Part 16

1482 Kata
“Photoin dong!” rengek Maita. Entah mengapa akhir-akhir ini dia sering sekali berdandan dan ingin sekali berfoto dengan berbagai macan pose. “Iya udah sini aku photoin,” kata Omar yang mulai terlihat malas. Ini bukan kali pertama Omar mendapatkan tugas menjadi potografer pribadi Maita. Omar segera mengambil beberapa foto ketika Maita berpose di dekat pepohonan rindang. Omar sudah brusaha mengambil gambar yang menurutnya paling bagus dan oke. “Nih sudah,” kata Omar menyerahkan ponsel Maita. “Coba sini lihat, ih kok aku keliatan gendutan sih. Ulang lagi,” protes Maita ketika melihat foto yang menurutnya kurang menarik. Omar hanya mampu berdecak kesal di dalam hatinya. Di luar cuaca sedang terik, namun Maita malah betah sekali dengan kegiatannya yang menjadi model dadakan seperti sekarang ini. “Iya ... aku ulangi lagi tuan putri,” jawab Omar. Omar sengaja mengambil beberapa foto dan mengarahkan Maita agar berpose menarik. Ia tidak ingin berdiri terlalu lama di bawah terik matahari, sementara Maita sendiri terbilang enak karena dirinya berada di bawah pepohonan rindang. “Nih sudah.” Omar menyerahkan kembali ponsel Maita. Pria itu berharap di dalam lubuk hatinya, semoga Maita tidak menyuruhnya mengulang sesi pemotretannya itu. Yang benar saja, bisa hancur image sebagai dokter di rumah sakit, jika kulitnya berubah menjadi gosong. Apalagi wajah chinesenya yang tidak cocok dengan kulit berwarna coklat. “Awas aja kalo jelek,” ancam Maita yang membuta Omar bergidik ngeri. “Hem ...,” balas Omar singkat. Meskipun begitu namun Omar tetap menuruti kemauan Maita. Padahal Omar sendiri tidak tahu mengapa dirinya memperlakukan wanita di hadapannya itu dengan begitu baiknya. “Kenapa muka aku keliatan bulat semua sih, kamu tuh bisa nggak sih motoin aku? atau jangan-jangan kamu sengaja ya biar aku kelihatan gendut begini,” gerutu Maita. Sepertinya moodnya sedang buruk. Sebanyak apapun Omar mengambil gambar, namun tetap saja di mata wanita itu salah dan kurang. “Ya Tuhan ... cobaan macam apa ini,” gumam Omar sambil mengelus dadanya. Sementara itu Maita masih sibuk menggeser layar ponselnya melihat satu persatu foto yang diambil oleh Omar. “Ini juga nih, muka aku kok nggak sinkron begini,” gerutu Maita lagi. ‘Nggak singkron juga mukamu sendiri,” kata Omar dalam hatinya, sayang sekali pria itu tidak berani mengucapkannya secara langsung. Ia tahu jika perubahan hormon pada wanita hamil itu bisa memicu serangan maha dahsyat jika salah mempertlakukannya. Alih-alih membuaynya senang, nanti malah bisa memicu percikan amarah yang tak bisa dibendung. Kan bisa berabe. “Sabar Omar, orang sabar jodohnya banyak,” gumam Omar sambil mengembuskan napas beratnya. “Jodohnya banyak? satu aja, jangan banyak-banyak. Jangan serakah,” celetuk Maita. Ternyata dia mendengar gunakan Omar. Maita berusaha menahan seulas senyum. “Iya-iya ... kalo kamu mau, aku sih iyes,” kata Omar sambil memberikan ponsel kepada Maita. Lagi-lagi Omar menggoda Maita. Jika suatu hari Maita menerima lamaran yang selalu dia lontarkan, Omar bahkan sudah siap. Bahkan jika harus menerima anak yang di dalam kandungan Maita juga Omar siap seribu persen. Padahal wajah tampan Omar sangat memungkinkan jika lelaki itu menggaet wanita cantik yang masih single. Namun entah mengapa dirinya malah tertarik ingin menikah dengan Maita. Semuanya semata-mata bukan karena cinta, melainkan karena sebuah rasa tanggung jawab. “Sudah dong Omar, aku tidak mau membahas hal itu lagi,” kata Maita kesal, lalu berlalu meninggalkan Omar. “Iya deh, maaf. Jangan ngambek dong. Kita beli es krim aja yuk, aku beliin deh,” rayu Omar, seolah-olah pria itu sedang merayu putri kecilnya. “Ya udah, aku mau tiga deh,” jawabnya dengan senyum mengembang. Padahal beberapa detik yang lalu dia masih kesal dengan Omar. Emang dasar bumil di mana-mana selalu plin-plan. “Iya tiga, mau lima atau sepuluh juga bakal aku beliin kok. Asal kamu habisin aja,” kata Omar. “Oke, aku bakal habisin kok,” jawab Maita penuh keyakinan. “Kamu mau rasa apa? aku beliin kamu tunggu di sini,” titah Omar mewanti-wanti Maita. Ia takut jika Maita akan tersesat, mengingat mereka belum lama pindah ke sini. Apalagi bahasa inggris Maita yang masih belepotan hanya akan mempersulit dirinya jika tersesat. “Oke.” Omar pergi meninggalkan Maita yang sedang duduk di bangku taman. Omar mencari sekeliling untuk menemukan penjual es krim yang bisa dia beli untuk wanita hamil cerewet itu. . Omar kembali membawa lima bungkus es krim di dalam kantong plastik. dia membeli lima buah dengan rasa yang berbeda. Takut jika Maita tidak menyukai rasa yang dia pilih. “Maaf lama,” kata Omar, yang terlihat ngos-ngosan mengatur napasnya. “Nggak apa-apa kok,” jawab Maita sambil memandang lurus ke depan. “Ini, kamu mau yang mana?” tawar Omar menyodorkan sekantong eskrim kepada Maita. “Aku mau yang rasa coklat sama tiramisu,” kata Maita mengambil dua bungkus es krim. “Sini biar aku yang buka, kamu mau makan yang mana dulu?” “Coklat dulu juga nggak apa-apa,” jawab Maita. “Nih,” omar menyerahkan eskrim yang sudah dibuka untuk Maita. Tidak lupa pria itu memberikan alasan tisue di bagian pegangannya agar tangan Mata tidak terkena lelehan eskrim. “Kamu baik banget, dokter tampan,” kelakar Maita sambil menggoda Omar. “Halah, kalo ada maunya aja baru muji-muji,” cibir Omar. “He he ... maaf.” Beberapa menit kemudian Maita terlihat sedang melamun kosong. Terbukti dari beberapa percakapan yang Omar lakukan, tanpa me dapatkan jawaban dari Maita sama sekali. Omar melihat Maita hanya menatap lurus ke arah depan. Pandangan wanita itu tertuju kepada sepasang ibu dan anak yang sedang bermain bersama di taman. “Caroll!!” panggil Omar sambil melambaikan tangannya di depan Maita. Pria itu merasa ada yang aneh dengan Maita. “Caroll ... kamu oke?” kata Kmar sambil menaikkan suaranya satu oktaf. “Eh ... Maaf,” jawab Maita, yang terlihat sedikit tersentak dengan panggilan Omar. “Kamu melamun?” tebak Omar. wanita itu hanya mengangguk pelan. “Maafkan aku, tiba-tiba saja aku merasa kangen Bunda,” lirihnya. “Kamu mau menghubunginya?” tanya Omar. “Entahlah, apakah aku masih diharapkan di sana?” ujarnya yang terdengar hampir berbisik. “Kamu coba dulu deh, siapa tahu saja Bunda kamu menunggu juga,” kata Omar. “Kamu benar, kita pulang saja yuk, aku mulai lelah. Atau kita belajar naik kereta saja,” usul Maita sambil berdiri. “Oke, asal kamu jangan sedih lagi,” kata Omar yang ikut beranjak dan berjalan menyeimbangi langkah Mati saat ini. Mereka berdua berjalan menuju ke stasiun kereta. . . Di tempat lain Yasmin ibunda Maita tak kuasa menahan kesedihan yang dia simpan beberapa hari. Pikirannya tak berhenti memikirkan sang putri yang saat ini entah di mana. Padahal ia sudah memasukkan ponselnya ke dalam tas sebelum dia pergi. Namun setelah dia mencoba menghubunginya tetap saja panggilan itu tidak tersambung. Rasa berat dan kecewa menyelimuti hati ibu yang sedang duduk di balkon menatap jauh ke depan. Setiap harinya dia tidak berganti untuk meminta kepada Tuhan, agar memberikan putrinya kesehatan dan juga keselamatan dalam hidup. Ia berharap ada seorang malaikat yang mau membantu Maita. “Bunda,” panggilan dari Melvin membuat Yasmin sedikit tersentak. “Ya sayang, ada apa,” jawab Yasmin segera menyapu air mata yang sudah membasahi pipinya sedari tadi. Ia tidak ingin jika Melvin melihatnya dalam keadaan serapuh ini. “Bunda makan dulu ya, sudah dari beberapa hari lalu Melvin lihat Bunda tidak makan,” lirih Melvin. “Nanti saja, Bunda masih kenyang, nanti kalau bunda lapar pasti akan makan juga,” tolaknya. “Bunda jangan berlarut dalam kesedihan, Melvin yakin jika Kak Mai bakal baik-baik saja,” ujar Melvin penuh keyakinan. “Bunda juga berharap seperti itu, anak itu hanya bisa membuat cemas saja,” lirik Yasmin. Bendungan air di pelupuk matanya sudah tidak dapat ditahan olehnya lagi. Butiran-butiran itu berjatuhan membasahi pipi Yasmin. “Bunda.” Melvin segera menghambur ke dalam pelukan sang putra tercinta. Jika ada yang bertanya kepada Ahaha Maita, Danar. Maka pria itulah yang paling menyesali dan menuruni kebodohannya saat ini. Karena ucapannya yang tidak berhati-hati sama sekali malah membuatnya kehilangan putri satu-satunya hingga saat ini. Dansr tak berhenti tidur mencari keberadaan Maita tanpa sepengetahuan sang istri. Hingga saat ini Danar masih setia menguping di belakang pintu percakapan antara ibu dan anak itu. Dadanya mendadak nyeri mengingat betapa kejamnya dirinya kala mengusir sang anak. Anak yang seharusnya dia rengkuh dan dia berikan suport malah dia buat menderita seperti apa yang dia lakukan beberapa hari lalu. Penyesalan memang selalu datang di saat yang kurang tepat sama sekali. Ketika hanya terdengar isakan Yasmin, tiba-tiba saja ponsel wanita itu berdering. Yasmin segera melepas pelukannya kepada Melvin. “Siapa Bunda?” tanya Melvin terlihat penasaran. “Tidak ada nomornya,” kata Yasmin mengernyitkan dahinya. “Angkat saja Bunda, siapa tahu itu Kak Mai,” bujuk Melvin. Tanpa berpikir panjang Yasmin segera mengangkat panggilan teleponnya. “Halo ... halo,” suara lembut itu dengan sopannya menyapa sampai ke telinga penelpon uang ada di seberang sana. “Halo ... halo?” ulang Yasmin lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN