Kenzia R.
[Aku nggak tau separah apa masalah kamu sama Satria, tapi plis, maafin aku karena ajak Satria tanpa persetujuan kamu. Kamu jangan melakukan hal buruk, Din. Kamu ke mana?]
[Angkat telpon aku]
[Plis lah T.T ini Bu Lisa marahin aku Mulu kamu ngilang]
[Aku jemput deh, Din, tapi bilang kamu di mana?]
[Plis, lah kabarin kalau online, Din]
[P]
[P]
[Ping]
[Samlekum!]
[Woy]
Spam chat dari Zia aku baca sekilas, lalu mengantongi gawai dalam cardigan yang aku pakai. Aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan mencari sosok Mas Satya. Sampai di kerumunan manusia yang didominasi wanita, aku mendapatinya sibuk meladeni fans yang ingin meminta foto.
Aku bergabung dalam sekumpulan orang itu. Berdesak-desakan, semuanya hanya ingin didahulukan. Aku tidak ingin maju lebih dulu, hanya memilih diam memperhatikan bagaimana Mas Satya meladeni semuanya.
"Iya?" Begitu kata Mas Satya saat seorang wanita tinggi putih menghampirinya.
Wanita itu mungkin sedikit lebih muda dariku, memindahkan kumpulan rambutnya ke bahu kanan, sehingga bagian kirinya memamerkan bahu putihnya yang telanjang.
"Mau minta foto, Kak." Kegenitannya terlihat jelas. Dia sengaja mengikis jarak, dan meletakkan sebelah tangannya di pinggang Mas Satya.
Aku meremas ujung outer cardigan kesal.
"Maaf, ya." Mas Satya bergeser sedikit, sehingga wanita itu melepaskan tangannya.
Aku lega. Mas Satya jaga batasan-tapi ... bersamaan saat wanita itu memotret, dia mengecup pipi Mas Satya dengan cepat. Mas Satya tampak diam di tempat, sementara wanita itu hanya tersenyum nyengir mengabaikan seruan kesal dari fans lain Mas Satya.
"Terimakasih, Kak!" Wanita itu berlalu dengan pipi bersemu merah.
Mengabaikan desakan manusia ini, aku berusaha menjadi yang terdepan, menjadi yang selanjutnya fans Mas Satya bertemu dengannya. Seorang pria bertubuh besar menyeret lenganku mendekat pada Mas Satya.
"Hai!" sapaku ketika Mas Satya sempat sibuk dengan kertasnya.
"Ya?" Mas Satya melotot beberapa detik ketika melihatku. Menanggapi itu, hanya senyuman lebar aku berikan.
"Boleh minta fotonya, Kak?" tanyaku, khas fans manja lebay bin alay. Ponsel aku sodorkan pada Mas Satya yang tersenyum kikuk.
"Boleh." Dia sangat lihai menyembunyikan perasaannya.
Dia mensejajarkan tinggi kami, kamera diatur sebaik mungkin, lalu sama-sama tersenyum. Lampu ponsel berkedip.
"Terimakasih, Kak." Aku tersenyum lagi. Lalu, menatapnya dalam. Sebagai bentuk peringatan, bahwa aku tidak akan diam lagi sekarang.
Aku akan mencari keadilan untukku sendiri.
"Kamu yang kerja di toko bunga itu, kan?" tanya Mas Satya, yang aku iyakan.
"Bisa bicara sebentar nanti di belakang? Saya mau pesan bunga untuk pacar saya."
"Bol-eh?"
Aku tercenung. Pa-car?
>>♡>♡>♡<<