Bab 2 : Iparku, Mantanku

1819 Kata
Pukul 12 malam. Aku sudah sangat mengantuk. Kepala menempel di meja yang dingin. Namun, aku paksakan untuk tetap terjaga. Ini semua terjadi karena aku malas pulang, maka aku memilih untuk lembur mengambil shift malam dan besoknya bisa tidur dengan bebas. Padahal, aku sudah minum satu cangkir kopi. Kenapa efeknya cepat sekali menghilang? Aku memainkan layar ponsel dengan malas. Mode pesawat sudah diaktifkan sejak dua jam yang lalu, saat Mas Satya mulai mengirimkan puluhan pesan. Aku muak. "Mbak Dina, kalau sudah mau pulang, pulang saja. Mbak kan ndak terbiasa jaga malam. Nanti malah pingsan kayak tadi," sahut Milka dari ruang paling dalam. "Nggak papa, Mil. Aku bisa kok." Memang, tengah malam begini, tidak terlalu banyak yang beli. Paling hanya 5 atau 6 orang dalam satu malam. "Ya udah, Mbak. Milka ke dalam dulu, ya? Susun bunga. Mbak kalau ngantuk, istirahat saja. Kita gantian jaga nanti." Aku mengiyakan usulan Milka. Mata mulai terpejam, tidak peduli dengan tempatku tertidur ini. Namun, keinginan untuk mencapai alam mimpi gagal karena sebuah cahaya menyorot dari sepasang lampu mobil di depan toko. Aku dengan sigap bangun, memperbaiki penampilan untuk menyambut pembeli. Salah aku memang, tidak memastikan siapa yang datang karena lampu mobil yang begitu silau. Saat pemilik mobil sudah turun, barulah aku tersentak kaget. Itu Mas Satya dan wajah amarahnya. Sebisanya, aku berlari masuk. Namun, kaki panjang Mas Satya dengan cepat menghampiriku, menarik, dan membenturkan diriku ke dinding. Aku meringis kesakitan. Tidak sempat protes apa pun, Mas Satya sudah mengurung tubuh kecil ini. "Kenapa nggak pulang?" tanyanya langsung. Aku bahkan tidak berani menatap matanya saat ia berbicara dengan nada sedingin itu. "Aku ... aku dapat jaga malam." "Siapa yang suruh?" "Lisa ...." "Kamu jangan bohong, Dina! Aku nggak suka!" Aku terdiam. "Aku telpon Lisa tadi. Dia bilang, kamu yang maksa buat piket malam. Kamu ini benar-benar ...." Mas Satya melanjutkan ucapannya dengan memukul tembok dengan kuat. "Aku ... capek. Nggak bisa pulang, jadi mau nginep di sini." "Kamu bisa minta tolong Lisa, kan? Atau Zia. Atau telpon aku. Mana HP kamu? Mau aku banting? Nggak ada gunanya punya HP kalau nggak dipake!" Aku kembali terdiam mendengar teriakannya. Diam ... sambil memendam semua sakit di dalam d**a. Kepala juga aku tundukkan dalam-dalam, agar bisa menyembunyikan setiap buliran air mata yang terjatuh. Tangan kanan Mas Satya mengusap pipiku, turun sampai dagu, lalu mengangkatnya. Memaksa wajahku untuk mendongak. Bibir kami dipertemukan. Matanya yang terpejam menghipnotisku untuk melakukan hal yang sama: menikmati permainan Mas Satya. Napasku terengah. Mas Satya melepaskan kulumannya. Dia menyatukan dahi kami, sembari saling mengatur napas. Mas Satya memberikan senyuman manis. Hal itu mendorong bibirku untuk melakukan hal yang sama. "Ciuman itu obat mujarab buat nenangin suami yang lagi marah," kata Mas Satya yang sangat jauh dari topik tadi. Dia mengecup singkat sekali, lalu menjauhkan wajahnya. "Kamu tau, Sayang? Aku khawatir pas sampai rumah nggak ada kamu. Padahal, aku pengen gitu ngasih surprise. Jadi gagal total deh." Deru napas berat Mas Satya menerpa wajahku. "Sejak kemarin malam, Mas udah khawatir sama kamu. Kamu pingsan pas kita b******a. Makanya, Mas larang kamu buat kerja. Apalagi tadi siang ... kamu hampir diinjak orang-orang. Mas nggak bisa bayangin kalau terjadi sesuatu yang berbahaya sama kamu. Saat Mas pengen minta maaf, kamu malah nggak di rumah. Mas khawatir kamu marah banget, terus ngelakuin hal aneh." Aku tersenyum mendengar penjelasan Mas Satya, lalu melingkarkan lengan di lehernya. "Aku masih waras, Mas. Aku nggak bakalan ngelakuin hal aneh." Kakiku berjinjit, untuk bisa meraih bibirnya. Mas Satya mengusap pinggangku yang ditutupi seragam khas berwarna merah muda. Di sela-sela kegiatan kami, aku bisa merasakan bibirnya tertarik untuk tersenyum. Aku semakin mendekatkan tubuh. Mas Satya malah menghentikan adegan manis barusan. "Mau b******a di sini, heh?" tanya Mas Satya dengan senyuman menggodanya. Aku merona di tempat. Kepala menunduk memperhatikan ubin berwarna putih. Kemudian menyadari sesuatu. Sontak mataku membulat. Ini masih di toko bunga, dan di sini ... aku tidak sendiri. Aku langsung memutar kepala ke arah pintu yang menghubungkan ruangan ini dan tempat Milka tadi berada. Benar saja, tubuh kaku gadis itu sudah ada di ambang pintu. Mulutnya sedikit terbuka. Dia memandangku dan Mas Satya dengan tatapan horor. Aku dan Mas Satya lalu saling memandang menyadari aksi tadi dilihat oleh seseorang. Mas Satya melepaskan tangannya, juga aku. Milka tampak salah tingkah. Ia menutupi kedua matanya dengan tangannya sendiri. "Milka ndak lihat apa-apa, Mbak. Beneran." Gadis itu menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang membentuk huruf V. Oh ... s**t! *** Kursi di depan Mas Satya aku tarik, lalu mendudukinya. Mataku melirik takut-takut pada sosok di hadapan yang sibuk mengunyah makanan. "Mas ...." panggilku hati-hati. "Mau bicara apa, Sayang?" Mas Satya menanggapi dengan sigap. "Sebenarnya ... semalam aku sengaja ambil shift malam itu supaya hari ini kita bisa ke rumah Bunda. Bunda ajakin kita makan bareng. Satu keluarga. Ada Mbak Amira sama ... Mas Satria ...." Pelan-pelan, aku mengucapkan nama lelaki di akhir kalimat tersebut. Aku memperhatikan perubahan wajah Mas Satya yang dulunya biasa saja, kini memasang ekspresi datar tak terbaca. Aku meneguk ludah, takut. "Mas sibuk, Sayang ...." Mas Satya meraih tanganku yang ada di atas meja agar bisa dia genggam. "Lain kali aja ya?" "Tapi ini kan permintaan Bunda, Mas. Emang Mas enggak merasa nggak enak apa kalau nolak permintaan Bunda?" "Mau bagaimana lagi, Yang. Ini sudah jadi pekerjaan dan resiko Mas." "Aku boleh pergi sendiri? Nggak tega kalau nggak datang." Perubahan suasana hati Mas Satya datang lagi. Terasa jelas saat dia menggenggam erat tanganku seakan ingin menghancurkannya. "Jangan terlalu deket sama Satria." Mas Satya melepaskan genggamannya. Tangan kananku langsung memerah. Menanggapi kecemburuan Mas Satya, aku hanya tersenyum. Aku pindah duduk di samping Mas Satya agar bisa mengecup pipinya. "Cemburu toh?" "Enggak." Aku tertawa. "Manis banget, sih?!" Pipi tirus Mas Satya aku tarik. Menggemaskan melihat ekspresinya saat ini. Aku memeluk lehernya dari samping. "Aku selalu cinta sama Mas ... percaya sama aku." Mas Satya menoleh. Kami sama-sama tersenyum. Aku tetap di posisiku menanti Mas Satya yang semakin mendekat. Bibir kami bertemu. Dia mungkin terburu-buru. Memasukkan lidahnya bersama dengan makanan yang masih di mulutnya. Sontak aku menarik kepala dengan wajah masam, dan Mas Satya malah tertawa. "Makan dulu. Mau Mas suapin pakai lidah?" "Nggak usah. Aku bisa makan sendiri." Aku pindah lagi ke kursi semula. Selalu saja. Berdekatan dengan lelaki satu ini membuatku sulit menahan pesonanya. Untungnya, kami sudah halal. Semuanya menjadi indah dan berpahala. *** Rumah bercat hijau yang terdiri atas tiga lantai itu masih sama seperti saat terakhir kali aku datang ke sini. Entah kapan, aku sudah lupa karena jarang ke tempat pertemuan pertama kali aku dan Mas Satya ini. Aku belum mengetuk pintu, tetapi sudah terbuka dan menampilkan sosok Bunda yang mengenakan gamis maroon dengan jilbab senada. "Menantu tersayang udah sampai ...." Bunda memelukku beberapa saat. Ia memandang ke arah jalan yang baru saja ditinggalkan Mas Satya. Beliau tidak mengatakan apa pun tentang anaknya. Mungkin lelah, atau bosan menasehati Mas Satya. Kami berdua masuk ke rumah, langsung ke ruang keluarga yang sudah ada Mas Satria dan Amira di sana. Sedang menonton televisi. "Nggak datang lagi, si Satya?" Satria menyahut. Sungguh, dalam daftar orang-orang yang malas aku temui, Satria menempati nomor 2 setelah Lisa. Apalagi ucapan-ucapan menyindir Satria untuk Mas Satya sering membuatku muak. Aku bergeming, dan duduk di sebuah sofa tunggal yang jauh dari Satria. Bahkan melihatnya benar-benar membuatku malas. "Hari ini kita ngapain, Bun?" Amira bertanya. "Shopping, gimana? Jarang-jarang loh bisa kayak gini. Satria sibuk banget di negara orang. Bunda jadi susah mau ketemu menantu sendiri," ujar Bunda, dengan nada dibuat sedih. "Boleh." Aku dan Amira menjawab hampir bersamaan. "Enggak!" Satria malah menolak dengan suara nyaris berteriak. Aku menatapnya dengan malas. "Amira lagi hamil muda, Bun. Kalau masalah shopping, dia bisa lupa waktu. Kalau kecapean, bahaya sama anak kami," lanjutnya, dengan tatapan yang entah mengapa menurutku sangat menjijikkan untuk Amira. "Tapi, Mas. Aku juga harus beli s**u. s**u di rumah tinggal sedikit," balas Amira. "Okey. Aku antar, ya? Aku jagain juga." Aku tersenyum miris di tempat. Ya, miris. Karena dulu, aku pernah berada di posisi Amira. Menjadi yang paling tersayang untuk Satria. Sampai kami harus terpisah karena dia lebih memilih pekerjaannya dan meninggalkanku tepat di hari pernikahan. "Jadi, sepakat ya. Kita pergi semua?" Bunda bertanya untuk memastikan. "Bunda mau siap-siap dulu." *** Belanja adalah surganya wanita. Seharusnya memang demikian adanya. Aku pun hobi berada di mall. Namun, kali ini sangat menjengkelkan dengan Satria yang terus pamer kemesraan dengan Amira. Menyebalkan. "Oh ya, Dina. Kamu sudah menikah selama setahun, kenapa belum ada kabar kamu hamil? Atau ... Satya suruh rahasiain lagi? Emang nggak pengen punya anak? Kami saja, yang baru menikah empat bulan akan dikaruniai anak." Satria berceletuk santai di tengah-tengah acara makan. "Satria, jangan terlalu ikut campur urusan orang lain!" tegur Bunda. Syukurlah. Karena jika aku yang turun tangan menegur lelaki kurang ajar ini, maka aku akan menggunakan garpu untuk menutup mulut sialannya. "Aku mau ke toilet dulu, Bunda." Tanpa menunggu jawaban, aku mendorong kursi menjauh, lalu bergerak meninggalkan keduanya. Di dalam toilet, aku mencoba menghubungi Mas Satya. Jika dia tidak bisa datang untuk menemaniku, setidaknya dia bisa menjemputku sehingga bisa menghindari Satria. Pintu toilet tiba-tiba terbuka. Aku tercengang melihat Satria yang muncul, dengan senyuman khasnya; c***l. "Mata kamu masih kepake, kan? Nggak bisa baca? Di depan udah ada tulisan ini toilet wanita! Kakau mau ke sini, ganti kelamin dulu!" Aku menyemburkan semua amarah yang sedari tadi tertahan. "Medina ...." Dia memanggil lirih. Nada bicaranya sama seperti saat kami pacaran dulu, ketika dia mencoba merayuku. "Apalagi? Mau lanjut nyinyir? Aku bisa siram kamu di sini!" Pergerakan Satria terjadi hanya dalam hitungan detik. Untuk sesaat aku kebingungan. Ketika sadar, aku sudah berada dalam pelukannya. "Aku kangen kamu, Din ...," bisiknya. Aku mendorong keras d**a Satria. "Aku sudah menikah! Kamu jangan kurang ajar! Aku bisa lapor sama Mas Satya!" ancamku. "Apa aku harus takut sama adik aku sendiri?" Dia menantang. Aku menekan icon call lagi. Harap-harap cemas semoga Mas Satya mau mengangkat telponku. Namun ... "Balikin!" pekikku kala ponsel itu sudah ada di tangan Satria. "Beberapa menit saja, Dina. Aku cuman mau minta maaf sama kamu." "Minta maaf buat apa? Lagian, aku udah nggak peduli sama kamu!" Aku berusaha keluar dari toilet. "Kalau mau ambil itu HP, silakan. Mas Satya masih bisa beliin banyak buat aku." Pintu toilet akan aku buka, tetapi tubuhku mendadak kaku saat Satria memeluk dari belakang. Tangannya malah mencengkeram pinggangku dengan erat. "Aku masih cinta sama kamu, Din. Kamu juga, kan?" Aku tertawa garing. "Cinta sama kamu? Nggak! Mas Satya lebih segala-galanya dari kamu! Yang pasti, Mas Satya juga nggak ninggalin aku tanpa kejelasan kayak kamu dulu!" "Kamu nggak bisa bohong, Dina. Kamu tadi cemburu lihat aku sama Amira, kan?" "Sama sekali enggak. Aku cuman pengen mual liat kamu. Sumpah demi apa pun. Kebodohan terbesar aku itu pernah jatuh cinta sama perhatian palsu kamu." Aku memaksa ingin terlepas dari pelukannya. Gagal. "Aku mau kita balik kayak dulu lagi, Dina." Cukup sudah! Semua ucapannya membuatku kesal. Aku memutar badan menghadap Satria, lalu melayangkan telapak tangan sekeras-kerasnya di pipi kirinya. Terlepas sudah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN