Penghulu segera pergi setelah menyelesaikan ijab kabul yang tak direncanakan ini. Begitupun dua orang dokter yang mereka kenal, yakni dokter Gita dan dokter Firman selaku saksi dari kedua mempelai, yang ditunjuk oleh Farhana sendiri. Sementara wali nikah diambil alih oleh sang penghulu karena keadaan Aini sebagai yatim piatu.
Namun raut sendu masih menaungi pasangan baru tersebut, tidak tampak sebagai pengantin baru yang seharusnya bahagia karena telah dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Tentu saja, karena pernikahan ini sama sekali tidak mereka inginkan. Melainkan sebuah keterpaksaan belaka karena di latar belakangi permohonan seorang istri yang mungkin saja umurnya diperkirakan sudah tidak lama lagi.
"Aku mau pulang sekarang." Farhana menyingkirkan selimut yang menutupi sebagian besar tubuh lemahnya.
"Tapi Bu?"
"Mbak. Panggil aku mbak. Aku kakak madumu sekarang." Farhana menatap wajah sang perawat yang statusnya telah menjadi adik madunya sejak satu jam yang lalu.
"Mm ... Mbak." Aini merasakan tenggorokannya seperti tercekat, namun dia tak mampu menolak apa yang dikatakan perempuan itu. Ucapan Faiq selalu terngiang-ngiang di telinganya. Bahkan sebelum ijab kabul berlangsungpun pria itu masih saja terus memperingatkannya. Bahwa mereka harus menuruti apa yang dikataka Farhana, sekedar untuk membuatnya merasa senang di saat-saat terakhirnya yang mungkin akan segera tiba, seperti apa yang dikatakan dokter sebelum mereka mengambil keputusan besar dalam hidup masing-masing.
"Aku mau pulang sekarang, Mas." Farhana beralih kepada suaminya yang berdiri tak jah dari mereka.
"Kamu yakin? Keadaanmu masih seperti ini." Pria itu berjalan mendekat.
"Aku hanya ingin di rumah. Apapun yang terjadi rumah adalah tempat terakhir yang aku inginkan untuk menghabiskan waktu ... "
"Baiklah, kita pulang sekarang." Akhirnya pria itu menurutinya, dia sudah merasa tak kuat mendengar apapun yang mungkin akan dikatakan sang istri kepadanya.
Faiq menoleh kepada Aini, memberi isyarat kepada istri keduanya itu untuk mengurus beberapa hal. Yang langsung dimengerti oleh perempuan itu, dan dia segera melaksanakaannya.
***
Rumah terasa sepi seperti biasa, selain Mbok Mina sang asisten rumah tangga, tak ada lagi yang menyambut kepulangan mereka pada hampir petang itu.
"Mbak mau minum, makan, atau yang lainnya?" tawar Aini setelah dia membenahi selimut yang menutupi tubuh Farhana dari pinggang ke bawah. Memastikannya tidak merasa kedinginan yang kadang menyerangnya secara tiba-tiba.
"Tidak usah. Aku tidak berselera makan, kamu tahu itu." Farhana menolak.
"Tapi mbak harus makan, sebentar lagi minum obat. Setidaknya sedikit saja."
Fahana malah menatap wajah Aini lekat-lekat, perempuan yang dengan sengaja dia tarik masuk kedalam pernikahannya hanya karena dia khawatir akan meninggalkan suaminya sendirian jika saja benar umurnya sudah tidak lama lagi.
"Kamu ... lebih baik menyiapkan makan untuk Mas Faiq. Dia suamimu sekarang, aku serahkan tanggung jawab untuk mengurus segala keperluannya kepadamu," katanya setelah dia terdiam cukup lama.
"Tapi Mbak? Apa pak Faiq akan bersedia jika itu saya lakukan? Selama ini ...."
"Jangan panggil suamimu dengan sebutan Pak. Kamu bukan pegawainya lagi, tapi istrinya." Farhana sedikit terkekeh. Dia faham, perempuan itu tentu saja belum terbiasa, dan sudah dipastikan saat ini Aini sedang merasa gugup.
Siapa yang tidak? Tiba-tiba saja dia menjadi seorang istri dari pria yang awalnya sebagai suami dari perempuan yang beberapa bulan ini dirawatnya. Dengan cara dan jalan yang cukup mengejutkan.
"Mm ...."
"Mulai hari ini, siapkan semua kebutuhannya. Makanan, pakaian, dan apapun yang dia inginkan. Kamu pasti mengerti apa yang aku maksud."
Aini merasa tubuhnya seperti melemah, dia bahkan belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa dirinya kini telah menjadi seorang istri. Namun dalam waktu yang bersamaan dia juga harus menerima tanggung jawab untuk mengurus pria itu. Yang sebetulnya merupakan hal wajar yang biasa dilakukan seorang istri kepada suaminya. Namun karena situasinya yang serba mendadak seperti ini, semua hal biasa itu malah terasa berat untuknya.
Aini menghembuskan napas pelan seolah dia tengah menghadapi masalah yang sangat berat.
"Pergilah, siapkan makanan untuk Mas Faiq. Ini sudah waktunya dia makan," katanya seraya melirik jam dinding yang terdengar berdetak kencang.
"Ba-baiklah ...." Aini dengan suara lemah, dan dia segera bangkit untuk melakukan apa yang dikatakan sang kakak madu kepadanya.
***
"Apa yang harus saya lakukan mbok Min?" Aini mondar-mandir di dapur dengan piring yang berulang-ulang dia bersihkan. Tiba-tiba saja dirinya merasa gugup setengah mati.
"Ya siapkan meja makannya, Mbak." Perempuan paruh baya itu menjawab.
"Oh iya." Aini kemudian pergi ke ruang makan untuk merapikan meja, juga menata piring dan makanannya yang sudah dimasak oleh Mbok Mina..
"Terus habis ini apa lagi Mbok Min?" Dia kembali ke dapur.
"Ya panggil Bapak untuk makan."
"Ng ... kalau itu, Mbok aja deh. Saya nggak berani," ucap Aini, dan dia hampir saja merebut pekerjaan perempuan itu.
"Oh, tidak bisa. Yang istrinya Bapak itu kan Mbak Ai, masa saya yang panggil?" jawabnya lagi, yang memang telah mengetahui perihal pernikana kedua majikannya dengan perawat itu.
"Mbok? Kenapa ingetin saya itu terus? Saya jadi gugup kan."
"Kenapa gugup? Kan memang kenyatannya seperti itu? Sekarang tugasnya Mbak Ai yang mengurus Bapak. Bukankah itu yang ditugaskan Bu Hana? Saya hanya membantu."
"Ish, Mbok!"
"Sudah, cepat panggil Bapak dan ajak makan. Pak Faiqnya pasti diruang kerja kalau jam segini," katanya lagi yang kemudian meninggalkan Aini di ruangan itu.
Dan dengan merasa terpaksa perempuan itu akhirnya mengalah juga. Dia menyusuri rumah besar berlantai dua tersebut menuju ke ruang kerja suami barunya yang terletak di bagian belakang rumah.
Aini menarik dan menghembuskan napas beberapa kali sebelum mengetuk pintu yang tertutup rapat itu.
"Ya? Masuk." Terdengar suara dari dalam.
Aini menekan gagang pintu kemudian mendorong pelan benda tersebut. Lalu dia menyembulkan kepalanya sedikit.
"Maaf Pak. Eh, Mas." katanya, yang seketika membuat Faiq memalingkan pandangan ke arahnya.
"Ada apa?" Suara pria itu terdengar datar dan dingin. Ada nada tidak suka juga karena mendengar panggilan Aini kepanya.
"Makanannya sudah siap," ucap Aini, dan posinya masih seperti itu dengan tubuhnya yang berada dibaik pintu.
"Bapak, eh ... Mas mau makan sekarang?" lanjutnya, dan dia memberanikan diri untuk masuk.
Faiq kemudian melirik jam digital diatas meja kerjanya, memang sudah waktunya maka, dan dia juga sudah merasa lapar. Seharian memikirkan banyak hal membuatnya melupakan yang satu itu.
"Baiklah ...." Pria itu bangkit setelah membereskan pekerjaannya.
"Hana sudah makan?" tanyanya, dan dia berjalan kearah pintu dimana Aini berdiri membeku.
"Be-belum " jawabnya, dan dia sedikit terbata. Rasa gugup kembali menguasai manakala pria itu kini hanya berjarak beberapa langkah saja darinya.
"Kenapa? Kau belum memberi Hana makan?" Pria itu meninggikan suaranya.
"Bukan, Mbak Hana belum mau makan."
"Kenapa tidak memaksanya makan? Kau tahu dia harus serba di paksa, jika menuruti kemauannya terus kapan dia akan sembuh?"
"Bapak, eh Mas bilang... kita harus menuruti semua kemauan Mbak Hana agar dia merasa senang. Tapi kalau dipaksa seperti itu apa Mbak Hana akan merasa senang? Saya pikir dia akan merajuk dan terlebih lagi dia tetap menolak apapun yang kita berikan." Aini mengingatkan.
Faiq mendengus kasar, dan dia baru saja mengingatnya jika kondisi perempuan itu benar-benar sedang rentan saat ini.
Tanpa banyak bicara lagi akhirnya pria itu berjalan keluar ruang kerjanya mendahului Aini.
***
"Mas mau makan apa?" Perempuan itu meraih piring di depan Faiq dan mengisinya dengan satu sendok nasi.
"Apa saja aku bisa makan," jawab pria itu, lagi-lagi dengan nada datar.
Aini mengambil sepotong daging dan satu sendok sayuran, juga lauk pendamping lainnya, kemudian meletakan piring tersebut di depan pria yang sejak siang tadi telah berubah status menjadi suaminya itu.
Tanpa banyak bicara lagi dia segera melahap makanannya.
"Kalau begitu, saya ... permisi." Aini hampir saja memutar tubuhnya ketika Faiq bersuara.
"Mau kemana kau?" Dia menghentikan kegiatannya.
"Ke ... belakang." Aini menahan langkahnya.
"Kau sudah makan?" Faiq lantas bertanya.
"Belum, ini mau makan di belakang," jawab Aini dengan polosnya.
"Duduk." Namun Faiq menyentakan kepalanya.
"Maaf?"
"Aku bilang duduk! Mulai sekarang kau makan disini." Pria itu berujar.
"Ap-apa?"
"Duduk Ai. Mulai sekarang temani aku makan." Faiq menekan kata-katanya.
"Mmm ...."
"Aini!!" Pria itu berseru.
"I-iya." Aini segera duduk di seberangnya. Dan dia melakukan apa yang dilakukan suaminya.