Aini hampir melonjak karena terkejut ketika Faiq muncul di belakangnya. Terutama karena dirinya hampir selesai berpakaian saat Faiq menerobos masuk kedalam kamar.
Dia tak menyangka sedikitpun jika pria itu akan pulang saat masih sore, karena biasanya sang suami tiba pada malam hari ketika dirinya hampir saja beristirahat.
"Kamu, seperti melihat hantu saja?" Faiq bergumam seraya melepaskan kancing-kancing kemejanya.
"Mas bikin aku kaget. Datangnya nggak bersuara." Aini dengan cepat membenahi pakaiannya.
"Mas mau mandi?" Dia bertanya.
"Iyalah."
"Sudah minum?"
"Belum."
Aini berlari keluar kamar lalu menuangkan air dari galon yang memang selalu tersedia di paviliun tersebut, dan kembali dengan satu gelas besar air putih di tangan.
"Minum dulu." Dia menyerahkannya kepada Faiq, yang segera diterima oleh pria itu lalu menenggaknya hingga hampir habis.
"Hari ini tidak terlalu sibuk? Mas pulang masih agak siang?" Aini mencoba memulai percakapan.
"Tidak, makanya bisa pulang jam segini," jawab Faiq yang sudah melepaskan kemejanya, yang kemudian dia serahkan pada perempuan dia depannya.
"Aku siapkan dulu airnya, ya?" ucap Aini yang menghambur ke dalam kamar mandi.
Dia masih saja merasa gugup ketika pria itu ada dihadapannya, walau kini hampir setiap hari selama satu bulan belakangan Faiq selalu datang ke paviliunnya untuk mandi, bahkan dia lebih sering tidur disana. Terutama saat Faiq kini lebih sering menatap wajahnya, dia merasa tidak aman. Seperti pria itu tengah memperhatikan atau memindai keadaan.
"Sudah, tidak usah terlalu penuh." Lagi-lagi Faiq membuatnya terkejut. Kini diapun telah ada di belakangnya denga bertelanjang d**a dan hanya mengenakam celan pendek saja.
Jarak mereka sangat dekat, bahkan Aini merasa mereka terlalu dekat.
"I-iya, Mas." Aini tergagap.
"Kamu sudah mandi?" Faiq bertanya.
"Su-sudah Mas." Aini mendongak, mencoba menatap wajah suaminya, namun dia tak mampu. Pandangannya dia edarkan kemana saja asalkan tidak terfokus pada wajah tampan itu.
Tampan? Aini mengerutkan dahi.
"Sepertinya pikiran ini mulai kacau?" Batinnya.
"Ng ... a-aku mau... " Dia maju dua langkah, namun karena Faiq berdiri di dekat pintu mereka hampir saja bertabrakan.
"Maaf mas, aku mau keluar. Mm ... mau menyiapkan makanan." Aini tergagap.
Faiq bergeser ke samping untuk memberi jalan, dan akhirnya perempuan itu bisa keluar dengan selamat.
"Kenapa dia gugup begitu? Aku kan hanya bertanya? Tidak mengajaknya mandi bersama." Batin Faiq, dan dia segera membersihkan dirinya.
***
Makanan di meja telah tertata rapi, dan semuanya telah siap ketika Faiq keluar dalam keadaan sudah segar. Disambut Hana yang memang sudah menunggu disana untuk makan bersama.
"Kamu sudah lebih baik?" Pria itu duduk di kursi tengah sementara Hana berada di sebelah kirinya.
"Agak mendingan, Mas."
"Kemoterapinya?"
"Lancar, hanya saja rambutku mulai rontok."
"Benarkah? Apa itu efeknya?" Faiq mendongak ke arah Aini.
"Ya, itu efeknya." Sang istri muda menjawab.
"Hmm ... berarti obatnya mulai bereaksi?"
"Iya, kurang lebih begitu." Aini mengangguk.
"Apa harus di teruskan?" Faiq bertanya lagi.
"Tentu saja, karena obatnya mulai berefek, bisa jadi berefek juga terhadap sel kankernya. Dan itu bagus, apalagi kalau keadaan Mbak mulai membaik, itu bisa lebih baik lagi untuk melakukan pengobatan." Aini menjelaskan.
"Baiklah, lakukan yang manurut kamu baik," ucap pria itu.
"Iya mas."
Farhana menatap interaksi tersebut dalam diam. Mereka kini sudah mulai saling memberikan pendapat, dan itu bagus. Menjadi awal yang baik untuk dipertimbangkan bahwa hubungan keduanya akan semakin baik ke depannya. Dan semoga itu segera terjadi.
Seulas senyum terbit di sudut bibir Farhana, kemudian dia berdeham.
"Mas mau makan apa?" Aini meraih piring milik suaminya seperti biasa.
"Apa saja boleh." Pria itu menunggu.
Lalu Aini mengambil satu centong nasi, sayuran, dan sepotong daging kemudian dia serahkan kepada pria itu.
"Mbak mau apa? Sekalian aku ambilkan?" Lalu dia bralih kepada Farhana.
"Boleh ...." Perempuan itu menjawab.
"Memangnya Hana sudah boleh makan makanan seperti ini?" Perhatian Faiq tersit ketika melihat Aini diberi makanan yang sama denga merek.
"Boleh, asal kondisinya stabil makanan apa saja boleh." Perempuan itu mengambil makanan yang sama untuk Farhana.
"Terimakasih, Ai." Dan Farhana pun menerima makanannya.
"Ya, Mbak. Selamat makan." Aini pun duduk, dan mereka bertiga memulai acara makan pada sore itu.
***
"Terimakasi Ai, hari ini kamu mengurusku dengan baik seperti biasa," ucap Farhana setelah dia selesai minum obat yang di berikan Aini.
"Sama-sama, Mbak. Hari ini Mbak juga menuruti semua yang aku katakan dengan baik. Kalau setiap hari seperti ini, aku yakin mbak akan cepat sembuh." Aini membereskan gelas kosong dan bekas bungkusan obat.
Perempuan itu menganggukan kepala.
"Ada lagi yang Mbak butuhkan?"
"Tidak Ai, sudah cukup. Terimakasih." Farhana merebahkan kepalanya diatas bantal.
"Baiklah kalau begitu, Mbak istirahat lagi ya?" Aini membenahi selimut hingga menutupi dadanya.
"Baiklah, kamu juga ya?"
"Iya mbak." Perempuan itu bangkit kemudian keluar.
Sementara Faiq terdiam di sisi lain tempat tidur setelah menyimak adegan tersebut.
"Mas?"
"Ya?"
"Sana cepat!"
"Apa?"
"Susul Aini."
"Untuk apa?"
"Tidur lagi disana."
"Ck!! Sudah satu bulan ini aku tidur disana hampir setiap hari, tidak bolehkah aku malam ini tidur denganmu disini?" Faiq hampir saja merebahkan tubuhnya di samping istrinya.
"Mumpung kalian sudah mulai terbiasa mas."
"Terbiasa apanya?"
"Terbiasa berdekatan."
"Lalu?"
"Agar semakin terbiasa lagi ... sebaiknya kamu tidur disana lagi."
"Aku baru masuk kamar saja dia seperti melihat hantu. Duduk di dekatnya saja dia gemetaran seperti mau di terkam harimau. Mengesalkan. Memangnya aku semenakutkan itu ya?"
Farhana terkekeh.
"Dia hanya belum terbiasa, mungkin saja gugup."
Faiq memutar bola matanya.
"Jadi kalian belum melakukannya?" perempuan itu tertawa, namun Faiq tak menjawab.
"Mas! Kalian belum melakukan apa-apa sejak menikah?" Farhana memperjelas pertanyaannya.
"Kamu tahu, ini aneh sekali. Mendengar istriku bertanya apa aku sudah melakukan sesuatu dengan istri baruku?" Faiq tampak gusar.
"Kenapa aneh? Dia kan istrimu juga?"
"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, bagaimana bisa kamu berpikir dan bersikap seperti itu? Kebanyakan perempuan akan menolak pernikahan semacam ini apaun alasannya. Tapi kamu malah meminta dan mendukungku untuk melakukannya. Terbuat dari apa hatimu?" Faiq menatap wajah perempuan yang sudah sepuluh tahun dia nikahi.
"Apa kamu tidak merasa takut?" Lalu dia bertanya.
"Takut apa?"
"Posisimu tergantikan oleh Aini dan segalanya berubah diantara kita?"
"Kalau itu artinya membawa hal yang lebih baik kenapa aku harus takut? Lagipula ini yang aku inginkan bukan?"
"Bagaimana jika aku melupakanmu karena keberadaan Aini di sisiku?"
"Kamu tidak akan begitu. Aku tahu kamu tidak akan mungkin seperti itu. Hanya saja, perubahan itu mungkin saja ada, tapi kamu tidak akan mungkin melupakan aku."
"Kamu yakin?"
"Tentu saja, siapa yang menemanimu dari awal? Dan siapa yang selalu mendukungmu melakukan apapun hingga kini kita memiliki segalanya? Aku. Dan aku yakin kamu tidak akan lupa."
Faiq terdiam.
"Sekarang, pergilah kesana, dan biasakan diri kalian masing-masing."
"Hana ...."
"Jangan berdebat lagi , aku mau tidur."
"Tapi kamu sudah sendirian sejak aku menikahi Aini."
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja."
"Tapi Hana ...?"
"Panggil saja Mbok Min untuk menemani aku kalau kamu merasa khawatir."
Faiq masih terdiam.
"Mas! Pegilah," katanya lagi, yang kemudian diapun keluar dari kamar mereka.
***
Faiq masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu, pada waktu yang bersamaan Aini tengah berganti pakaian. Tentu saja membuat perempuan itu lagi-lagi terkejut, dan dia segera menarik piyamanya untuk menutup tubuh bagian atasnya yang nasih terbuka.
"Mas selalu datang tiba-tiba!" protesnya, dan dia mundur beberapa langkah.
"Aku kira kamu sudah tidur?"
Aini tak menjawab, namun dia terus berjalan mundur hingga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan pakaian tidurnya disana.
"Mas tidak menemani Mbak Hana malam ini?"
Pria itu sudah merebakan tubuhnya diatas tempat tidur.
"Sepertinya mas terlalu sering tidur disini." Aini keluar dari kamar mandi.
"Mas tahu, mungkin saja Mbak Hana akan merasa kesepian kalau mas terlalu sering tidur disini dan dia aka merasa ...."
"Aku mau tidur disana, tapi Hana malah mengusirku agar aku mendatangimu. Tapi setelah aku datang kemari, kamu juga mengatakan hal yang sama seperti yang Hana katakan. Aku punya dua istri tapi dua-duanya selalu menyuruhku pergi. Lalu apa yang harus aku lakukan?" Pria itu bangkit.
"Kalau misalnya punya dua istri ternyata sesulit ini, seharusnya aku menolak saja waktu itu, tidak usah menuruti keinginan Hana. Tidak usah peduli dengan kesedihan, dan keinginannya yang konyol seperti ini." Faiq turun dari tempat tidur dan bermaksud pergi.
Namun tanpa di duga Aini meraih tangannya dan menghentikan langkahnya.
"Aku hanya merasa tidak enak." Perempuan itu berujar.
"Mbak Hana cenderung lebih membutuhkanmu dari pada aku. Terlebih lagi, aku memang belum merasa terbiasa denganmu. Mas tahu, tidak mudah menghadapi pernikahan baru seperti aku yang pernah gagal berumah tangga sebelumnya. Aku selalu merasa takut berbuat sesuatu sehingga dapat mengecewakan Mas sebagai suamiku. Apalagi posisiku sebagai istri kedua, dan itu tidak mudah. Menjadi orang ketiga yang hadir dalam rumah tangga seseorang membuatku takut untuk melakukan sesuatu. Yang terpenting aku takut menyakiti Mbak Hana, walaupun dalam hal ini, dialah pencetus pernikahan kita."
Faiq memutar tubuh, lalu menatap wajah Aini yang memang mulai selalu hadir dalam hari-harinya belakangan.
"Kamu tahu, sesulit apa aku berusaha menerima keadaan ini? Apa kamu juga tahu, jika akupun sama tak terbiasa dengan situasi seperti ini?" Dia mulai berbicara.
"Aku bukan orang yang mudah bergaul. Apalagi dengan hubungan semacam ini. Aku hanya terbiasa hidup dengan Hana sejak aku kuliah, dan dia menjadi satu-satunya perempuan yang berada di dekatku dalam kurun waktu lebih dari sepuluh tahun belakangan ini. Aku tidak terbiasa hidup dengan orang lain selain Hana, tapi sekarang? Boleh aku katakan jika aku terpaksa harus juga hidup denganmu? Karena aku yakin itu juga yang kamu rasaka tentang aku. Kita dua manusia yang terpaksa harus saling membiasakan diri. Karena seorang Hana."
"Dan apakah aku harus melakukan segalanya seperti Mbak Hana melakukannya denganmu?"
"Tidak tahu, apakah kamu mau?"
Aini terdiam.
"Aku ... belum berniat melakukannya hanya saja ... biarkan saja aku untuk membuat diriku terbiasa dulu denganmu. Dengan tidak selalu menyuruhku untuk kembali kepada Hana saat aku mendatangimu. Karena penolakan Hana saja sudah cukup membuatku merasa tak diterima lagi."
"Mas ... " kini Aini yang mendekat.
"Aku merasa dia mulai menjauhiku. Mungkin niatnya bagus, agar aku lebih dekat kepadamu tapi ... hal itu malah membuatku merasa seperti dia sedang menolakku sekarang ini. Ditambah sikapmu yang selalu terlihat segan kepadaku, seperti aku ini bukan siapa-siapa bagimu."
Aini menggelengkan kepala.
"Tidak begitu, aku hanya masih belum terbiasa. Sama sepertimu."
"Kita memang merasakan hal yang sama, bukan?" Pria itu berujar.
Kini Aini menganggukan kepala.
"Jadi ... apa yang harus aku lakukan sekarang?" Faiq bertanya lagi.
"Ng... Entahlah, mungkin... Berusaha untuk lebih saling mengenal?"
"Saling mengenal?" Faiq terkekeh. "Seperti remaja di sekolah baru, dan bertemu dengan teman baru?"
"Semacam itu lah ... " Aini mundur lalu naik ke tempat tidur.
"Mungkin kita harus membicarakan banyak hal. Selama ini kita hanya saling bertanya seperlunya, tanpa ada pembicaraan lain."
"Mungkin." Faiq memutar ke sisi lain tempat tidur, kemudian melakukan hal yang sama.
"Mulai sekarang bicaralah kepadaku, tanpa merasa takut atau tidak enak," lanjutnya.
Aini mengangguk lagi.
"Ini seharusnya menjadi hubungan yang baik bukan? Karena Hana sendiri yang meminta kIta melakukannya, dan merestui pernikahan ini." Faiq merebahkan tubuhnya.
"Begitulah."
"Jadi kenapa kita harus seperti orang lain?"
"Mas benar."
"Mulailah menjadi teman bicara untuk saling mengenal, aku rasa itu lebih baik."
"Baiklah ... Sekarang bicarakan apapun kepadaku. Agar kita terbiasa."
Dan dua sejoli yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan ini mulai mebicarakan banyak hal. Mereka bercerita tentang apapun yang telah dilalui. Dimulai dari bercerita tentang masa sulit, masa tenang, masa bahagia, dan keadaan yang tidak terduga seperti sekarang ini. Yang membuat mereka menjadi lebih terbuka, dan saling mengenal satu-sama lainnya. Hingga tak terasa waktu kian larut, dan keduanya terlelap bersama, bahkan hampir saling berpelukan.