Jackson menyusuri kota Samarinda tanpa tahu arah dan tujuan.
Dirinya berharap dapat menemukan wanita yang sangat dia cintai.
“Sayang ... kamu di mana? aku kangen banget sama kamu, pengen peluk kamu. Kangen manja-manja sama kamu. Kenapa kamu pergi ninggalin aku? Di mana kamu sekarang, apakah kamu sudah makan di sana?” lirih Jackson di atas motornya.
Pria muda itu tidak berhenti memikirkan nasib sang kekasih saat ini.
Berharap menemukan titik terang di mana keberadaannya sekarang.
Terlebih lagi Jackson merasa semakin bersalah, ketika dirinya tahu Maita pergi meninggalkan kota dalam keadaan hamil.
Jackson menghentikan motornya di atas jembatan sungai Mahakam.
Dia segera menghadap ke arah sungai yang begitu deras.
“Maitaaaa di mana kamu, aku rinduuu!” teriak Jackson di atas jembatan.
Hanya ada sesal di dalam relung hatinya saat ini.
Tanpa terasa butiran-butiran bening berjatuhan dari pipi pria muda itu.
“Mai ... sejauh apapun kamu pergi dan bersembunyi, aku akan selalu menanti dirimu kembali,” ujar Jackson.
.
Malam sudah larut, Jackson seharian mengelilingi kota, dia bahkan mendatangi rumah teman yang satu ke teman yang lain.
Harapannya tak lain hanya ingin menemukan keberadaan Maita saat ini.
Namun usahanya hanya sia-sia dan percuma.
Selama seharian juga dia tidak makan apapun.
Jackson memutuskan untuk pulang ke rumah karena dirinya sudah sangat frustasi tidak menemukan titik terang di mana keberadaan Maita saat ini.
Langkah lunglai Jackson menuntunnya memasuki rumah.
“Jackson ... dari mana kamu?” tanya Sofia tegas.
“Dari-.”
“Wait, kenapa wajahmu bisa jadi begitu?” lanjut Sofia lalu segera mendekati putranya.
“Ini tadi cuma jatuh kok Ma,” elak Jackson.
“Nggak mungkin ini karna jatuh, jelas-jelas kamu babak belur begini. Siapa yang melakukannya?” tanya Sofia lantang.
“Ini cuma masalah kecil kok Ma, nggak usah dipanjangin lah,” jelas Jackson.
“Masalah kecil? bahkan saat kamu menghamili anak orang juga kamu anggap itu semua masalah kecil?” teriak Sofia yang sudah ber api-api menahan sesak di dadanya.
Kekecewaan yang dia dapat dari putranya telah meng gores kan luka yang begitu dalam dan perih.
“Ma! tunggu ... dari mana Mama tahu kalo aku menghamili Maita?” tanya Jackson heran.
Ia juga curiga jika Mama-nyalah yang telah membuat Maita sampai diusir.
“Tidak perlu kamu tahu, Mama mengetahui semuanya dari siapa. Setidaknya mama sudah menawarkan sesuatu yang menguntungkan untuk gadis bodoh itu, tapi dia menolaknya,” ujar Sofia sambil berkacak pinggang di hadapan putranya.
Jackson yang tak berani melawan sang Mama hanya mampu menggemerutukkan gigi-giginya saat ini.
Rasa kesal dan marah bercampur menjadi satu.
“Apa yang mama lakukan? kenapa Mama tidak mengabari Jackson kalo Maita mengandung Ma?” cecar Jackson kemudian.
Seolah tidak terima dengan apa yang telah dilakukan sang Mama kali ini Jackson berani buka suara.
“Hei ... seharusnya kamu berterimakasih kepada Mama, karna Mama sudah memberikan penawaran menarik baginya, kamu bisa melanjutkan kuliah di luar negri dia juga bisa melanjutkan kuliah bersama dengan kamu. Ooo ... jadi gara-gara gadis itu kamu berani melawan ujapan Mama ya?” tanya Sofia dengan raut wajah kesal.
“Tapi itu anak Jackson Ma, cucu Mama!” bentak Jackson.
“Kamu sudah berani membentak Mama Jackson Yukihiro?” tekan Sofia penuh amarah.
Jackson menarik napas dalam lalu mengembuskannya dengan kasar.
Dia segera berlari meninggalkan Sofia yang masih saja mengoceh tanpa henti.
“Stop Jackson! Mama belum selesai,” teriak Sofia penuh amarah.
“Ada apa ini?” tanya Hirano.
Lelaki berperawakan tinggi itu berjalan mendekati istrinya.
Ia memang selalu memberikan kebebasan kepada putranya.
Pria keturunan Jepang asli itu memang tidak pernah membatasi aktivitas yang dilakukan oleh putra semata wayangnya.
Berbeda dengan Sofia yang asli keturunan Indonesia, dia selalu memikirkan bagaimana malunya di hadapan keluarga jika Jackson melakukan kesalahan atau hal memalukan.
“Aku sudah tidak sanggup menasehati putra semata wayangnya itu,” ketus Sofia dengan kesal. Dia berlalu meninggalkan suaminya.
“Aneh, setiap ada masalah selalu saja dia marah-marah. Apakah tidak ada jalan yang bisa dilakukan selain marah?” gerutu Hirano.
.
Di tempat Lain Maita sedang sibuk mengurus semua perlengkapannya di rumah barunya.
“Carol, aku mau ke luar sebentar, kamu mau nitip sesuatu?” tanya Omar dengan membuka sedikit pintu kamar Maita.
Kepala pria itu terlihat menyembul masuk sebagian.
Seperti biasa dia tidak pernah mengetuk pintu kamar Maita.
“Entahlah, aku tidak tahu mau pesan apa.”
“Oke, hubungi saja jika kamu memang memerlukan sesuatu. Aku pergi dulu,” kata Omar kembali menutup pintu kamar Maita.
“Dasar aneh. Ngomong-ngomong kenapa aku jadi teringat tentang Jackson ya?” gumam Maita lalu mencoba mencari-cari ponselnya.
“Tidak Mai ... kamu harus kuat, move on. Lupakan dia yang telah pergi meninggalkan kamu di saat seperti ini,” gimana Maita.
Semenjak meninggalkan Indonesia, Maita memang mengganti kartu di dalam ponselnya dengan yang baru.
Ia tidak ingin ada siapapun menghubungi dirinya.
Itu semua adalah permintaan dari Omar.
Seandainya Jackson kembali sewaktu-waktu dia tidak akan mudah goyah lagi, kata Omar.
Omar juga berkata jika pria seperti Jackson perlu diberikan pelajaran agar tidak semena-mena meninggalkan Maita atau siapapun dalam keadaan hamil seperti ini.
Seperti biasa, Maita masih merasakan mual yang luar biasa saat ini.
Entah berapa usia kandungannya saat ini.
Rasanya ia sangat tidak sanggup dengan keadaannya yang membuat aneh di dalam tubuhnya.
“Sayang ... anak Mama, kamu jangan rewel ya. Jadilah anak yang baik. Jangan membuat Mama tersiksa dengan keadaan Mama saat ini. Mulai sekarang kita akan berjuang bersama dan berjanji tidak akan meninggalkan satu sama lain ya,” lirik Maita yang berusaha mengajak janin di dalam kandungannya berbicara.
Meskipun belum tentu Janin itu bisa mendengarkan ucapannya.
Tak berselang lama Maita keluar dari dalam kamar menuju ke arah meja makan.
Tiba-tiba dia merasa lapar saat ini.
Maita berjalan menuju ke arah kulkas di sudut ruangan.
“Tidak ada apa-apa ya,” gumam Maita.
“Kamu lapar?” ujar Omar.
“Astaga ... his ... kamu kalo masuk nggak bisa apa ngasih tau dulu. Akh kaget beneran, kalo kita tinggal sama-sama selama bertahun-tahun begini aku bisa saja mati mendadak karena serangan jantung,” ujar Maita panjang kali lebar seperti rumus persegi panjang.
Omar hanya mengulas senyum di hadapan Maita.
“Jika kamu kena serangan Jantung, aku adalah orang pertama yang akan menolongmu,” kelakar nya.
“Iya ... iya percaya deh, mentang -mentang dokter. Ngomong-ngomong nyawa kan ada di tangan Tuhan,” sindir Maita.
“Iya ... aku tahu aku bukan Tuhan, tapi aku diberikan kelebihan khusus untuk membantu menyembuhkan orang sakit dan menyembunyikan kamu,” kata Omar berlalu meninggalkan Maita.
“Iya ... percaya deh. Kamu beli apa?” tanya Maita.
“Hanya beli roti tawar dan selai, di dekat sini. Aku mau lanjut belanja kamu mah ikut aku nggak?” tanya Omar.
“Iya aku lapar, di rumah juga nggak ada apa-apa.”
“Ya sudah, sana ganti baju dulu, aku tungguin kamu deh,” kata Omar sambil menatap Maita dari atas sampai bawah, bisa dibilang sangat berantakan.
Omar adalah type lelaki yang sangat cinta kebersihan.
“Ternyata setelah kuta tinggal bersama beberapa hari, sifat kamu yang bawel ini muncul juga ya,” sindir Maita.
“Iya aku memang bawel seperti emak-emak, tapi itu semua aku lakukan demi kebaikan,” kata Omar sambil mengoleskan selai coklat di atas roti tawar-nya.
Maita yang melihat kue bikinan Omar mendadak seperti ingin meneteskan air liurnya.
“Nih buat kamu, habiskan baru mandi!” titah Omar seperti seorang Ayah menasehati putrinya.
“He he ... kamu baik banget. Makasih ya,” jawab Maita.
“Sudah makan dulu, sini duduk,” kata Omar menarik sebuah kursi untuk Maita.
Mereka berdua akhirnya makan bersama-sama tanpa ada suara apapun.
“Makasih Omar, kue buatanmu enak. Aku mau mandi dulu,” kata Maita sambil berlalu menuju ke kamarnya.
Omar hanya tersenyum menatap kepergian Maita.
.
.
Setengah jam berlalu namun Maita belum juga keluar dari kamarnya.
Omar takut jika dirinya tiba-tiba masik ke kamarnya akan terjadi kejadian seperti sebelumnya.
Jadi selama menunggu Maita selesai di dalam dia hanya mondar-mandir seperti setrikaan Emak.
“Dia mandi apa bertapa sih, perempuan kalo mandi ngapain aja selama ini ya Tuhan ...,” gerutu Omar.
Hingga dua puluh menit kemudian Maita belum juga keluar.
Omar hendak mengetuk pintu namun Maita sudah membukanya terlebih dahulu.
“A ....”
“Kenapa kamu?” tanya Maita bingung.
“Nungguin kamu sampe jamuran aku di sini,” ujar Omar.
“Maaf,” jawab Maita.
“Ayo, kita makan di luar sekalian jalan-jalan kamu kan belum pernah keluar selama di sini,” kata Omar.
Maita nampak mengangguk dengan begitu antusias.
“Kita mau ke mana?” tanya Maita ketika memasuki mobil.
“Kita jalan-jalan ke taman Dandenongs,” kata Omar.
“Taman apa?” ulang Maita yang merasa asing dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Dandenongs Caroll,” ulang Omar.
“Taman apa itu? Hantu?” sahut Maita.
Menurutnya mendengar namanya saja sudah membuat pikirannya melayang ke mana-mana.
“Taman Dandenongs itu taman bunga yang begitu indah kamu pasti suka,” kata Omar.
“Awas kalo kamu bohongi aku ya,” ancam Maita.
“Sejak kapan seorang Omar suka berbohong?” tanyanya lagi.
“He ... he ... iya juga ya,” jawab Maita.
setelah perjalanan beberapa waktu mereka sampai ke taman yang di maksud oleh Omar.
“Woah ... indah banget,” teriak Maita takjub.