Maita duduk termenung di balkon kamarnya.
Embusan angin menelusup ke sela-sela pori-pori kulitnya.
Hatinya menjadi bimbang, antara mau atau tidak untuk menghubungi sang Bunda. Meskipun ia tidak berniat berbicara, setidaknya mendengar suara Ibundanya bisa membuat hatinya menjadi lebih tenang.
Mati mulai mendial nomor yang sudah berhasil dia tekan di ponselnya saat ini.
Berkat bantuan dari Omar, Maita bisa menyembunyikan kontaknya agar tidak bisa dilacak oleh keluarganya nanti.
Beberapa detik setelah jemarinya menekan tombol Call, Maita mendapatkan jawaban dari ujung teleponnya.
“Halo ... halo,” suara lembut itu dengan sopannya menyapa, sampai ke telinga Maita.
Butiran bening yang sudah mengembangkan di pelupuk matanya kini sudah tidak bisa dibendung olehnya.
Butiran-butiran itu berjatuhan membasahi pipi mulusnya.
“Halo ... halo?” ulang Yasmin lagi.
Mendadak d**a Maita menjadi sesak, suaranya tercekat. Berharap bisa menjawab sapaan sang Bunda, namun kenyataan membuatnya mengurungkan niatnya itu.
Maita hanya mampu tergugu dalan diamnya.
“Maita ... apakah itu kamu?” kata Yasmin dengan lembut dan penuh harapan di ujung teleponnya.
Tepat.
Namun sayangnya kata itu tidak dapat keluar begitu saja dari bibir Maita saat ini.
Tak kuasa menahan rasa sakitnya lagi Maita segera mengakhiri panggilan teleponnya.
“Bunda, maafin Mai,” gumam Maita sambil meremas ponsel miliknya.
Derasnya air mata Maita membuat pandangannya memudar.
Maita berjalan terseok-seok menuju ke kamarnya.
Namun naas, belum sampai dirinya di atas kasur miliknya, wanita itu sudah terjatuh di lantai yang dingin.
“Caroll, aku bawakan camilan untukmu,” panggil Omar dari balik pintu kamar Maita.
“Yuhu ... Caroll, kamu mendengar aku?” teriak Omar menaikkan dua oktaf nada suaranya.
“Kemana sih dia, masuk nggak ya? kalo nggak masuk takut dia kenapa-kenapa lagi,” gumam Omar.
Lelaki itu membuka pintu kamar Maita perlahan mengamati segala sisi dengan seksama. Namun dirinya tidak menemukan Maita di sana.
“Kemana sih dia, aku taruh di situ saja deh,” kata Omar sambil meletakkan nampan berisi s**u ibu hamil dan sepiring buah-buahan yang sudah dipotong-potong olehnya.
Omar hendak berjalan menuju ke arah balkon. Namun, betapa terkejutnya pria itu ketika melihat Maita yang tengah tergeletak tak berdaya di lantai.
Omar berlari menghampiri Maita dengan paniknya. “Caroll, bangun!” teriak Omar kepada Maita.
Namun, Omar tidak mendapatkan respon apapun dari Maita.
Omar segera mengangkat Maita menuju ke atas kasur miliknya, lalu meletakkannya di sana.
Omar pergi menuju ke kamarnya mengambil peralatan yang dia butuhkan lalu segera kali untuk memeriksa keadaan wanita hamil itu.
“Kamu kenapa sih, bikin panik terus,” lirih Omar sambil memeriksa Maita. Tidak lupa dirinya juga memasang selang infus di pergelangan tangan Maita.
Omar memeriksa suhu tubuh Maita, namun dia tidak demam.
Malam ini Omar terlelap di samping tempat tidur Maita.
.
Sinar mentari dari luar menerobos malu-malu ke dalam kamar Maita melalui belah gorden di kamarnya.
Membuat insan yang dengan bergelung di atas tempat tidurnya itu mengerjakan kayanya dengan berat.
Pandangan Maita tertuju pada kepala yang membelakanginya saat ini.
“Omar,” lirih Maita.
“Hem ... kamu sudah bangun?” gumam Omar dengan suara serak khas bangun tidurnya.
“Kenapa kamu tidur di sini?” tanya Maita dengan begitu polosnya.
Omar hanya berdecak kesal melihat wajah polos Maita itu.
“Kamu sendiri kenapa tidur di lantai?” tanya Omar balik.
“Kapan?” sahut Maita cepat.
“Kapan kamu bilang?” gerutu Omar.
“Iya ... kapan aku tidur di lantai?” tanya Maita.
“Entahlah, sepertinya kamu kelelahan atau kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” selidik Omar.
“Aku?” ucap amaita sambil menunjuk hidungnya sendiri.
“He’em ...,” jawab Omar sambil mengangguk pelan.
Maita teringat akan kejadian kemarin sore.
Mendadak Maita menatap ke depan dengan tatapan kosongnya.
“Tuh ... kan, melamun lagi,” cibir Omar.
“Eh ... aku tidak melamun,” tampik Maita.
“Tidak melamun ya, hanya menatap lurus ke depan, begitu maksudmu?” sindir Omar.
“Iya baik, aku akan menceritakan kejadian sesungguhnya,” jelas Maita.
Omar berdiri mengecek posisi infus di tangan Maita.
“Ceritalah, aku akan menjadi pendengar paling setia,” kata Omar dengan tatapan seriusnya.
“Aku kangen Bunda,” ujar Maita sambil menunduk menahan air matanya.
“Kamu ingin pulang?” tanya Omar ragu.
”Tidak, aku hanya rindu saja. Maafkan aku sudah membuat kamu menderita,” lirik Maita.
“Ssshtt, jangan katakan itu lagi,” peringat Omar.
“Maaf,” lirih Maita sembari mengusap air matanya.
“Ini,” kata Omar memberikan dua lembar tisue.
“Terimakasih.”
Omar mengangguk lalu segera melepaskan infus yang ada di tangan Maita.
“Kamu tidak bekerja?” tanya Maita. Dia heran kenapa jam kerja Omar masih di rumah dan belum bersiap sama sekali.
“Setelah ini aku akan pergi ke rumah sakit, tapi kenapa aku malah ragu ketika kamu seperti ini,” jelas Omar sambil menatap Maita dengan seksama.
“Jangan sampai kamu mengesampingkan pekerjaan kamu Omar,” kata Maita memperingati.
“Iya ... aku mengerti. Kalo begitu aku pergi dulu,” pamit Omar.
Omar menyiapkan makanan sebelum dirinya berangkat menuju ke rumah sakit, lalu pergi tanpa berpamitan kepada Maita.
Maita segera menuju ke meja makan setelah mendengar suara mobil milik Omar meninggalkan pekarangan rumah.
Maita mendapati sebuah sarapan s**u dan sandwich sudah tersusun rapi di atas meja makan.
“Omar, kenapa kamu selalu membuat dirimu sibuk karena aku.”
Maita hanya mampu bergumam sambil menghabiskan sarapan yang sudah disediakan oleh Omar tentunya.
.
Di tempat lain, Jackson masih memandangi sebuah bingkai lengkap dengan toto Maita saat masih bersama dengannya.
“Sayang, kamu sudah Makan?” tanyanya kepada bingkai mati itu.
seolah Jackson memgharapkan jawaban atau hanya sekadar hayalan saja.
Bahkan di dalam hayalan saja Maita tidak mau menampakkan dirinnya.
Jackson berpikir jika wanita itu sudah benar-benar melupakannya saat ini.
“Apakah kita bisa bertemu lagi?” ujar Jackson saat ini.
Tiba-tiba saja Jackson mendapatkan sebuah panggilan telepon. Pria itu menatap layar ponsepnya, menaikkan sebelah alisnya. Hingga dia memutuskan untuk segera mengangkat panggilan itu.
“Ya halo?” sama Jackson.
“Saya ingin laporan hasil Kerja kami beberapa hari ini Pak,” kata lelaki di seberang panggilan Jackson.
“Ya katakannlah!” titah Jackson.
Bahkan lelakinitu sudah mendapatkan jawaban sebelum peria itu mengatakan Yang sebenarnya.
”Maafkan kami Pak, kami sudah berusaha namun belum menemukan titik terang dari keberadaan nona Maita, Tuan,” katanya dengan penuh keraguan.
“Heh ... Damn! kalian kerja atau hanya makan gaji buta, Hah?” bentak Jackson dari balik ponsel miliknya.
“Maaf Tuan, saya sudah berusaha. Bahkan saya juga sudah mengintai di depan rumah Nona Maita, namun kami tidak mendapatkan informasi dari sana,” sesal Anak buah Jackson.
Meskipun dirinya berada di jauh tempat, namun Jackson bisa mengontrol semua kebutuhan jika dirinya dapat bertemu di dalam waktu yang cepat.
“Ya sudah, terserah kamu saja. Kali ini aku tidak mau mendengar alasan apapun. Jika dalam satu minggu ini kalian tidak menemukan keberadaan Maita maka aku tidak sebab-sebab memecat kalian!” ancam Jackson