Bioskop (2)

1148 Kata
Akhirnya Kira keluar dari toilet wanita menghampiri teman-temannya yang juga menunggu. Glen lebih dulu mendekatinya. "Jangan lupa bayarannya ya," "Bayaran apa?" tanya Kira tak mengerti. "Itu loh bayaran jalan-jalan kita berdua." Glen menyunginggkan senyum manis. "Ah itu-" "Harus Kira, gue sudah nolongin lo jadi sesuai kesepakatan." Glen melenggang pergi menyusul Bian serta Anggi yang terlebih masuk ke dalam bioskop. Kira menghela napas dan berjalan mengikuti Glen. Mungkin karena hari minggu, banyak orang yang menonton. Bian serta teman-temannya kebagian mendapat kursi tengah. Mereka duduk berdampingan. Glen mengisi tempat duduk dekat dengan tangga diikuti oleh Kira lalu Anggi serta Bian. Sengaja Bian dan Glen mengatur kursinya agar mendapat tempat lebih dekat dengan gadis yang mereka sukai. "Gimana ya? Mudah-mudahan nggak menyeramkan," ucap Kira berharap. "Jangan takut, gue ada di sini. Kalau lo takut lo bisa kok pegang tangan gue." Baik Kira maupun Anggi sama-sama menoleh dengan ekspresi yang berbeda. Jika Kira langsung tertawa kecil seraya memukul bahu Glen lain halnya Anggi yang tampak bergidik jijik. "Kira," panggil Anggi. Kira menoleh. "Ayo kita tukaran tempat duduk." "Hah? Buat apa?" "Tukaran kursi cepat!" Akhirnya Kira menurut dan mengambil kursi Anggi. Dia mencoba menghibur Bian dengan tersenyum tipis tapi tidak ada balasan, hanya sebuah helaan napas berat. Kira merasa buruk. Harusnya dia tak menukar kursi dengan Anggi. Sedang Anggi melotot ke arah Glen yang tidak senang. "Sialan banget gue harus duduk dekat lo." Anggi tak menanggapi dan memusatkan perhatian ke arah film. Baru 10 menit, suasana dari film horor yang mencekam kental terasa. Anggi, Bian serta Kira merasa tidak nyaman beda hal dengan Glen. Dia malah menikmati filmnya sembari memakan popcorn. Tiba-tiba di layar besar muncul sosok wanita yang penampilannya menyeramkan. Semua penonton terkejut dan secara otomatis Anggi memegang lengan Glen. Dia juga berusaha menutupi matanya dengan lengan pemuda itu. Glen sendiri tampak keberatan. "Ngapain lo megang-megang lengan gue? Lepasin nggak?" "Cih, siapa juga yang mau lengan lo, buka jaket lo cepetan!" suruh Anggi memaksa. "Nggak gue nggak akan minjemin jaket gue sama lo!" Anggi tidak memiliki pilihan selain membuka jaket tersebut. Dia takut, tak berani melihat layar bioskop. Bian memandangi mereka dengan pandangan kecewa. Dia tak senang melihat Anggi serta Glen berbicara walaupun mereka tidak akrab tapi Bian tidak mau ada pemuda yang diandalkan oleh Anggi selain dirinya. Kira juga tak bisa menikmati filmnya. Meski layar besar dan musik tegang memenuhi seisi ruangan, Kira tidak mampu mengabaikan suasana hati Bian ataupun ocehan nggak jelas dari Anggi serta Glen. "Anggi, stop jangan ribut!" tegur Kira tak tahan. Sengaja ia berbisik agar tak mengganggu orang lain. Anggi dan Glen otomatis berhenti. Kini Anggi memilih menutup matanya menggunakan tangan sendiri atau berlindung di lengan Kira. Kira juga tidak terganggu. Dia melirik Bian yang nampaknya sudah tenang. Setelah dua jam akhirnya mereka keluar dari bioskop. "Filmnya nggak horor amat, malahan aku suka ada adegan gore," komentar Glen dengan senyum ringan di wajah. Beda hal dengan teman-temannya, Kira serta Anggi mual mengingat adegan yang berdarah. Bian pun walau dia juga lelaki wajahnya pucat pasi sehabis menonton film horor. Ternyata ada baiknya juga memperhatikan Anggi dan Glen yang bertengkar. "Kapan-kapan kita nonton lagi yuk film horor," ajak Glen. "Nggak!" tolak ketiganya serentak. Trauma yang didapatkan sudah cukup untuk mereka. Tak mau mengulang kesalahan. Glen terlihat kecewa sebentar lalu berlagak santai seperti biasa. "Eh habis nih enaknya ngapain ya?" "Aku lapar," kata Anggi dengan bibir cemberut. Makan popcorn tidak membantu kenyang terlebih sebab film horor menguras banyak tenaga. "Kita makan yuk tapi uang kita pas-pasan." Bian mengajak. "Gimana kalau taman Kota saja, di sana banyak makanan murah," usul Glen. Mereka mengiyakan dan segera menuju tempat parkir. Anggi yang pertama kali sampai. Ketika teman-temannya menyusul, dia langsung mengambil tangan Glen. "Aku bareng Glen ya, Kira kamu sama Bian aja." Kira hendak memprotes namun terlambat Anggi sudah berjalan seraya menyeret Glen. Gadis itu menoleh pada Bian, kedua kali ia harus menelan pil pahit karena Anggi. "Maaf ya Bian, aku nggak sempat-" "Ini bukan salah kamu kok, biar aku keluarkan motorku dulu ya. Kamu tunggu di sini saja." Bian berjalan pergi meninggalkan Kira yang berpikir keras. Suara klakson motor menyadarkan Kira. Bian berada tepat di depannya. "Ayo naik." Tidak lama Anggi serta Glen menghampiri keduanya dan bersama menuju pusat kota. Hanya butuh 15 menit untuk sampai ke sana. Beruntung mereka tidak mendapat macet di jalan. Motor Glen kemudian berhenti dan memarkirkan motornya jauh dari ramainya pasar. Bian pun ikut memarkirkan motor di tempat itu. "Mau makan apa?" tanya Bian. "Aku mau nasi goreng," kata Anggi. "Sate ayam," sahut Glen. "Sama kaya Anggi." Kira menjawab kemudian ketika Bian berpaling ke arahnya. Mereka kemudian berjalan masuk ke dalam sebuah kedai makan. Bian yang memesan sedang ketiga temannya mengobrol santai. "Adegan mana nih yang paling berkesan?" tanya Glen. "Kalau gue sih pas.." "Bisa diam nggak? Gue mau makan jangan gara-gara Lo gue nggak bisa nikmatin makanan gue," potong Anggi kesal. "Iya ih Glen, udah tau kita nggak suka nonton filmnya masih aja disinggung." Kira menimpali ikut sebal. "Tapi filmnya keren, nggak percuma gue keluarin uang tabungan gue buat nonton ke bioskop." "Apa?" tanya Kira kaget. "Sebentar lagi pesanan akan siap." Bian lalu duduk di samping Glen. Senyum nan ramah miliknya mencairkan suasana yang awalnya dipenuhi kekesalan menjadi damai. "Aku senang banget karena hari ini kita nonton film bareng ya meski filmnya jauh dari ekspektasi tapi aku menikmati sekali dan aku rasa aku akan senang kalau kita bisa nonton lain kali sama-sama asal filmnya jangan horor." Glen berdecak kesal. "Kalau bukan film horor nggak bakal seru." "Tapi ada kok genre film yang lain seperti action, misteri.." "Dan romantis," sambung Anggi memotong ucapan Kira. Dia masih saja cemberut, tidak senang. "Iya, iya lain kali kita nonton film romantis." Kira berusaha menghibur. Semua makanan siap dan mereka menyantapnya bersama-sama. Sungguh di luar perkiraan, Kira pikir pasti canggung suasananya namun kenyataannya adalah Glen dan Bian berbicara akrab tentang sepak bola. Layaknya laki-laki, mereka berdua membicarakan soal pemain bola terbaik ataupun bursa transfer musim ini. Bahkan Glen mengajak Bian main futsal bersama teman setimnya. Di sisi lain Anggi berceloteh tentang PR seni budaya yang esok akan di periksa. Bukan tanpa sebab, satu-satunya guru killer di sekolah mereka adalah guru mata pelajaran tersebut. Pak Bima namanya. Dia itu tipikal orang yang serius dan nggak bakal main-main jika menyangkut nilai. Apalagi seni budaya sering pratek. Kalau semacam tugas kesenian tidak dibuat ataupun memenuhi kriteria standar dari Pak Bima maka lelaki itu tak segan-segan menaruh nilai jelek atau pun menghancurkan tugas kesenian yang telah dibuat susah payah di depan siswa sendiri. Tak jarang karena nilai jelek seni budaya ada beberapa siswa tidak bisa naik kelas. Beruntung sekali kelas 2-C guru seni budaya bukanlah Pak Bima melainkan Ibu Vika, seorang wanita muda yang akrab kepada siswa-siswi dan kreatif. Yah meski Kira sendiri nggak tidak menjamin kalau saat kelas tiga nanti dia tidak diajari oleh Pak Bima. Suara dering telepon menyita perhatian Kira. Tertulis ayah di layar ponsel miliknya. Ternyata sudah lama juga ia keluar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN