Cellyn sudah terbatuk-batuk dan kehabisan napas. Mata hitamnya nyaris hilang karena menghadap ke atas terlalu dalam. Dengan menggunakan sisa kesadaran yang ada, ia meraih-raih ponselnya yang berada di atas dashboard.
Menggunakan sisa ingatan, ia menekan layar di sudut kanan bawah, tepat pada log panggilan. Lalu meng-klik secara asal. Saat ia menyadari ada nada sambung terdengar, Cellyn sedikit mengelak untuk melonggarkan cekalan Arslan.
“Tolong ... tolong.” Suaranya bahkan sudah serak.
Cellyn terus berdoa agar siapa pun segera datang menolongnya sebelum pria ini membunuh Cellyn tanpa orang lain mengetahui.
Tidak bisa begini terus. Cellyn menggunakan kuku panjangnya menusuk kulit Arslan yang menahan tangannya, sangat kuat sampai pria itu menjerit kasar dan membanting tubuh Cellyn ke kusir kemudi.
Cellyn seketika menghirup udara panjang-panjang untuk mengisi paru-parunya. Seluruh tubuhnya lemas, tetapi ia harus pergi dari sini, atau setidaknya keluar agar bisa aman dari Arslan yang menggila.
Pria itu tidak lama memedulikan kulitnya yang berdarah. Sabuk pengaman membatasi gerak Arslan, tetapi itu tidak mencegahnya meraih kaki Cellyn. Ia terus menahannya sementara sang empunya sibuk melepaskan diri.
Tentang bagaimana Arslan mengetatkan gigi, sementara matanya menyipit karena efek mabuk serta amarah terpendam membuat Cellyn semakin ketakutan. Ia terus menjerit meminta tolong sekuat yang Cellyn bisa.
Lalu, muncullah seseorang yang mengetuk jendela mobil. Cellyn semakin bersemangat untuk meminta tolong. Ia menendang wajah Arslan dengan high heels-nya, kemudian membuka pintu dan ditarik oleh dua pria dari luar.
Arslan tidak mau kehilangan perempuan yang ia duga mencuri berliannya. Namun, dengan sisa sedikit kesadaran, ia bahkan kesulitan membuka sabuk pengaman. Berbondong-bondong manusia dari dalam kelab datang untuk menuntaskan perasaan kepo mereka.
Salah seorang pria yang menyelamatkan Cellyn tadi membuka pintu di sebelah Arslan dan memaksa Arslan untuk keluar dengan nada membentak keras. Memanggil Arslan dengan sebutan b******k karena sudah bersikap kasar pada wanita. Pria itu bahkan melayangkan beberapa pukulan pada Arslan yang hanya bisa meracau tanpa tahu suasana sekitar.
“Jalang sialan .... Di mana dia? Suruh ... kembalikan berlian saya ....”
Racauan Arslan barusan malah semakin memancing emosi si pria asing. Tiga tinju di rahang kiri, ujung hidung, dan pipi kiri mengenai Arslan dengan sempurna.
“Stop! Stop! Ini ada apa?” Erik datang, kemudian semua orang memberinya jalan hingga bisa melihat kondisi Arslan yang menyedihkan. “Bubar lo semua! Bubar! Gue usir lo pada! Pergi-pergi!” teriaknya.
Beberapa pergi dengan diam, beberapa koor tidak terima, dan pria peninju tadi merutuk kesal sembari menghampiri Cellyn yang berada 20 meter dari mobilnya.
Arslan dibantu keluar dari mobil. Erik meski kesulitan tetap membantu Arslan dengan memapahnya. Saat melewati Cellyn, Erik berujar maaf tanpa suara.
Sebelum masuk ke kelab, cahaya mobil menyorot. Lalu muncullah Ridwan yang sebelumnya ditelepon oleh Cellyn tanpa sengaja. Ia berlari-lari menghampiri Arslan yang dibawa oleh Erik.
“Permisi!” Ridwan menyapa ketika sampai di hadapan Erik. “Saya Ridwan, bawahan Pak Arslan. Saya juga kenal istrinya. Biar saya yang bawa dia pulang.”
“Tapi, Pak. Arslan ini rada trauma sama orang asing yang satu mobil sama dia. Kalau Anda nggak beruntung, Anda bakalan senasib sama cewek itu. Disiksa tanpa ampun.” Melalui lirikan mata, Erik menunjuk Cellyn yang berjalan menuju mobilnya.
“Tidak masalah. Biar saya bawa pulang,” ujar Ridwan. Kemudian mengambil alih tugas Erik yang terbilang mudah untuk tubuh kekarnya.
Erik menjauh, dan memberikan ruang bagi Ridwan untuk menggantikan posisinya.
“Terima kasih, saya permisi.” Ridwan mengangguk sekali, lalu berjalan dengan hati-hati, setengah menyeret Arslan yang sudah menutup mata.
Mereka masuk ke Toyota Alphard milik Ridwan. Tidak lupa mengikat Arslan di kursi belakang menggunakan sabuk pengaman. Jangan sampai yang Erik takutkan benar terjadi.
Setelah memasuki kursi kemudi dan menjalankan mobilnya, Ridwan menelepon Alisha untuk mengabarkan kondisi Arslan.
“Saya bawa ke rumahnya saja? Setidaknya, ada asistennya di sana,” usul Ridwan usai basa-basi sejenak.
“Nggak usah, Om. Bawa ke sini aja. Nanti biar aku yang urus.”
“Jangan ... jangan! Kamu cuman sendirian, Alisha. Dan Arslan ini sedang mabuk parah. Dia bisa aja perlakuin kamu kayak sekretarisnya tadi.”
“Sekretaris?”
Ridwan setengah menyesal sudah membuka topik itu, tapi karena sejak dahulu ia selalu terbuka pada Alisha, maka sekarang pun harus jujur pada atasannya itu.
“Saya nggak tahu versi lengkapnya. Tapi menyimak sekitar, kondisi mobil Cellyn, keadaan Cellyn, dan arah awal Arslan dibawa, sepertinya dia niat pulang bersama sekretarisnya. Namun ada insiden. Saya nggak tau jelasnya apa, tapi ada bekas cekikan merah di leher Cellyn, dan pukulan di wajah Arslan. Arslan kemungkinan menyerang sekretarisnya itu dengan kekerasan.”
“Okey ....” Alisha terdengar setengah bimnbang. “Nggak papa, Om. Bawa ke sini aja. Biar aku yang urus.”
“Alisha? Kamu yakin? Nggak ada yang bisa nebak apa yang bakalan dia lakukan nanti.”
“Nggak papa, Om.”
“Oke. Tapi saya jaga rumah kamu. Bagaimana? Kalau ada apa-apa, saya bisa langsung bergerak.”
“Boleh. Tapi Om cuman boleh tidur di luar rumah. Mobil misalnya. Soalnya, aku sama Arslan udah buat perjanjian buat nggak bawa siapa pun masuk rumah tanpa kesepakatan izin dari kami berdua.”
“Nggak masalah. Asalkan saya ada dekat rumah. Kamu bisa teriak kalau Arslan sampai bertindak buruk.”
Disebabkan sudah ada keputusan mutlak dari Alisha, maka saat di pertigaan, Ridwan berbelok ke arah kiri mengabaikan jalanan lurus yang mengarah ke rumah Arslan.
Sekitar tujuh menit kemudian, mobil Ridwan sudah terparkir di halaman. Butuh beberapa waktu lebih lama untuk mengeluarkan Arslan karena Ridwan mengikatnya tadi secara asal.
Ridwan memapah Arslan sampai di depan pintu. Sebelum mengetuk, Alisha sudah membukakan pintu.
“Kam sendiri yang bawa dia?” tanya Ridwan yang tampak sedikit ragu.
“Kayaknya aku bawa ke sofa aja, Om,” jawab Alisha, sembari mengambil alih tugas Ridwan. “Nggak sanggup bantu naik tangga.”
“Yakin bisa, Alisha?”
“Bisa, Om,” jawab Alisha dengan senyum yang tersembunyi di balik cadarnya.
Ridwan tidak bisa membantu atau memberikan komentar lain, kecuali menarik pintu Alisha agar tertutup. Kemudian menuju mobilnya untuk mengawasi. Meski terhalang gorden krem, Ridwan masih bisa melihat bayangan samar Alisha yang kerepotan dan meletakkan Arslan di sofa.
Di dalam rumah. Ketika Arslan sudah berbaring, pria itu setengah membuka matanya dan meracau asal. Kedua tangannya bergerak lemah, seolah menghalau Alisha mendekat, sebagai perlindungan diri terakhir.
Alisha mengetukkan jemarinya sebentar di atas meja. Kemudian menarik ke atas cadar tali yang ia kenakan, juga jilbab hitamnya yang selutut. Menyisakan rok hitam dan manset maroon.
Aroma alkohol terlalu kentara tercium, mengganggu Alisha yang tidak pernah akrab dengan minuman favorit Arslan tersebut. Maka, ia ke kamar mandi dekat dapur untuk mengambil sebaskom air dan lap bersih. Setelah dua benda itu diletakkan di atas meja, ia bersusah payah melepaskan kemeja Arslan.
Harus mengeluarkan seluruh tenaga yang ada hanya untuk membalik tubuh besar Arslan. Saat pria itu menyamping, Alisha langsung menarik kasar kemejanya, dan berakhir dengan dengkusan lega saat kain itu berhasil ia jatuhkan ke lantai.
Alisha menggunakan kain basah untuk mengepel tubuh Arslan yang lengket. Entah pria ini minum alkohol, atau mandi minuman keras. Aromanya terlalu menusuk hidung.
Usai bagian punggung kelar, Alisha harus kembali ke kamar mandi untuk mengganti air. Hanya dua menitan, lalu datang lagi ke ruang tengah. Kali ini tidak butuh tenaga banyak untuk membuat Arslan telentang.
Alisha tanpa sengaja meneguk ludah kasar. Bagaimana pun, ia tetap perempuan pada umumnya yang mudah berdebar saat disuguhi tubuh seksi dari seorang pria. Namun, Alisha tetap bisa mengontrol debarannya sendiri dan menuntaskan tugas. Lap basah diletakkan ke dalam baskom atas lantai, kemudian bersiap berdiri, tetapi tanpa diduga, pergelangan tangannya ditahan. Perempuan yang belum bersiap itu tertarik dan jatuh di atas d**a Arslan.
“Cantik.” Arslan mengeluarkan bisikan rendah yang sontak membuat Alisha langsung menutup hidung. Pria itu setengah membuka mata ketika menyunggingkan senyum.
Menggunakan kedua tangan, Arslan menahan pinggang Alisha agar tetap di atasnya. Namun, tolong .... Alisha ingin muntah.
Wajah Arslan sudah babak belur. Tidak etis jika Alisha membuang isi perutnya di wajah Arslan, kan?
Eh?
***