11- Tentang Nenek dan Jun

1232 Kata
Jena mengetuk pintu kamar di depannya dengan pelan. Tidak mendapat balasan, dengan cepat ia segera memutar gagang pintu dan mendorongnya. Jena memasuki kamar bernuansa teduh itu. Kamar itu adalah kamar neneknya. "Nek ..." Jena mengedarkan tatapannya dan mencari keberadaan sang Nenek. Kemudian ia melihat neneknya tengah duduk di dekat jendela. Tampak termenung menatap halaman rumah mereka lewat kaca jendela. "Nek, lagi ngapain?" Jena mendekati neneknya itu sembari mengumbar senyum lebar. Sang Nenek masih diam, tak merespon apapun perkataan Jena. Dengan segera Jena melangkah mendekati neneknya itu. Ketika ia ada di samping kursi neneknya, Jena berjongkok dan menggenggam lembut tangan neneknya itu. "Nek ...," panggilnya lagi. Kali ini neneknya menoleh, kemudian menatap Jena. Neneknya tersenyum lebar, membalas sentuhan tangan Jena. "Andjani ...," panggil neneknya. Jena terkekeh. "Nenek selalu panggil aku dengan nama itu," ucapnya pura-pura kesal. Kemudian Jena membenarkan helaian rambut sang Nenek yang terurai. "Aku Jena, Nek. Jena gak tahu siapa Andjani, tapi Jena yakin dia pasti cantik banget." Jena terkekeh di akhir kalimatnya. Neneknya ikut tertawa di samping Jena. "Andjani memang cantik. Dia wanita paling cantik sedesa kami." Lalu Neneknya menyentuh tangan Jena lembut. "Kamu Andjani," sambungnya dengan tatapan teduh seperti biasanya. Ia sentuh lagi tangan Jena yang menggenggamnya. Jena tertegun mendengar perkataan neneknya itu. Sang Nenek mengidap penyakit Post Traumatic Stress Disorder sehingga sering sekali mengatakan hal yang tidak ia dan keluarganya mengerti. Bahkan ketika kambuh, Neneknya akan mengamuk dan menangis sangat keras sepanjang hari. Dulu saat Jena masih kecil, bahkan ia pernah didorong hingga kepalanya terbentur meja oleh neneknya. Sang Nenek jika sedang mengamuk memang sangat menyeramkan. Maka dari itu ia selalu berhati-hati dalam berbicara. Karena Jena tahu, hal itu neneknya lakukan untuk melampiaskan rasa sedih dan traumanya ketika mengingat kejadian mengenaskan yang pernah neneknya itu lihat di masa lalu. Jena tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu itu. Pun tak tahu siapa sosok perempuan bernama Andjani yang sering neneknya panggil saat melihat wajah Jena. Yang ia tahu, seluruh keluarganya pada akhirnya memaklumi apa yang menimpa sang Nenek. Pada akhirnya Jena pun menerima semuanya yang neneknya katakan. Termasuk saat memanggilnya dengan nama Andjani. "Jen, Nenek jangan lupa nanti disuapin, ya." Jena tersadar dari lamunannya, lalu menoleh ke arah pintu dan menemukan Mamanya tengah berdiri di depan pintu. Mamanya tersenyum dari celah pintu yang tidak ia tutup rapat itu. "Kamu juga ganti baju terus makan, Jen," sambung Mamanya lagi. Setelah Jena mengiyakan, mamanya beranjak dan pergi dari sana. Bahkan Jena lupa kalau ia belum mengganti seragam OSIS-nya. Jena kembali menatap Neneknya yang ternyata masih memandangnya. "Nek, kita makan, yuk." Jena tersenyum lebar. Nawang, Nenek Jena itu hanya tersenyum dan mengangguk. Berikutnya, Jena mengangguk senang melihat neneknya itu mengiyakan ajakannya. Dengan senang ia beranjak dari jongkoknya dan berdiri di samping kursi. Jena menjulurkan tangannya di depan neneknya yang langsung disambut oleh sang Nenek. Gadis itu melangkah perlahan memapah tubuh neneknya yang sudah renta itu menuju tempat tidurnya. "Nenek tunggu di sini sebentar, nanti Jena ke sini lagi." Nawang hanya mengangguk pelan dan setelah itu ia melihat Jena sudah berjalan menjauh ke luar dari kamarnya. Nawang tersenyum lebar. Kini tangannya mengeluarkan selembar foto yang ia sembunyikan sedari tadi. Foto itu ia usap pelan dan ia pandangi seksama. Foto yang telah usang karena diambil puluhan tahun yang lalu. Foto itu ... adalah foto kakaknya. *** Jun tengah terbahak keras-keras membaca isi grup chat milik gengnya. Tadi Rehan baru saja mengirimkan video lucu ke grup chat mereka, cowok itu memang biasanya mengirimkan banyak video lucu sebagai hiburan untuk teman- temannya itu. Apalagi selera humor Rehan dan Jun itu sama, maka hal yang menurut Rehan lucu, tentu saja Jun juga akan menganggapnya lucu. Jena Mustika: Kocak! Bisa gitu ih, parah wkwk Syafina Putri: Parah! Masa orang itu gak sadar sih mau dijeburin ke kolam lol Karina Kartikasari: Wkwk ada- ada aja "Anjir!" Jun masih terbahak keras di dalam kamarnya. Cowok itu duduk di kursi depan meja belajarnya, dengan lampu belajar yang menyala terang. Tadinya ia hendak belajar dan mengerjakan tugas mata pelajaran Ekonominya, namun malah tidak jadi saat membuka ponselnya. Memang ya, ponsel itu membuat orang banyak menunda pekerjaannya. "Jun ..." Jun hampir terjungkal dari kursi belajarnya ketika mendengar panggilan itu. Ia dengan cepat menyembunyikan ponselnya ke dalam sela buku di atas mejanya. Kemudian tersenyum kikuk memandang ibunya yang ia tidak tahu sejak kapan telah berdiri di ambang pintu kamarnya. "Iya, Bu?" Jun menyengir hingga deretan giginya tampak. Ibunya menggelengkan kepalanya pelan menatap prihatin putra bontotnya itu. "Kalau lampunya gak dipakai, matiin. Hemat listrik." Jun terkesiap mendengar perkataan ibunya. Dengan cepat ia matikan lampu belajar di depannya itu. Kemudian kembali memasang cengiran pada ibunya. "Udah, Bu." Utami, Ibu Jun itu kini masuk sepenuhnya ke dalam kamar putranya itu. Ia mendekati anak bontotnya itu dan menepuk punggungnya dengan lembut. "Kalau gak mau belajar lagi, kamu bisa istirahat, nak. Udah malam," ucapnya dengan lembut. Jun mengangguk dan tersenyum memandang ibunya. Kini gantian Jun yang menepuk lengan ibunya. "Gak, kok. Nanti Jun sambung belajarnya. Ibu tenang aja." Utami tersenyum, lalu melangkah menuju tempat tidur yang biasa ditempati Jun itu. Wanita itu duduk di atasnya. Lalu seiring Jun membalik badannya untuk menatap ibunya, Utami kembali membuka suaranya, "Ibu dengar kalau Jena pingsan. Gimana keadaannya sekarang?" Jun mengerjap pelan mendengar pertanyaan ibunya itu. Kemudian tersenyum dari tempatnya duduk itu. "Iya, Bu. Tapi Jena udah baik-baik aja, kok," sahutnya. Kemudian ia melirik air muka ibunya. "Ibu tahu dari Tante Marlina?" Utami menatap putranya itu dan mengangguk berulang kali. "Iya. Marlina tiba- tiba bilang kalau Jena pingsan di sekolah, jadinya Ibu ikut panik. Tapi syukurlah kalau Jena udah gak apa-apa," jelasnya panjang. Lalu ia menatap putranya itu dengan serius sembari melanjutkan, "Kamu harus selalu jaga Jena, Jun." Jun mengangguk. Mendengar Jena pingsan setelah sekian lamanya, pasti akan membuat siapapun sangat khawatir. Entah itu orangtua Jena atau bahkan Ibu Jun sendiri. Jena bahkan sangat dekat dengan keluarganya, dan sering main ke rumah mereka. Terutama dengan kakaknya. Jena beruntung memiliki orang- orang yang sangat menyayanginya. "Maafin Jun, Bu," ucap Jun tiba-tiba. Utami terkesiap kecil. Ia tak tahu mengapa putranya itu tiba-tiba meminta maaf padanya. "Kenapa minta maaf, Nak?" Jun tersenyum sedih, lalu menunduk menatap jari-jari kakinya. "Jun udah lengah jaga Jena. Dia bilang dia pingsan karena waktu itu Jun kasih tumpukan buku banyak sama Jena." Jun masih tersenyum sedih. Ia belum berani mengangkat kepalanya. "Padahal waktu itu Jun cuma bercanda doang. Gak tahu kalau Jena bakal pingsan lagi." Utami terkesiap. Ia melihat bagaimana Jun sangat merasa bersalah. Lalu ia menyentuh tangan Jun dengan lembut, membuat putranya itu mendongak membalas tatapannya. "Kamu gak salah apapun, jadi gak perlu minta maaf," ucapnya dengan lembut. Utami memandangi putra bontotnya yang kini sudah beranjak besar dan makin tampan itu. "Ibu pikir Jena juga bakalan nolak permintaan maaf kamu. Karena kamu gak salah apapun." Kemudian ia mengelus dahi putranya itu sembari menyambung kalimatnya. "Jena pingsan itu bukan salah kamu. Ingat?" Jun tersenyum dan mengangguk. Lalu ia menggenggam telapak tangan ibunya. "Iya, Bu." "Nah, maka dari itu, kamu harus makin gencar jagain Jena. Ikutin dia ke mana pun dia pergi. Jaga Jena, Jun." Jun mengangguk untuk ke sekian kali. "Kamu harus ingat apa yang udah keluarganya Jena kasih sama kita." Utami menambahkan. Jun terkesiap. Tentu saja Jun ingat. Ia ingat semua yang sudah keluarga Jena berikan pada keluarganya. Jun kembali mengangguk. Kemudian dengan tersenyum lebar, cowok itu membuka suaranya. "Ibu tenang aja, Jun akan selalu jagain Jena. Apapun yang terjadi, akan aku pastikan Jena dalam keadaan baik-baik aja." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN