Seperti ucapan Omar kemarin, hari ini Maita sudah disibukkan dengan persiapan keberangkatannya menuju Melbourne, Australia.
Burung besi yang kini membawanya menyeberangi samudra hindia, menuju ke Melbourne akan mengulurkan kisah baru di dalam kehidupannya.
Maita berharap dengan menghilangnya dirinya, dari sisi keluarga dan juga kekasih yang telah menghilang darinya secara tiba-tiba.
Dapat mengurangi sedikit rasa sakit yang dia rasakan di dalam relung hatinya.
Luka yang telah digoreskan oleh Jackson, membuatnya menjadi seorang manusia yang kurang beruntung di dunia ini.
“Kita akan ke Jakarta terlebih dahulu, apakah kamu siap memulai petualangan kita?” tanya Omar sembari mengeringkan matanya.
“Iya ... aku siap, aku siap menjalani semua kehidupan baruku di sana. Aku akan berusaha bangkit bersama dengan anakku. Aku akan buktikan bahwa aku juga mampu menjalani hari-hariku tanpa adanya Jackson di sisisku,” ujar Maita dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali.
“Oke ... jika memang kamu mau aku akan bertanggung jawab dengan anak yang ada di dalam kandungan kamu itu,” ujar Omar sembari menatap Maita dengan raut wajah serius.
Sementara itu Maita menaikkan sebelah alisnya merasa tidak mengerti dengan maksud ucapan Omar, lebih tepatnya dirinya hanya menganggap Omar bergurau dengan semua ucapan yang keluar dari mulutnya.
“Aku serius Maita Carolina,” tekan Omar.
“Aku juga lebih serius tuan Omar, jangan bergurau lagi. Ini bukan lelucon yang bagus, dengarkan aku. Aku bukanlah wanita baik-baik dan juga terhormat. Kamu lebih pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih mulia dibandingkan dengan aku. Jangan karna rasa kasihan kamu mau bertanggung jawab dengan keadaan dan anakku sekarang ini,” ujar Maita mantab.
“Oke, aku akan menunggu sampai kamu mau menerima lamaran ku,” kata Omar dengan begitu entengnya, lalu kembali menyandarkan dirinya ke kursi penumpang di pesawat.
Sesekali Maita melirik keberadaan Omar yang masih setia menatap ke arah jendela kabin pesawat.
Sebelum berangkat, Omar memberikan obat kepada Maita khusus untuk ibu hamil, agar di perjalanan dia tidak merasa mual.
“Entah apa yang kamu pikir tentang ku Omar, meskipun kamu lelaki terakhir di dunia inipun, aku bahkan tidak bisa menerima lamaran yang kamu ajukan kepadaku,” kata Maita di dalam relung hatinya.
“Kamu mual?” tanya Omar yang membuat Maita sedikit tersentak dari lamunannya.
“Tidak, aku masih bisa menahannya,” kata Maita.
“Ini bantal, kamu bisa istirahat sejenak. Jika sudah sampai aku akan membangunkan kamu,” jelas Omar sembari mengulurkan sebuah bantal untuk leher.
“Terimakasih,” jawab Maita.
Dengan menempuh waktu dua jam lebih penerbangan Maita dan Omar dari Samarinda menuju ke Jakarta berjalan dengan lancar.
Hanya butuh waktu transit sebentar mereka langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke Melbourne.
Omar bahkan membelikan tiket kelas bisnis untuk dirinya dan juga Maita.
Di sepanjang perjalanan menuju ke Melbourne, Maita hanya tertidur di kursi penumpang dengan nyaman.
Omar hanya mampu mencuri pandang kepada wanita yg sedang tertidur pulas di sampingnya saat ini.
“Aku bahkan tidak memiliki rasa kepadamu Caroll, tapi entah mengapa aku tidak tega jika anak yang berada di dalam kandunganmu itu terlahir tanpa seorang Ayah,” lirih Omar.
Maita yang ternyata hanya berpura-pura tidurpun merasa lega karena ternyata Omar hanya merasa iba kepada dirinya saja.
Jadi tinggal dirinya saja yang mengatur perasaan yang ada di dalam hatinya, agar tidak jatuh cinta kepada pria yang telah berjasa menolong dirinya saat ini.
Jika harus berkata jujur, Maita masih sangat mencintai kekasihnya dan sangat berharap jika Jackson akan kembali lagi bersama dengannya.
Namun semua itu hanya sia-sia dan merupakan harapan semu saja bagi Maita.
.
.
Perjalanan yang ditempuh Omar dan Maita memerlukan waktu sekitar enam sampai tujuh jam.
Sepanjang perjalanan itu Maita hanya tertidur dengan pulas.
“Caroll ... kita sudah sampai,” bisik Omar di samping telinga Maita saat ini.
Omar memberanikan diri untuk membetulkan anak rambut yang menutupi wajah Maita.
Deg.
Entah mengapa tiba-tiba saja jantung Omar mendadak menjadi tak menentu.
Omar segera memalingkan wajah merahnya membelakangi Maita.
“Apaan sih, begini aja jantung ku rasanya udah mau lepas,” gumam Omar sembari menggelengkan kepalanya.
Omar kembali menyadarkan pikirannya lalu membangunkan Maita kembali.
“Caroll kita sudah sampai cepat bangun!” kata Omar yang kini sudah tidak selembut tadi.
“Hem ... sudah sampai?” jawab Maita dengan suara seraknya.
“Iya sudah sampai, jika kamu tidak segera bangun pesawat ini akan terbang kembali ke Indonesia!” ancam Omar.
“Eh ... jangan dong, aku baru bangun masak sudah balik lagi ke Indo,” kata Maita yang segera beranjak dari kursinya.
Ia melihat ke sekeliling dan memang ternyata sudah tidak ada orang di sana, hanya tinggal mereka berdua saja.
“Kok kamu nggak bangunin aku sih?” kata Maita yang langsung beranjak dengan wajah paniknya.
“Kalo aku nggak bangunin kamu, nggak mungkin aku tungguin kamu sampai semua yang ada di sini sudah pada turun,” gerutu Omar.
“Maaf,” cicit Maita sembari melebarkan senyum yang menampilkan gigi rapinya.
“Hem ... ayo capet kita segera turun. Kelamaan di sini nanti kita dikira berbuat hal aneh lagi,” kata Omar.
Dia membawa semua tas milik Maita.
“Perempuan kalo bepergian bawa apa aja sih, tas aja sampe sebanyak ini,” gerutu Omar ketika melewati tangga pesawat.
Maita yang mendengar Omar menggerutu dan mengeluhpun hanya menahan senyumnya.
Omar mengurus semua bagasi mereka berdua.
“Kita ke mana lagi?” tanya Maita yang terlihat bingung.
Yah wajar sih jika bingung, dia yang hanya tau Samarinda, kini berada entah di mana.
Meskipun Benua Australia bertetangga dengan Benua Asia, namun jarak yang ditempuh dari Indonesia ke Australia cukup memakan waktu dan terbilang sangat jauh.
Pemandangan yang begitu asing, yang biasa dia lihat di internet atau di televisi.
Kini tergambar jelas di hadapan Maita yang begitu nyata.
“Kita akan berbulan madu,” kelakar Omar.
Maita menghentikan langkahnya seketika itu juga.
Omar yang menyadari akan hal itu segera berbalik menatap Maita dengan tatapan bingungnya.
“Why?” tanya Omar.
“Aku mau pulang ke Indonesia saja, hiks ...,” ujar Maita yang diakhiri dengan tangisannya.
“Eh ... kok malah nangis, Caroll aku hanya bercanda ... aku nggak sungguh-sungguh dengan ucapan ku tadi,” kata Omar yang terlihat mulai panik.
Lelaki itu segera menghampiri Maita lalu berusaha menenangkan nya.
“Sudah dong Caroll, kamu lihat semua mata tertuju pada kita,” keluh Omar.
Tatapan tidak sehat dari orang-orang yang melihat Maita menangis membuat Omar menjadi semakin merasa bersalah dan merasa tidak nyaman.
Ditambah lagi mereka yang terdengar membicarakan keduanya menggunakan bahasa asing.
“Aku mau balik ke Indonesia aja, aku nggak ngerti bahasa Inggris,” ujar Maita sembari tersak.
“Jadi ... bukan karena aku mau ngajak bulan madu tadi, tapi karna kamu nggak mengerti bahasa di sini kamu mau pulang?” tanya Omar yang berusaha meyakinkan jika pendengaran nya kali ini tidak salah.
“Hu’um,” angguk Maita.
“Sini come to Papa sayang, kita akan belajar Bahasa Inggris bersama,” kata Omar merentangkan kedua tangannya.
“Ih ... kamu, sudah tau aku nggak ngerti masih saja ngomong nggak jelas begitu.”
“Iya deh ... iya. Katanya mau lanjut kuliah di Melbourne, tapi bahasanya saja kamu nggak faham, gimana mau lanjut kuliah lagi coba?” ejek Omar.
“Kan nggak sekarang juga,” segah Maita.
“Kita lanjut perdebatan kita di rumah saja yuk, nggak enak dilihatin sama orang-orang. Nanti kita dikira pasutri yang lagi bertengkar karena meributkan tempat bulan madu lho,” bisik Omar di samping telinga Maita.
Blush.
Pipi Maita mendadak memerah karena kelakuan Omar.
Lelaki itu segera berjalan menuju ke arah mobil yang sudah terparkir di depan bandara.
“Omaaaar! kamu nggak punya bahan lain apa selain bulan madu buat dijadiin candaan!” teriak Maita sembari berlari kecil mengejar Omar.
Melihat Maita berlari-lari Omar menghentikan langkah kakinya.
“Jangan lari Carol! kamu sedang hamil,” peringat Omar.
“Upss maaf, aku lupa,” ujar Maita sembari menutupi bibirnya dengan telapak tangannya.
“Jalan saja, aku tidak akan meninggalkan kamu di sini,” jelas Omar.
“Kamu kan yang mulai, bukan aku,” ketus Maita.
“Iya ... wanita memang selalu benar,” kata Omar.
Mereka segera pergi menuju ke rumah yang sudah disediakan oleh Omar.
.
.
Sementara itu Jackson saat ini sudah sampai di depan rumah Maita.
Dia baru saja pulang dari luar negri.
Rasa rindu yang begitu dalam kepada pujaan hatinya sudah tidak terbendung lagi.
“Tunggu aku kembali Mai,” ujar Jackson yang segera menaiki motor sport miliknya membelah keramaian kota di siang hari.
Padahal baru saja Jackson sampai dan baru meletakkan kopernya dia langsung menyambar kunci motornya
Ibunya saja tidak tau jika anak semata wayangnya pulang secara mendadak.
Jakson kini sudah berada di depan rumah Maita.
Dengan cepat lelaki itu memencet belajar rumah kekasihnya.
Ketika pintu di buka, Jackson begitu berharap Maita-lah yang akan membukakan pintu untuknya.
“Maaf cari siapa ya Kak?” tanya Melvin.
“Maita-nya ada?”
Mendengar nama kakaknya wajah Melvin mendadak menjadi memucat.
“Dek ... Matanya ada?” ulang Jackson.
“Ka ... kak M ... Mai, sudah nggak ada Kak,” lirih Melvin.
“Maksud kamu?” kata Jackson yang terlihat bingung dengan maksud Melvin.
“Kak Mai sudah diusir oleh Ayah,” jelas Melvin.
Deg.
“Di ... di usir?” pekik Jackson.