SEBELAS

1105 Kata
“Maa … sesek.” Niel kembali protes. Ini adalah protesnya yang ke … entahlah. Yura sudah tak menghitung lagi. Pertemuannya kembali dengan Ramada membuatnya merasa takut kehilangan Niel. Mungkin alasan itu yang bisa menerangkan kenapa mendadak hampir selalu memeluk Niel malam ini.  Habis mandi tadi Niel dipeluknya, sebelum dan sedudah makan tadi, Niel juga dipeluknya, bahkan Niel harus rela mengerjakan PR sembari dipangku dan dipeluk Maa-nya. Dan sekarang mungkin pria kecil itu sudah sampai batasnya kesabarannya. Karena protes tersebut, mau tak mau Yura harus mau melepaskan pelukannya. Putranya itu terlihat benar - benar tersiksa. “Maa kenapa, sih, dari tadi peluk Niel terus. Niel kan nggak lagi sakit.” tanyanya sembari bangkit duduk dan menghadap Yura. Yura meringis, mau tak mau dia juga ikut duduk, karena ini berarti pembicaraan serius. Apa pun yang dibicarakan sembari duduk adalah pembicaraan serius. Itu adalah peraturan tak tertulis mereka. Seperti saat Niel menyembunyikan sandal anak tetangga saat main bersama karena temannya itu mengejek Niel yang tak punya Papa. Walaupun Nile melakukan itu untuk membela diri dan karena marah, tapi Yura tak bisa menutup mata begitu saja pada sifat Niel. Jika dibiarkan, akan menjadi tabiat buruk. Beberapa tetangga di sini, kalau ada anak nakal, selalu memakluminya dengan kalimat andalan, “Namanya juga anak - anak.” Meskipun memang iya, mereka adalah anak - anak dan belum bisa berpikir apalagi bersikap dewasa, tapi Yura tak mau bersembunyi di balik alasan tersebut. Baginya, orang - orang berlindung di balik alasan payah tersebut adalah mereka yang sedang mencari alasan dan pembenaran karena tak bisa mengajar anaknya dengan benar. Yura mengikuti pose duduk Niel. Bersila dengan punggung sedikit ditekuk ala bapak - bapak kalau sedang rapat RT. “Maa kangen sama Niel. Pengen peluk. Nggak boleh, ya?” Putra kecilnya itu menghela nafas kemudian menghembuskannya dengan dramatis. Yura menahan diri untuk tak terkikik melihatnya. Satang satu tangannya menyentuh dagu dan tangan lainnya mengilang di d**a. Wajahnya serius. Bahkan, dia yang tak pernah melihat Ramada tumbuh dari kecil saja, bisa melihat kesamaan itu. Karena Niel benar - benar mirip dengan pria itu daripada dirinya sendiri. Hal yang dulu dia amat syukuri, tapi kini menjadi hal yang membuatnya amat was - was. “Bukan nggak boleh, Maa.” Suara Niel menariknya kembali dari lamunan. “Tapi Maa udah kelamaan peluk Niel. Niel bukan adik bayi. Butuh gerak juga.” Astaga, siapa yang mengajarkan anaknya kalau dia butuh gerak juga. Dan kenapa Niel bisa langsung mengaplikasikannya dalam saat yang tepat?! “Tapi oke, lah. Malam ini Maa boleh peluk Niel. Malam ini aja tapi ya.” “Berarti besok kalau Niel nggak bisa tidur nggak boleh bangunin Maa minta dikelonin, ya.” Wajah tampan kekanakan itu terperanjat kaget, “Kok gitu?” *** Seminggu setelah pertemuannya dengan Ramada, tak ada yang terjadi. Dua hari pertama, Yura masih tak tenang, gelisah seperti menunggu - nunggu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi setelah dua hari berturut - turut tak ada yang terjadi, akhirnya dia menurunkan pertahanannya dan menikmati sedikit hidupnya. Jujur saja, selama enam tahun terakhir ini, hidupnya begitu terfokus pada Niel dan apa yang harus dia lakukan untuk bocah itu. Bersenang - senang? Bahkan kata itu asing dalam kamus hidupnya. Beberapa tetangganya mengira bahwa dia adalah w*************a yang memoroti om - om dan suka berjalan - jalan menghabiskan uang. Citranya sudah buruk, ditambah lagi kehadiran Niel, seperti menjadi bukti kuat yang mengumumkan pada khalayak menggunakan microfon kalau dia adalah perempuan gampangan. Seandainya saja mereka tahu.  Selain liburan kantor yang diadakan setahun sekali, dia belum pernah liburan lagi. Selain baju dinasnya yang necis, dia tak punya banyak baju bagus. Kebanyakan bajunya adalah baju preloved atau reject yang di diskon murah, itu pun dia mengijinkan dirinya sendiri untuk membelinya hanya satu kali dalam setahun yaitu saat lebaran. Ke salon untuk perawatan? Boro - boro. Potongan rambutnya adalah hasil potong sendiri. Tak masalah tak rapi. Toh saat di kantor dia akan memakai hairnet dan menyanggul rambutnya sehingga yak akan ada yang tahu apakah rambutnya hasil potong di salon atau bukan. Makan di luar? Hanya dilakukan sekali - sekali yang benar - benar artinya sekali, yaitu saat Niel ulang tahun. Saat hari itu tiba, dia akan menuruti apa pun keinginan pria kecil sumber kehidupannya itu. “Ra.” “Hmm?” Yura menoleh pada panggilan di sebelahnya. Jeffry. Meja - meja di sekitar mereka sudah kosong sejak tadi. Yura tinggal karena harus lembur. “Ada apa?” “Besok ada acara nggak?” Yura mengerutkan dahinya mengingat - ingat. Besok adalah hari sabtu. Dia libur dan Niel juga libur. Biasanya kalau Sabtu mereka akan quality time, belanja ke pasar dan masak bareng, kemudian nonton film atau melakukan hal yang menurut mereka menyenangkan. Itu biasanya sih, bukan sesuatu yang sudah dijadwalkan. Karenanya Yura sedikit bingung saat ditanya begitu. “Paling sama Niel aja sih, di rumah.” “Berarti nggak ke mana - mana, kan?” Yura mengangguk ragu. Ini ada apa, sih? “Ikut aku aja, mau? Berdua sama Niel nanti.” “Hah?” “Eh em … Jadi gini ….” Jeffry sedikit ragu - ragu. Wajah tanpan yang mulus dan glowing itu meringis kikuk. Yura menunggu dengan tenang. “Kakak aku rencananya mau pulang kan, sama anak sama suaminya, mereka rencananya mau camping di hutan pinus sana. Udah booking glamping segala macem, semua udah fix, udah dibayar ternyata Abang Ipar cutinya di halt sama kantor. Jadi minta aku nempatin. Tapi kalau sendirian kan keki nggak sih, dua hari semalam. Jadi…” Yura terhenyak, paham apa maksud Jeffry. Dia memandang Jeffry dengan tatapan tak percaya.  “Why me? Kan kamu bisa ngajak pacar kamu? Atau … atau kalau nggak, adik - adik kamu?” Yura mengusulkan dengan suara tergagap.  Dia tak menyangka Jeffry akan mengajaknya berlibur seperti itu. Dia tahu Jeffry punya rasa yang lebih padanya. Tapi sampai membuat langkah sejauh ini…. “Aku nggak punya pacar dan nggak punya adik. Aku anak terakhir. Nggak mungkin kan, aku ajak orang tua aku glamping?” jawabnya pelan dengan wajah nelangsa, membuat Yura merasa canggung dan tak enak. “Aku ajak kamu sama Niel … karena aku kira kita deket,” Yura semakin merasa terpojok dan tak enak sendiri. “Lagi pula di glampingnya nanti ada dua kamar kok, jadi kita nggak sekamar meskipun sharing balcony. Kamu bisa sama Niel. Hitung - hitung kalian berdua liburan juga, kan.” Jeffry menambahkan buru - buru dengan penjelasan - penjelasan yang persuasif dan masuk akal. Selama ini memang mereka belum pernah liburan sendiri sih, pasti rame - rame sama teman kantor. Haruskah dia terima tawaran ini? Tapi Jeffry dan dia pergi sendiri …? Nanti kalau jadi bahan gosip di kantor gimana?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN