hana yang tampak terganggu dengan sinar mentari sore yang menyorot wajah. Kedua mata Hana tampak bergetar, ketika merasakan sebuah cahaya yang lambat laun berusaha membangunkannya dari mimpi indahnya James yang melihat hal itu refleks langsung berjalan bergegas namun tidak menimbulkan suara mendekati arah cahaya. Dia menutup salah satu jalan tempat cahaya matahari yang menelusup masuk dan menganggu tidur Hana dengan bahunya yang lebar nan kokoh. Agar Hana bisa kembali tidur lelap Jarak antara James dengan Hana tidaklah jauh. Mereka cukup dekat, bahkan James bisa melihat dengan jelas wajah Hana dengan balutan make up naturalnya. Tiupan angin yang berhasil masuk mengempaskan rambut Hana hingga membuat wajah Hana sedikit tertutupi. James menggeram kesal dalam hatintya, dia menjadi tidak fokus melihat Hana karena terhalang oleh rambutnya. Merasa tidak terima Dengan hati-hati tangan James menyingkap rambut Hana sampai ke arah belakang telinga. Tangannya terhenti ketika tak sengaja menyentuh leher jenjang milik Hana. Terdapat kissmark yang tadi ia buat saat di pantry. Matanya beralih kepada bibir Hana yang begitu lembut ketika ia cecap, ide nakal terlintas di otaknya, kali ini James begitu ingin merasakan kelembutan itu lagi membelai bibirnya yang hangat. Pelan James merunduk, memfokuskan wajah Hana padanya. Bibir wanita itu sedikit baal karna tidur, tapi di mata James itu sungguh lucu. James bahkan tidak sabar unuk kembali melumatnya. Tetapi kali ini ia tak akan memakai kekerasan. Setidaknya James bisa menempatkan dirinya. Tak melulu kekerasan yang ia berikan untuk Hana. Terkadang juga kelembutan. Kelembuatan yang membuat Hana selalu bimbang ketika bertekad meninggalkan pria itu Seperti kali ini, bibirnya yang lembab menyapa birai berlipstik merah muda milik Hana. James hanya melumat sebentar, tetapi itu cukup untuk menghilangkan rasa penasarannnya terhadap bibir Hana Ingin sekali James mengulang kembali mencecap dengan liarnya, tetapi rasanya sudah tak mungkin lagi. Rasa kecewa dan dendam itu jauh lebih besar dari sisa cinta yang masih ada di sudut hati. Jujur, di saat ia melihat Hana yang masih terlelap tidur membuatnya tidak tega. James tidak mau menyakiti Hana secara berlebihan. Karena walau dia bersikap begitu jahat dengan Hana, tetapi dirinya juga masih memiliki sedikit rasa untuk wanita itu. James berjalan mundur dan kembali menarik tangan besarnya yang tadi ada di rahang Hana. Diperhatikannya lagi Hana, semakin lama memandang membuat ia tersenyum. Ingatannya kembali pada pertemuan pertamanya dengan Hana. Waktu itu keduanya sangat malu-malu, bahkan mungkin Hana dengan mudahnya tersipu ketika berada di dekatnya. Tetapi sekarang tidak, Hana jauh lebih sering menangis dan menangis jika berada di dekatnya. Sebenarnya itu membuat James membenci dirinya sendiri. Ia ingin Hana membencinya tetapi ia juga tidak rela jika Hana terluka James tersenyum hambar, "Apakah sesakit itu? Mengapa kamu tidak pernah mengatakannya padaku Hana. Kamu hanya menangis tanpa mengeluh," ucapnya pelan. Dia mengembuskan napas kasar, sesekali dirinya bingung apa yang harus dia lakukan pada Hana. James merasa Hana adalah orang yang patut disalahkan atas kematian Ines. Ia ingin Hana merasakan sakit hati karena ucapan dan perbuatannya, tetapi dia juga tidak mau Hana pergi dari kehidupannya. Cukup sudah dia kehilangan Ines, dia tak mau kehilangan Hana juga. Tetapi entah apa yang membuat ia masih saja belum bisa memaafkan wanita yang begitu tulus mencintainya. Iyah, James sadar cinta Hana masih miliknya, masih untuknya semua terbaca dari sorot mata wanita itu Tanpa James sadari, Hana terbangun dan juga menatapnya lekat. Tentu saja hal tersebut membuat lelaki tampan itu bingung. Hana tersenyum menatap cinta pertamanya tengah berdiri di depannya. "James, bisakah kau juga mencintaiku? Aku mulai lelah jika harus terus menunggumu," pintanya dengan masih posisi kepala di atas tangan. Sepertinya Hana mengelami nglindur James terdiam, dia menatap ke arah lain dan menjawabnya dengan pelan. "Aku ... Aku tidak bisa Hana, aku mencintai Ines, Yah... Cintaku hanya untuk istriku. Kau tidak akan pernah menggantikan posisinya. Bahkan, kami sudah memiliki anak, jika kamu lupa akan hal itu. jadi kau tidak perlu mengharapkan apa pun dariku," sarkasnya. Sebenarnya itu hanya sekedar alasan, sungguh dia masih mencintai Hana. Bahkan cintanya ke Hana melebihi rasa kasihnya kepada Ines. Cinta itu masih sama sejak pertama mengenal Hana. Sayangnya lelaki itu lebih mementingkan ego dan harga dirinya sendiri. Ia malah berusaha mengubur cinta itu, yang justru menyakiti fitrahnya sebagai insan biasa yang selalu ingin dicintai dan mencintai Hana tersenyum simpul, "Begitukah? Apakah sikapmu selama ini belum cukup menyiksaku? Apakah aku tidak pantas untuk mendapatkan cinta?" tanyanya setengah sadar. Mungkin karna kuat rasanya Hana ingin tahu alasan James menggeleng tegas, "Bukan seperti itu maksudku. Hanya saja, akh! Sudahlah lupakan masalah ini," balasnya kacau. James bingung bagaimana dia menjawab pertanyaan tersebut. Ia sendiri bahkan tidak tahu harus berkata apa ketika mendengar permintaan Hana. Hana tersenyum paham meski hatinya sakit sekali. Bulir bening kembali mendesak keluar, namun ia tahan. Sudah terlampau banyak air mata yang ia tumpahkan. Untuk kesalahpahaman James dan dirinya yang tak kunjung usai. Segera Hana memalingkan wajahnya ke arah lain, "Pergilah dari sini, aku tidak ingin berbicara dengan lelaki sepertimu," usirnya. James membulatkan mata terkejut, sekarang Hana menjadi lebih berani, tidak seperti lima jam sebelumnya. Tunggu! Apakah Hana masih tertidur? James bertanya-tanya di dalam hatinya. Bagaimana mungkin jika Hana berani mengutarakan hal itu padanya. Dan benar saja, jika Hana ternyata masih tertidur, dia belum sepenuhnya sadar. Hana pikir jika sekarang masih ada di dunia mimpi, bukan dunia nyata. Dan yang ia lihat bukanlah James sesungguhnya, melainkan hanya fatamorgana yang timbul sebab rindu yang begitu mendesak kalbu James hanya berdecak kesal,pria itu segera bergegas pergi meninggalkan Hana tanpa mengatakan apa pun. James jadi menggebrak pintu cukup kencang karena terlalu kesal dan geram. Hana yangjadi terjaga segera terdiam, hatinya menjerit melihat sikap James yang seperti itu. Tanpa sadar matanya menitikkan air mata untuk kesekian kalinya.Cinta ini begitu menyiksanya. Adai Hana memiliki pilihan untuk mencabut paksa cinta dari dalam dirinya maka ia rela meski itu sama saja artinya ia harus juga kehilangan seluruh kebahagiannya "Mengapa, mengapa aku tidak bisa melupakanmu, James?" tanyanya tidak mengerti. Jujur Hana ingin menjauh dari James. Namun, ia tak mampu. Bertanya bagaimana kabarnya, apakah dia sudah makan atau belum. Apakah dia bahagia atau bersedih, pertanyaan itu selalu muncul di benak Hana hingga membuat ia cemas jika berjauhan dengan James. Sehari tidak melihat wajah kekasihnya membuat Hana tidak bisa konsen bekerja. Mungkin James adalah candu yang jauh lebih memabukkan dari jenis candu apapun di dunia ini, setidaknya bagi Hana Hatinya sungguh sangat hancur, di satu sisi ia tak sanggup jika harus berjauhan dengan James namun di sisi lain dirinya sudah lelah jika terus diperlakukan seperti ini oleh James. Menurut oikirannya James terlalu kejam, Dan ia menyadarai itu. Walau sudah terbiasa dengan kekejaman James tetap saja hati Hana selalu merasa sakit "Kau selalu menghancurkan hati ini, James. Dan bodohnya aku yang masih saja berusaha memunguti kepingan hati itu, aku ingin kecewa padamu. Sehingga aku bisa kuat melangkah pergi, tetapi aku tidak bisa. Mengapa harus kamu yang menjadi cinta pertamaku? Mengapa harus kamu yang selalu jadi alasanku untuk tersenyum?" tanya Hana pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN