Istri Kedua

1541 Kata
Faiq naik keatas ranjang dan dia hampir saja merebahkan tubuhnya disamping Farhana saat perempuan itu tiba-tiba saja membuka mata. "Kenapa kamu tidur disini?" Dia berujar. "Kamu mengatakan sesuatu?" Faiq memalingkan wajah. "Kenapa kamu malah tidur disini?" Perempuan itu mengulang kata-katanya. "Memangnya kenapa? Ini juga kamarku, tempat tidurnya juga milikku, apa masalahnya?" jawab Faiq, dan dia sedikit mengangkat kepalanya dengan kening berkerut. "Ini malam pengantinmu, Mas. Dan istrimu ada disana sedang menunggu." Farhana sedikit terkekeh, sepertinya pria ini lupa statusnya sekarang. "Oh, astaga ... jangan ingatkan aku tentang itu lagi." Faiq kembali menjatuhkan kepalanya diatas bantal, kemudian menutup wajah dengan sebelah tangannya. "Faktanya memang seperti itu, bukan? Aini sedang menunggumu di kamarnya," ucap Farhana yang ssmakin membuat pria itu merasa kesal. "Tidak!" katanya. "Mas?" "Jangan bicarakan itu lagi, aku sudah menuruti kemauanmu dengan menikahinya. Tapi jangan memintaku untuk melakukan hal lainnya lagi." "Lalu bagaimana kalian akan punya anak kalau kamu tetap disini?" Farhana menyentuh tangan suaminya. "Itu lagi!" gumam Faiq dengan nada kesal. "Bagaimana aku akan punya anak jika kalian terpisah seperti ini?" Farhana dengan suara pelan. Pria itu terdiam, namun dia menurunkan tangan yang menutupi sebagian wajahnya. "Kita tidak akan punya anak kalau begini. Lagipula itu tujuannya menikah bukan?" ucap Farhana lagi, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. "Hana, entahlah." Lalu Faiq buka suara setelah terdiam mendengarkan ocehan istrinya. "Mas ...." "Dengar, sekarang ini aku merasa sedang menghianatimu. Menikahi perempuan lain sedangkan istriku masih hidup. Kita bahkan tinggal serumah dan aku masih bersamamu. Logikaku tidak bisa menerima keadaan ini." Faiq kembali mengatakan apa yang ada di dalam benaknya saat ini. "Kamu hanya belum terbiasa." Sekali lagi Farhana meyakinkan. "Ya, memang. Jadi biarkan aku seperti ini dulu. Jangan paksa aku melakukan apa yang tidak ingin aku lakukan." Faiq kembali berucap. "Kamu tidak akan terbiasa jika tidak memulainya. Dan selamanya akan seperti itu." Namun Fathana selalu bisa menjawabnya. "Kamu tahu sendiri, aku tidak terbiasa dengan orang asing. Tapi kamu terus memaksaku untuk menarik seseorang yang tidak aku kenal kedalam rumah tangga kita. Dan itu rasanya aneh." Pria itu meremat rambut di kepalanya dengan rasa frustasi memenuhi d**a. "Tidak jika kamu mau memulainya sekarang. Setidaknya datangi dia, dan mulailah mengenal pribadinya. Hubungan suami istri itu bukan sekedar intetaksi fisik di atas ranjang, bukan? Tapi ikatan batin yang dimulai dari saling mengenal terlebih dahulu, yang nantinya akan membuat kalian saling memahami." Faiq terdiam. "Mas, cobalah mengenal Aini lebih dekat agar kalian bisa saling memahami dan membuatnya terbiasa juga dengan status kalian sebagai suami istri," ujar Farhana. "Hana, aku mohon." "Setidaknya aku tahu akan meninggalkanmu dengan orang yang tepat." "Hana ...." "Kamu tidak mau dengan Aini? Dia kurang menarik? Kita bisa cari perempuan lain, yang lebih cantik, yang lebih menarik dari Aini. Pasti banyak yang ...." "Hana, kamu ngawur!" "Kita bisa melepaskan Aini jika itu maumu dan mencari yang lainnya seperti yang kamu inginkan." "Hana, pernikahan ini bukan mainan. Aku mengucap janji dihadapan Allah, dan tidak mungkin juga aku mempermainkan Aini. Bukankah kita yang memintanya untuk menikah? Lalu bagaimana jadinya jika aku melepaskannya sedangkan pernikahan kami baru hitungan jam? Kita menghina harga dirinya." "Maka berbuatlah seperti seharusnya!Karena kalian merupakan suami istri yang sah secara hukum dan agama, maka berlakulah seperti itu. Perlakukan dia selayaknya istrimu." "Pernyataanmu menjebakku, Hana." Faiq menggeleng, dia tak percaya terjebak dengan ucapannya sendiri. "Karena itu yang seharusnya kamu lakukan." Pria itu menarik napasnya dalam-dalam. "Mas ...." "Kamu mau aku tidur dengan Aini? Baik akan aku lakukan, aku akan tidur dengannya mulai sekarang." Faiq turun dari tempat tidur, dan dengan perasaan gusar dia kelur dari kamar mereka. *** Aini melepaskan mukena dan melipatnya seperti biasa, lalu meletakannya di sofa tak jauh dari tempat tidurnya. Kemudian dia mendaratkan tubuhnya diatas tempat tidur ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar. "Ya, Mbok Min? Masuk aja, pintunya nggak saya kunci." Dia setengah berteriak. Namun yang berada diluar kamarnya tak kunjung membuka pintu, malah dia kembali mengetuk yang kali ini terdengar agak keras. "Masuh aja Mbok, saya nggak kunci kok," ucap Aini lagi. Namun tetap saja benda tersebut tidak lekas terbuka. "Mbok ih, biasanya juga langsung masuk ...." Dia bangkit dan segera mencapai pintu kemudian membukanya dengan cepat. Tapi sosok yang berdiri di depan pintu kamarnya malah membuatnya membeku. "M-mas?" katanya, dan dia tak punya kata-kata untuk diucapkan. Faiq mematung di depan pintu, dan diapun tak dapat berkata-kata. Kegusarannya semakin bertambah kala menatap wajah polos sang perawat yang kini telah berubah status menjadi istrinya. Ralat! Istri mudanya, dan pria itu mendengus kasar setiap kali mengingat hal tersebut. "Ma-mau apa mas kesini?" Akhirnya Aini buka suara. Faiq masih menatapnya dalam diam. "Mmm ...." "Hana menyuruhku tidur disini, dan dia sedang tidak bisa dibantah sekarang ini." Pria itu menerobos masuk. "Ap-apa?" "Tidak dengar ya? Hana menyuruhku untuk tidur disini, jadi ...." Dia menatap sekeliling ruangan itu. Paviliun disamping rumah yang awalnya sebagai tempat pavorit Farhana. Dia sering menghabiskan waktu di tempat itu ketika masih sehat, sekedar untuk membaca buku-buku yang disenanginya ataupun menuangkan beberapa ide. Yang sejak beberapa bulan belakangan menjadi tempat tinggal bagi Aini, sebagai perawat yang kini menjadi istri keduanya. Istri kedua. Bahkan membayangkannya saja dia tak pernah. "Ba-baik, mas bisa tidur di sana, dan aku di sini ..." Aini tergagap. "Atau mungkin di sofa, kalau mas mau." Lalu dia membenahi letak bantal dan selimutnya yang secara kebetulan baru saja diganti sore tadi oleh asisten rumah tangga mereka. Seperti wanita tua itu telah mengetahui apa yang akan terjadi malam ini. "Kau menyuruhku tidur di sofa?" Faiq bereaksi. "Ng ... tidak. Maksudku, mungkin aku yang tidur di sofa, dan Mas disini. Tidak apa-apa," jawab Aini, dan dia bicara terbata-bata. Rasa gugup tentu saja segera menguasai dirinya yang menyadari dia berada satu ruangan dengan seorang pria yang telah menjadi suaminya. Dan ini menjadi saat-saat yang mendebarkan baginya. Bagaimana tidak? Kali ini adalah pertama kali dirinya bersama seorang pria setelah perceraian dengan mantan suaminya beberapa bulan yang lalu. Dan ini rasanya aneh mengetahui ada pria asing di dekatnya. "Kenapa kau harus tidur di sofa? Bukankah ini kamarmu? Ini juga tempat tidurmu bukan?" "I-iya, tapi ... aku ta-takut," ucapnya dengan kepala tertunduk. "Takut?" Faiq mengerutkan dahi. "Bukankah kau pernah menikah sebelumnya? Kenapa harus merasa takut?" "Maksudku ... aku takut Mas merasa tidak nyaman dengan keberadaanku disini, di kamar ini." Aini mendongak. Faiq tertegun, dan dia menyadari ketidaknyamanan itu ternyata dirasakan juga olehnya. Dan posisi mereka sama dalam hal ini. Sama-sama serba salah, dan sama-sama tak menginginkan pernikahan ini. Hanya karena keduanya ingin melakukan hal terbaik bagi Farhana, maka mereka terpaksa melakukannya. "Tidurlah disini." Pria itu duduk di tepi ranjang. "Ayo kita buat kesepakatan?" katanya tiba-tiba. "Kesepakatan?" Aini mendongak. Pria itu menganggukan kepala, kemudian menepuk sisi kosong disampingnya. Aini tertegun, jelas jantungnya sedang berdegup sangat kencang sekarang ini. "Apa akan terjadi sekarang?" Batinnya. "Tapi aku belum siap." "Duduklah, aku tidak akan macam-macam kalau itu yang kau takutkan," ucap Faiq. "Aneh sekali, mantan janda takut sekamar dengan suami barunya?" Dia bergumam pelan. Akhirnya Aini mengalah, dan dia menuruti apa yang di katakan suaminya. "Kau tahu, ini sangat tiba-tiba dan aku belum terbiasa. Aku bahkan baru saja mengenalmu karena pekerjaanmu sebagai perawat Farhana. Tapi tahu-tahu kita terikat sebuah hukum pernikahan yang ... jujur aku menyebutnya dengan penuh keterpaksaan." "Tapi ini tetap saja pernikahan bukan? Aku tidak tahu apa yag akan terjadi nanti, tapi untuk saat ini aku masih menganggap bahwa Farhana adalah satu-satunya istriku." Faiq menjelaskan keadaan yang terjadi dengan begitu gamblang "Maaf, aku tidak bermaksud mempermainkan pernikahan karena hal ini terjadi memang karena permintaan Hana, kau sendiri tahu itu jadi ...." "Jadi intinya Mas mau mengatakan apa? Tidak usah berbelit-belit, langsung saja." Aini memotong perkataannya. "Kauu istriku ...." Faiq menatap wajah polosnya lekat-lekat. "Ya, lalu?" "Tapi aku tidak bisa melakukan kewajibanku sebagai suami kepadamu. Setidaknya tidak saat ini. Kau tahu, aku belum terbiasa denganmu, dan aku baru saja mengenalmu. Dan ini bukan hal yang mudah untuk aku laukan karena ...." Pria itu meracau tanpa jeda, namun dia berhenti saat melihat raut lega di wajah istri keduanya itu. "Aku mengerti, Mas." Aini menganggukan kepala, lalu dia bangkit dan berpindah ke sisi lainnya untuk membaringkan tubuh. "Akupun tidak terbiasa berada dalam satu ruangan dengan laki-laki seperti ini, dan aku juga ingin mengatakan kalau aku belum siap menjalankam kewajibanku sebagai seorang istri. Dan aku lega mendengarmu merasakan hal yang sama." Perempuan itu terkekeh. "Jadi posisi kita sama, hanya ingin membuat Mbak Hana merasa bahagia bukan?" lanjutnya yang masuk ke dalam selimut. Faiq menganggukan kepala. "Jadi tidak usah buru-buru juga karena mungkin saja kita sebenarnya tidak cocok. Tidak usah terlalu memikirkannya," katanya lagi, dan dia benar-benar merasa lega. "Benarkah?" Faiq seakan tidak percaya, tapi dia merasa lega juga. "Ya. Aku ... hanya memandang Mbak Hana. Aku tidak tahu apakah ini hal yang baik untuk dilakukan atau tidak, tapi karena Mbak Hana yang memintanya jadi aku hanya akan menurut saja. Dia harus dibuat bahagia, bukan? Siapa tahu dengan begini Mbak Hana akan sembuh? Walau kita tahu kemungkinannya tipis tapi aku percaya kalau mukjizat itu selalu ada." Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut perempuan itu membuat Faiq bungkam. "Mas boleh datang kesini walau hanya untuk membuat pikiran Mbak Hana tenang. Tidak apa-apa, aku akan menjaga rahasia." Aini menempelkan telunjuk di bibirnya. "Terimakasih, Aini." Faiq berucap. Dan perempuan itu hanya tersenyum, kemudian dia membaringkan tubuhnya di bawah selimut. "Tidurlah, Mas. Sudah malam," katanya, seraya membalikan tubuh untuk memunggungi suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN