Status

1685 Kata
"Oh iya, ..." Faiq memutar tubuh saat dia hampir saja masuk kedalam mobilnya. "Nanti sore kita ada undangan tasyakuran seorang teman," lanjutnya, seraya menyugar rambut hitamnya yang berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi. "Ya?" Aini merespon. "Kamu dan Hana bersiap-siap ya? Begitu aku sampai kita langsung pergi." "Iya Mas." "Mmm ...." Pria itu menatap istri mudanya selama beberapa saat. "Ada lagi?" tanya Aini yang sedikit mengangkat ujung sebelah alisnya. "Tidak. Mau bilang sesuatu tapi lupa," jawab Faiq kemudian berbalik lagi. "Ish!" "Pergi dulu Ai, janga lupa makan." Faiq masuk ke dalam mobil kemudian segera pergim "Ya Mas, hati-hati. Eh, apa katanya barusan?" Aini mengerutkan dahi sambil menatap mobil hitam milik suaminya hingga mesin beroda empat itu menghilang di balik pagar. *** "Mbak tahu nanti sore ada undangan tasyakuran?" Aini menyisir perlahan rambut Farhana yang semakin menipis akibat kerontokan parah yang dialaminya karena efek kemoterapi yang dia jalani. "Tahu." Farhana menatap dirinya di cermin. "Tasyakuran apa?" Aini bertanya. Mungkin kakak madunya tahu perihal acara yang akan mereka datangi sore nanti? "Kalau tidak salah empat bulanan." Farhana pun menjawab apa yanh diketahuinya. "Oh ya? Siapa?" "Temannya Mas Faiq." "Mbak kenal?" "Tidak terlalu, tapi tahu sedikit." "Hmm ...." Aini bergumam pelan. "Memangngnya kenapa?" Perempuan itu menatap adik madunya lewat pantulan di cermin. "Aku nggak harus ikut kan?" Aini ragu, tapi dirinya memang tak ingin menghadiri acara seperti itu. "Ya harus lah. Nanti siapa yang akan menemaniku kalau kamu nggak ikut?" Namun Farhana menolak permintaannya. "Mbak yakin mau ikut juga?" "Ya. Itu kan undangan. Kita menghargai yang mengundang jika datang, dan aku merasa baikan untuk pergi. Menurutmu bagaimana keadaanku? Kalau kurang baik aku tidak akan pergi, mungkin kamu bisa menemani Mas Faiq?" "Ap-apa? Nggak. Keadaan Mbak baik kok, bisa kalau cuma pergi untuk menghadiri undangan tasyakuran. Asal jangan terlalu kecapean saja." Aini sedikit tergagap mendengar permintaan kakak madunya. "Baiklah, kamu juga ikut kan?" "Apa harus?" "Untuk menemaniku, nanti di sana Mas Faiq pasti akan sibuk bertemu beberapa orang kenalannya." Aini terdiam. "Nanti kita siap-siap setelah Ashar ya, Ai?" "I-iya mbak." Aini pun melanjutkan pekerjaannya. "Semakin hari rambutku semakim rontok ya, Ai?" Farhana mengalihkan topik pembicaraan. "Cuma efek mbak." "Apa aku akan botak?" Lagi, perempuan itu menatap dirinya di cermin. Aini terdiam lagi. "Apa aku akan jadi jelek?" Dia beralih menatap madunya. "Nggak mungkin. Mbak nggak akan jelek. Sekarang saja Mbak masih sangat cantik." Aini memegangi pundak Farhana sambil sedikit menunduk. "Kamu membual, Ai!" Farhana terkekeh. "Serius, Mbak. Buktinya Mas Faq tidak bisa berpaling meski keadaan Mbak seperti ini. Dan harus aku katakan mungkin saja Mbak akan mengalami kebotakan suatu hari nanti, tapi Mbak akan menjadi wanita botak paling cantik di dunia." Fahana tertawa agak keras. "Siapa yang mengajarimu membual seperti itu Ai? Apa Mas Faiq yang mengajarimu? Dia menyuruhmu mengatakan omong kosong itu? Lalu apa lagi yang diajarkannya selain membual?" Aini menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Oh, Aku bersyukur mengikuti kata hatiku untuk memilihmu menjadi maduku. Kamu selalu melakukan hal baik untukku." Farhana sampai menyeka sudut matanya yang basah akibat tertasa terlalu keras. Dan menurutnya, perkataan yang Aini lontarkan sangatlah lucu. "Mbak pantas mendapat perlakuan baik dari siapapun. Bukan hanya dariku," ucap Aini yang kembali menyunggingkan senyum. "Kamu benar, Ai." "Soal apa?" "Kita ini aneh." "Aneh apanya?" "Hubunga kita sebagai madu yang seperti ini. Kalau orang lain tahu mereka akan melihatnya dengan pandangan tidak logis. Bahkan suami kita pun menganggapnya begitu. Dia tak percaya aku bisa mendukung dan menyemangatinya untuk menikah lagi." Farhana mengingat ucapan Faiq tempo hari. "Maka tidak usah sampai orang lain tahu," ujar Aini sambil merapikan pakaian Farhana. "Soal rumah tangga ini?" Perempuan itu kembali menatapnya. "Iya." "Kamu tidak mau orang lain tahu bahwa kita hidup dalam kondisi poligami seperti ini?" Farhana memperjelas kalimatnya. "Ya." "Kenapa? Kamu malu berstatus sebagai istri muda dari seorang pria?" "Harus aku akui iya, tapi bukan itu masalahnya." "Lantas apa?" "Karena mereka tidak akan pernah mengerti. Mereka akan langsung menghakimi tanpa tahu latar belakang apa yang menyebabkan ini terjadi. Mereka akan membuat kesimpulam sendiri." "Dan kamu takut akan dituduh sebagai orang ketiga?" "Seperti itulah." "Tapi aku memberi ijin pernikahan ini bukan?" "Orang-orang tidak akan berpikir ke arah sana." Farhana menatapnya lama-lama. "Jadi kamu mau statusmu disembunyikan?" "Kalau bisa. Lagi pula kita tidak pernah kemana-mana kan?" Farhana terdiam lagi. "Aku tidak kenal siapa pun dan tidak pernah pergi ke manapun. Jadi sepertinya ini mudah untuk dijalani. Lagipula, bukakan pernikahan ini juga tidak ada yang tahu selain orang rumah dan dokter Gita juga dokter Firman?" "I-iya, tapi ...." "Itu cukup, Mbak. Hanya di rumah ini dan semuanya berjalan seperti biasa." "Baiklah, kalau itu maumu." Farhana memutuskan untuk mengalah, membuat Aini tersenyum lega. *** "Nah, selesai." Aini membubuhkan perona pipi di sentuhan terakhirnya pada wajah Farhana. Dia sedikit memberikan riasan pada perempuan itu untuk menghadiri undangan acara tasyakuran seperti yang dikatakan Faiq tadi pagi. "Apa aku tidak kelihatan jelek?" Farhana menatap cermin. "Tidak. Mbak kelihatan cantik, dan warna bibir ini membuat wajah Mbak terlihat lebih segar." "Kamu pandai berdandan Ai?" "Cuma bisa sedikit." "Lalu kenapa kamu tidak pernah berdandan?" "Malas." Aini terkekeh. "Lagipula aku tidak pergi kemana-mana kan? Untuk apa aku berdandan?" "Bahkan berdandan untuk suamimu pun kamu malas?" "Suamiku seharian kerja diluar, dan dia kembali saat hari sudah malam. Bahkan terkadang kami bertemu saat aku sudah tidur, lalu untuk apa aku berdandan? Dia tidak akan lihat perbedaannya." "Hanya untuk menyenangkan hatinya?" Aini sedikit berpikir. "Apa Mas Faiq senang kalau Mbak berdandan?" "Dia tidak pernah mengatakannya tapi dia selalu tersenyum kalau aku berdandan dulu." "Benarkah?" "Bahkan saat mau tidur?" "Tidak juga." "Ya sudah. Untuk apa juga aku berdandan?" "Ish, tidak maukah kamu menarik perhatian suamimu?" "Kenapa aku harus menarik perhatian Mas Faiq?" "Ya karena dia suamimu." "Iya kenapa?" "Agar dia tergoda." Aini terdiam. "Kamu tahu apa maksudku, Ai." "Mbak selalu membicarakan masalah itu, aku jadi malu." Wajah perempuan itu seketika memerah. Namun, malah membuat Farhana tertawa terbahak-bahak. "Kenapa kamu lucu sekali, Ai? Kamu seperti anak perawan yang belum pernah mengalami pernikahan sebelumnya." "Aku hanya tidak terbiasa membahas hal sacam itu, dan memilih untuk tidak membicarakannya. Karena itu sangat membuatku malu." Farhana tertawa lagi. "Kenapa seru sekali? Kalian sedang membicarakan apa?" Faiq tiba-tiba saja masuk kedalam kamar. "Mas sudah pulang?" Dua perempuan itu bergantian mencium punggung tangannya. "Ya, bukankah kita akan menghadiri undangan sore ini?" "Iya Mas, dan aku sudah siap. Lihat, Aini mendandaniku. Apa aku kelihatan cantik?" Farhana memamerkan penampilannya pada sang suami. Faiq mengalihkan pandangan kepadanya. "Ya, kamu cantik sekali," pujinya kepada perempuan itu, dan dia tersenyum. "Lihat Ai? Mas Faiq senang melihatku berdandan, dan dia pasti juga akan merasa senang kalau kamu berdandan juga." "Apa?" Faiq sedikit mengerutkan dahi. "Tadi kami sedang membicarakan soal ...." "Mbak udah selesai kan? Aku ganti baju dulu ya? Aku nggak lama kok, cuma sebentar." Aini memotong percakapan, kemudian menghambur keluar dari kamar. "Jangan lupa pakai kerudung yang aku berikan tadi ya, Ai?" Farhana tertawa lagi. "Ada apa?" Faiq terlihat menjengit. "Dia hanya malu." "Malu kenapa?" "Karena kamu." "Aku kenapa?" "Tanyakan sendiri kepadanya." "Hmm ...." Faiq sedikit menggumam. "Mandi sana. Nanti kita terlambat," ucap Farhana yang membuat pria itu bergegas membersihikan diri. *** Dan perjalanan itu tidak berlangsung lama, dalam dua puluh menit saja mereka tiba di sebuah jalan perumahan kelas menengah. "Rumahnya di sekitar sini?" Farhana yang duduk di depan menatap keluar mobil. "Keterangan di petanya begitu," jawab Faiq yang sesekali mencuri pandang lewat kaca spion kepada perempuan di kursi belakang, yang hari itu tampak berbeda dari biasanya. Aini mengenakan pakaian semacam tunik panjang dengan kerudung berwarna abu-abu. Dengan hiasan bunga kecil sebagai pemanisnya. "Ai kelihatan cantik 'kan, dengan pakaian itu? Aku memberikannya karena memang tidak pernah aku pakai." Farhana menyadari gerak-gerik suaminya. "Umm ... ya, dia memang terlihat berbeda dari biasanya," jawab pria itu yang kemudian berdeham. "Cantik 'kan?" goda Farhana. "Ng ...." Faiq menggaruk tengkuknya untuk mengalihkan perhatian. "Menurut kamu dia cantik begitu atau seperti biasa?" Farhana kemudian bertanya. "Sama saja," jawab Faiq, kemudian berdeham lagi. "Benarkah?" "Hmm ...." Dia bergumam. "Ai, kata Mas Faiq kamu cantik." Fahana dengan spontannya, membuat pria dibalik kemudi seketika terbatuk saking terkejutnya. "A-apa?" Aini tersadar dari lamunannya. "Kata Mas Faiq kamu cantik mau dandan atau pun tidak." Perempuan itu termangu di belakang sana. "Jadi kamu tidak usah capek-capek dandan kalau memang malas," ucap Farhana lagi. "Mm ... Iya, Mbak." Hanya kata itu yang mampu Aini ucapkan karena terlalu sibuk menahan debaran di d**a. Semetara pria di depan menggelengkan kepala dengan wajah sedikit merona. Situasinya cukup memalukan di dalam mobil ini ketika istrinya tengah berperan sebagai mak comblang diantara dirinya dan istri mudanya itu. "Eh, tunggu. Sepertinya aku hafal daerah ini?" Aini menatap jalan yang kini mereka lewati. Sebuah pemukiman yang cukup familiar baginya, karena pernah hidup disana selama beberapa tahun. "Kamu pernah kesini sebelumnya?" tanya Faiq, dan dia melirik sekilas. "Aku bahkan pernah tingga disini," jawab Aini. "Oh ya? Berarti kamu tahu dong tempat tasyakurannya?" "Mungkin. Coba, dimana alamatnya?" "Ini." Faiq menyerahkan ponselnya kepada perempuan itu. Seketika saja mata Aini terbelalak demi membaca tulisan di layar ponsel. "Alamat ini .... " "Kamu hafal? Di sebelah mana?" "Di ... Ini... Alamat... rumahku yang dulu, Mas." ucap Aini dengan suara bergetar. "Maksudnya?" Dua orang di depan secara bersamaan. "Rumahnya di depan ...sedikit lagi. Nah yang itu," tunjuknya, pada sebuah rumah di depan sana yang terlihat ramai, dan Aini membeku. "Kamu bilang tadi rumahmu dulu?" Farhana menoleh. "Rumah ... mantan suamiku, Mbak." "Apa?" ucap dua orang di depan lagi. "Tapi mungkin pemiliknya beda sekarang. Bisa saja rumah itu sudah dijual kepada orang lain, kan? Soalnya dulu mas Arman pernah bilang kalau dia akan menjual rumah untuk dibagi dua sebagai harta gono-gini." "Arman?" Faiq bersuara. Aini menganggukan kepala. "Dan apakah kamu sudah mendapatkan hakmu?" Pria itu bertanya lagi. Aini kini menggelengkan kepala. Faiq mematikam mesin mobilnya, lalu dia menyandarkan punggungnya. "Sepertinya dia memang tidak menjualnya karena ... dia masih berada disana, di rumah itu." ucapnya. "Tidak mungkin." "Dan coba tebak siapa nama temanku?" "Siapa?" "Arman. Dia merupakan orang dari bagian art design yang bertugas menangani rancangan gambar dan motif lay out buku atau apapun yang akan kami cetak." Dua perempuan di dekatnya menarik napas secara bersamaan. "Dan aku pastikan, Arman yang berada di dalam sana adalah Arman mantan suamimu," ucap Faiq dengan begitu meyakinkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN