Yura bilang pada Jeffry kalau dia akan memikirkannya dan akan memberikan jawabannya sebelum jam tujuh malam. Dan sekarang sudah jam setengah tujuh. Ada apa, sih, dengan waktu? Kenapa saat kita inginnya waktu berlalu lambat, dia malah berlalu cepat sekali. Seakan - akan, ditinggal berkedip saja langsung loncat sepuluh menit waktunya.
Dia gelisah. Rasa tak enak menggerogoti hatinya. Tak enak pada Jeffry yang sudah berbaik hati mengajaknya jika dia menolak. Tapi dia juga khawatir pada reputasinya dan gosip entah apa lagi yang mungkin tersebar jika dia menerimanya.
“Maa, kok makanannya diaduk - aduk aja?” Dia tersentak mendengar suara Niel yang tiba - tiba. Atau sebenarnya tak tiba - tiba? Hanya dia saja yang terlalu dalam tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri? “Maa sering marahin Niel kalo lagi kaya gitu padahal.”
Dia meringis. Anaknya sungguh adil sekali. “Maaf ya, Maa lagi banyak pikiran.”
“Maa pusing? Mau Niel ambilin obat?”
Yura menggeleng, menahan Niel untuk tak beranjak dari tempatnya. “Maa nggak papa, kok. Niel udah selesai makannya… lho, kok sayurnya disisain. Katanya Niel suka sayur.”
“Ini nggak disisain. Ini Niel makannya belum selesai, Maa.”
Yura lagi - lagi meringis keki karena kalah argumen dengan Niel. Anaknya ini kenapa pinter banget sih, bersilat lidah. Padahal dia tak secerewet itu walaupun sudah emak - emak. Lalu dia terpikirkan sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya.
“Niel?” panggilnya, membuat mata bening dan tajam yang serupa dengan Ayahnya itu memandangnya. Yura mendesah dalam hati, padahal sudah latihan selama enam tahun dengan Niel, tapi kalau ketemu orangnya langsung, kenapa dia masih gemetan dan tubuhnya terasa aneh? “Niel mau camping nggak?”
“Camping itu apa Maa? Kemah?”
Yura meringis. Dia lupa kalau Niel cuma bocah lima tahun yang pengetahuannya belum sampai ke mana - mana kalau dia sendiri tak menerangkan. Anak itu tahu kemah karena pernah suatu kali mereka berjalan - jalan ke pantai yang kebetulan tak terlalu jauh dari tempat mereka, hanya lima belas menit naik motor, dan dia bertanya saat melihat tenda - tenda kemah persami dari SD dan SMP setempat. Di situlah Yura menerangkan tentang kemah.
“Mirip sama kemah, tapi nanti kita nggak rame - rame.”
“Cuma Niel sama Maa aja?!”
Loh? Kok anaknya excited? Berangkat, nih, Mereka?
“Maa diajakin sama Om Jeffry sih, campingnya di hutan pinus, tapi Maa bilang mau tanya Niel dulu, kalau…”
“Mau! Niel belum pernah ke hutan! Ada monyetnya nggak, Ma?!”
Sepertinya Yura tak bisa mengelak lagi. Mereka akan berangkat camping besok.
***
“Sini sini biar aku aja.” Jeffry buru - buru mendekat saat melihat Yura datang. Dia gugup sendiri melihat perempuan itu membawa Niel yang masih separuh mengantuk ke tempat janjian mereka dengan motor. “Astaga, untung nggak jatuh. Bahaya banget sih, kamu.”
Yura hanya meringis sambil menunjukkan kain panjang yang biasa digunakan ibu - ibu untuk menggendong bayi yang tadi dia gunakan untuk mengikat tubuh Niel ke tubuhnya sendiri agar tak jatuh saat mereka berkendara. Seolah perempuan itu berkata tak perlu khawatir, Niel aman dan berada di tangan yang tepat.
Meskipun begitu, tetap saja mengkhawatirkan. Dia langsung menggendong Niel yang langsung merangkulkan lengannnya di lehernya dan membantu Yura membawa tas jinjingnya, sementara perempuan itu mengamankan posisi motornya karena akan ditinggal di parkiran kantor selama dua hari. Tak apa, ada satpam yang menjaga, pasti aman.
“Kenapa tadi nggak mau dijemput aja, sih? Kan nggak repot begini. Kasian, loh, Niel.”
Yura hanya tersenyum. Dan itu membuat Jeffry gemas sendiri. Dia dan Yura tak berbeda jauh umurnya, tapi perempuan ini luar biasa dewasa, tak manja dan menye - menye seperti teman - teman perempuannya pada umumnya. Orang bilang, wajar kalau perempuan cantik itu kemayu, tapi baginya, kalau dia bisa dapat yang cantik dan tak kemayu, kenapa tidak?
Meskipun bukan lagi gadis. Meskipun janda orang. Tapi semua kriteria idealnya ada di Yura. Jadi dia tak akan komplain.
Sayangnya, Yura ini… agak susah digapai. Bertahun - tahun dia melakukan pendekatan, tapi seolah mental terkena jalan buntu. Baru kali ini saja dia beruntung karena Yura mau diajaknya keluar saat weekend. Itu membuatnya nyaris tak bisa tidur semalam. Kalau tak ingat hari ini mereka akan berangkat pagi sekali, pasti dia bablas saja begadang.
“Jangan, kasihan kamu. Rumahku kan nggak searah. Nanti kamu malah muter - muter. Di sini aja, nggak papa. Niel udash biasa kok kaya gitu. Aman.”
Jeffry hanya menghela nafas pasrah. Tak bisa lagi membantah. Lagipula, Yura kan Ibunya Niel, pasti dia akan melakukan yang terbaik kan, untuk anaknya. Bukan bagiannya untuk menggurui Yura tentang hal itu. Terlebih, karena dia sendiri tak punya pengalaman dengan anak - anak. Berbeda dengan Yura.
“Ya udah, yuk, berangkat.”
***
Yura memang melarang Jeffry menjemputnya di kontrakan. Dia tak ingin menuang minyak di atas api gosip tak sedap yang melanda dirinya akhir - akhir ini. Katakanlah dia masih trauma. Karena memang mulut tetangga ternyata bisa sepedas itu. Dia bingung, apa yang membuat mereka amat tertarik dengan kehidupannya dan menggunjingkannya di belakang.
Itulah sebabnya dia meminta bertemu di kantor saja. Meskipun Jeffry beralasan, ‘masih pagi, tak akan ada yang lihat’, belum tau saja dia kalau emak - emak di kompleks nya semuanya rajin bangun pagi dan mengegrjakan pekerjaan domestik. Tentu saja, sambil menggibah ria. Siapa tahu ada kabar menghebohkan yang terjadi hanya dalam waktu semalam.
Mereka berangkat bagi karena mau sekalian jalan - jalan ke pantai yang agak jauh dari tempatnya dan ke beberapa tempat wisata tolak di sana sebelum nantinya ke glamping di hutan pinus. Sudah terlanjur keluar rumah, sekalian saja bersenang - senang.
Mereka sampai di pantai sekitar jam setengah delapan. Masih pagi seharusnya, tapi karena ini akhir minggu, pantai jadi luar biasa ramai. Nyaris saja mereka tak mendapatkan tempat parkir.
“Niel mau mandi?” Yura menawarkan.
Bocah itu menggeleng sambil mengerutkan hidungnya. “Nggak ah, kaya anak - anak aja masih mandi di pantai.” Yura dan Jeffry saling tatap sambil menggigit bibir bawah masing - masing. Sepertinya Niel lupa kalau umurnya baru lima tahun. “Maa,”
“Hmm?” Yura hanya menggumam, tak bisa mengeluarkan suara lain karena dia masih menahan tawa. Sementara di belakangnya, Jeffry sudah tervatuk karena tak bisa menahan tertawanya lagi.
“Sarapan aja, yuk. Niel laper.”
“Oh, siap! Om Jef juga laper. Niel mau makan apa?”
Tatapan menegur Yura tak dihiraukan oleh Jeffry yang langsung menggandeng Niel menuju ke warung - warung kecil di pinggir pantai.
Sepertinya, setelah liburan ini, dia harus susah payah lagi mendisiplinkan Niel yang akan dimanja total oleh Jeffry. Dia menghela nafas dalam sebelum berankak mengikuti mereka berdua.
Bodo amat, liburan dulu!
“Niel, tunggu Maa, dong!”