Melindungi

1205 Kata
Glen dan Lina berjalan menuju ruang BK. Tak ada lagi jalan dalam menyelesaikan masalah selain menuju ruang BK. Glen pun sudah menghubungi Anggi serta Bian. Mereka sudah ada di ruang BK. Lina sendiri hanya bisa tertunduk malu tak mau memandangi Glen. Sampai di sana guru BK Ibu Indira sudah menunggu dengan Anggi serta Bian. "Silakan duduk Lina, Glen biar kita selesaikan masalah ini." Tatapan wanita berusia 30 tahun tersebut lalu tertuju pada Lina. "Jadi Lina kamu tahu kenapa kamu ada di sini, Anggi dan Glen tidak nyaman dengan postingan kamu yang memuat kabar tidak benar itu jatuhnya fitnah loh. Anggi sudah jelaskan sama saya dan mereka berdua minta postingan kamu tentang mereka dihapus. Kamu juga diminta untuk memberikan klarifikasi. Kamu bisa lakuin itu?" Lina mengangguk lemah. Indira membuang napas kasar. "Kenapa kamu memuat berita seperti itu? Apa kamu punya masalah sama mereka berdua?" Lina menggeleng. "Lain kali jangan nyebar berita hoax. Itu bisa menimbulkan banyak kerugian entah itu kamu atau orang lain dan sebagai gantinya pointmu akan dikurangi." "Saya minta maaf Bu, saya janji nggak akan ngelakuin hal itu." Lina berucap dengan nada minta dikasihani. "Kamu nggak usah minta maaf sama saya, minta maaf sama Glen dan Anggi. Kamu punya masalah sama mereka." Kali ini Lina melihat pada Anggi. Dia meraih tangan gadis itu dan dengan memelas dia berucap, "Maafkan aku ... aku salah." "Aku maafin kamu asal jangan ngelakuin hal itu lagi." Anggi menjawab cepat. Dia juga kasihan akan Lina yang tampak menyesal. Lina kemudian melihat ke arah Glen. Beda hal dengan Anggi, pemuda itu menunjukkan ketidaksukaan pada gadis yang duduk di sampingnya. "Glen, aku minta maaf." Dari suaranya Lina agak ketakutan. Ogah sebenarnya tapi disebabkan bukan hanya dia saja yang berada di tempat itu. "Iya, awas aja kalau lo ngelakuin hal yang sama. Gue nggak akan maafin lo!" Kali ini Lina bisa bernapas lega. Dihapusnya air mata yang berada di pipi mencoba untuk tersenyum namun tetap saja Lina terlalu lega. "Baiklah Lina kau bisa keluar, Anggi dan Bian juga. Lina lakukan klarifikasi dan hapus postingannya secepat mungkin. Kecuali kamu Glen tetap di sini." Glen yang beranjak mendadak berhenti. Dia kembali duduk di kursinya. "Gimana kabarnya? Sudah lama kita tidak berjumpa," "Baik saja Bu, saya lagi sibuk sama tugas sekolah." Glen membalas dengan enteng. Indira tersenyum. "Tapi saya dengar kamu sering bolos. Masih merasa nggak nyaman? Pak Bima nggak ngajar di kelas kamu lalu kenapa kamu bolos dan nggak masuk sekolah?" "Saya hanya ingin menghabiskan waktu saja kok bu," sahut Glen memberi alasan. "Tapi ini sudah semester dua loh, sudah saatnya kamu serius. Beberapa bulan lagi akan ada ujian semester nggak papa kalau nilaimu turun tapi setidaknya nilai etika dan kehadiran bisa menambah nilai kamu." Indira menjelaskan lagi. "Saya tahu itu Bu, saya sudah banyak melakukan kesalahan tapi rasanya agak sulit melupakan kejadian di kelas satu. Saya butuh waktu." "Saya mengerti, semangat ya Glen." "Iya bu, ngomong-ngomong soal nilai etika apa tidak ada masalah?" tanya Glen berhati-hati. "Tidak ada, selain kau bolos dan tidak masuk ke sekolah. Ibu akan menambah poin karena kamu melaporkan penyebaran berita hoax. Untuk nilai serta kehadiran di kelas kamu bisa langsung bertanya pada guru yang terkait." "Baik Bu, makasih atas infonya." ❤❤❤ "Anggi." Kira mendekati Anggi dan Bian. "Maaf, aku tak tahu kalau kamu dapat masalah, kamu baik-baik saja?" tanya Kira. Anggi mengangguk. Dipeluknya Kira meluahkan kesedihan serta kelegaan dalam diri. "Gimana? Udah selesai?" tanya Kira pada Bian. "Sudah, Lina akan berikan klarifikasi dan menghapus fotonya Anggi dan Glen." "Baguslah, di mana Glen?" tanya Kira lagi. "Dia masih di ruang BK, paling sebentar lagi keluar." Tidak lama Glen akhirnya keluar dari ruang BK. Kira melepas pelukan, mengobrol sebentar pada Anggi kemudian mereka berpisah. Kira lalu mendekat pada Glen. Raut wajahnya khawatir ketika menatap lelaki itu. "Kamu nggak papa?" tanya Kira. Glen mengangguk. "Maaf ya Kira harusnya gue nggak abain lo tadi pagi." "Tidak apa-apa, aku ngerti. Yang penting sekarang masalah sudah selesai." "Nggak juga, ada beberapa hal yang harus gue urus kita bicara setelah urusan gue selesai, bisa?" tanya Glen. "Apa masalahmu berat?" Kira balik bertanya. Lagi ia khawatir. "Oh tidak, gue akan jelaskan nanti ketika kita pulang sekolah." "Baiklah, aku akan menunggu ... semoga sukses Glen." Glen tersenyum dan berlalu pergi meninggalkan Kira sendiri. Perasaan Glen sebenarnya tidak enak tapi ia berusaha mengabaikan hal itu apalagi melihat wajah Kira, tak mau membuat gadis itu gelisah. Glen benar-benar cemas. ... Sekolah telah usai. Kira berjalan keluar bersama segerombol siswa menuju pintu gerbang. Tak ada obrolan berarti sebab Glen sibuk dengan urusannya. Seperti ucapan Kira, dia menunggu sampai Glen siap mengatakan segalanya. "Hai Kira." Sapaan dari Ita sambil menepuk punggungnya mengejutkan Kira. Dia membalas dengan senyuman saat matanya bertatap dengan sekretaris osis itu. "Pulang sendiri? Aku bisa antar kamu kok kebetulan hari ini aku dijemput pake mobil." "Ah nggak usah nanti ngerepotin, lagian kamu juga kayaknya banyak temen nebeng." Kira menolak seraya menoleh ke arah teman-teman osis Ita. "Ok kalau gitu aku pulang duluan hati-hati di jalan." Kira mengangguk. Ia keluar dari halaman sekolah menuju parkiran sedang Ita bersama teman-teman lainnya belum beranjak dari tempat mereka berdiri. "Ngapain sih Ita lo nyapa dia? Lo kenal dia dari mana?" tanya Lily penasaran. "Oh dia itu Kira, baru aja kenalan di perpustakaan. Dia baik banget orangnya. Aku rasa dia bakalan cocok sama geng kita." "Dia? Tampangnya kaya gitu cocok sama geng kita? Yang bener aja lagian dia anak kelas berapa sih? Kenapa tiba-tiba lo mau dia ikut geng kita?" cerca Cia tak terima. Baginya Kira itu tidak selevel dengan mereka selain dari segi penampilan, bisa saja Kira itu tergolong orang dengan nilai pas-pasan. Kehadiran Kira tidaklah ada manfaatnya kecuali mencoreng nama geng mereka yang terkenal cantik dan pintar. Belum sempat Ita menjawab Glen tiba-tiba datang. Dia langsung menarik Ita pergi tanpa bertanya. Sampai di salah satu kelas yang telah sepi, Glen melepas lengan Ita. "Maksud lo apa tadi? Ngapain lo nyapa Kira? Pake masukin dia di geng lo segala," kata Glen tidak santai. Ita dengan senyum tipis segera membalas, "Loh Glen kok gitu sih sama sahabat sendiri. Kita udah lama loh nggak ngobrol santai." "Gimana gue bisa santai? Apa yang lo lakuin sama gue sampe sekarang nggak bisa gue maafin dan lo masih berharap kita tetap punya pertemanan seperti yang dulu, setelah gue lihat lo yang sebenarnya?" Glen tertawa mengejek. "Sampe kapan pun Ita, lo bukan temen gue lagi. Ayo jawab pertanyaan gue, kenapa lo nyapa Kira?" Ita ikut tersenyum miring. "Suka-suka gue dong mau nyapa siapa, mau masukin anggota baru juga itu bukan masalah lo kali. Emang lo siapanya Kira, pacar aja bukan!" "Lo pikir gue nggak bakal sadar sama permainan lo. Lo sengaja, kan bikin Kira dekat sama lo supaya lo bisa liat gerak-geriknya, biar lo bisa manipulasi dia sesuka hati lo. Apa lo nggak capek? Hanya karena gue nggak punya perasaan sama lo, lo bertindak keterlaluan! Oh apa jangan-jangan lo yang suruh Lina untuk nyebarin foto gue sama Anggi?" Perlahan senyun Ita menghilang. Tatapan berubah sayu tapi terlihat serius. "Jangan sembarangan bicara, gue emang nggak suka lo dekat dengan gadis lain tapi foto itu nggak ada hubungannya sama gue." "Terserah lo mau bilang apa, gue udah nggak percaya sama lo. Udah cukup gue yang ngerasain gimana munafiknya elo dan gue nggak mau Kira ngerasain hal yang sama."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN