Waktu berjalan sangat cepat, itulah yang Melinda rasakan. Tak terasa 2 minggu sudah berlalu sejak Melinda mengalami insiden kaki terkilir.
Semenjak 1 minggu yang lalu, kondisi kaki Melinda berangsur-angsur membaik. Bahkan sejak 2 hari yang lalu, Melinda sudah kembali pada rutinitasnya, sibuk menjalani pemotretan yang sebelumnya tertunda karena sakit di kakinya.
Hari ini adalah hari terakhir Melinda bekerja, karena untuk 2 hari ke depan, Melinda akan libur.
Dalam kurun waktu 1 bulan, Melinda mendapatkan jatah libur selama 8 hari, itu artinya, dalam 1 minggu, Melinda mempunyai waktu libur selama 2 hari, yaitu di hari sabtu dan minggu.
Hari ini Melinda akan berkumpul bersama sahabat-sahabatnya, dan tempat berkumpul mereka kali ini adalah kediaman Violin.
Ketika Melinda sampai di kediaman Violin, kedua sahabatnya yaitu Carissa dan Liora sudah datang. Violin, Carissa, dan Liora sedang berkumpul di ruang keluarga, salah satu tempat paling nyaman untuk mengobrol.
"Bagaimana kondisi kaki lo, Mel? Sudah merasa jauh lebih baik dari kemarin?" Violin menatap kaki jenjang Melinda yang saat ini memakai high heals cukup tinggi, mungkin sekitar 10 cm.
Violin sudah sering kali menasehati Melinda agar jika sedang libur bekerja, Melinda tidak memakai heals, tapi memakai flat shoes, tapi ternyata Melinda tidak pernah mendengarkan nasehatnya.
Kemarin Violin juga sempat berpikir jika kejadian kaki kanan Melinda yang terkilir akan membuat Melinda jera, dan kapok memakai high heals, tapi ternyata Melinda tidak kapok sama sekali.
Melinda dan high heals memang tidak bisa dipisahkan. Saking sukanya dengan high heals, Melinda bahkan sampai mengoleksinya.
Melinda berdiri, lalu berputar, memberitahu Liora, Violin, serta Carissa jika kakinya sudah benar-benar sembuh.
"Kaki gue udah sembuh dong, dan sekarang gue udah bisa pakai heals lagi," ucap Melinda dengan senyum merekah yang terus menghiasi wajah cantiknya.
Kemarin-kemarin, Melinda memang tidak diperbolehkan untuk memakai heals, dan bagi Melinda, itu terasa sangat menyiksa. Saat tidak memakai high heals, Melinda merasa tidak percaya diri, lalu ketika memakai heals, Melinda merasa sangat percaya diri.
"Syukurlah kalau kaki lo sudah benar-benar udah sembuh, gue ikutan senang," ucap Violin penuh kelegaan.
Bukan hanya Violin yang merasa lega juga bahagia ketika melihat kaki Melinda sudah sembuh, tapi Liora dan Carissa juga merasakan hal yang sama.
Melinda kembali duduk di samping Liora.
"Liora." Melinda menggandeng tangan kanan Liora, dan memanggil Liora dengan nada manja.
Liora menatap Melinda dengan kedua mata memicing penuh curiga. "Pasti ada maunya nih, gue yakin."
Melinda lantas tertawa, begitu juga dengan Violin serta Carissa.
Mereka berempat sudah bersahabat sejak lama, jadi mereka sudah hafal sifat satu sama lainnya.
Jika Melinda bermanja-manja, entah itu pada Liora, Violin, atau Carissa, itu artinya Melinda sedang menginginkan sesuatu.
"Iya, kan?" tanya Liora memastikan.
Melinda menjawab pertanyaan Liora dengan anggukan serta senyum lebar yang menghiasi wajahnya, bahkan kini kedua mata indah Melinda berbinar.
Liora melepas kedua tangan Melinda dari tangannya, lantas merubah posisinya agar bisa berhadapan langsung dengan melinda. "Jadi lo mau apa?" tanyanya penasaran.
"Kan besok hari sabtu, itu artinya gue libur. Jadi bagaimana kalau malam ini kita pergi ke club?" tanya Melinda dengan binar bahagia yang terlihat jelas di wajahnya.
Jawaban yang Melinda berikan berhasil membuat Violin dan Carissa tersedak kopi yang baru saja mereka tenggak, sedangkan Liora melotot, tak percaya dengan apa yang baru saja Melinda katakan.
"Uhuk... Uhuk... Uhuk...." Violin dan Carisaa terus batuk, dan tersedaknya mereka berdua membuat Melinda juga Liora panik.
Melinda mengusap punggung Violin, sedangkan Liora mengusap punggung Carissa. Keduanya berharap jika sentuhan yang mereka berikan mampu membuat rasa sakit yang sedang keduanya rasakan berkurang.
"Mel, lo tadi bilang apa?" Violin menatap lekat Melinda, begitu juga dengan Liora dan Carissa.
"Gue mau ke club."
"Lo mau pergi ke club?" Teriak Carissa sesaat setelah rasa sakit ditenggorokannya berkurang.
Dengan penuh percaya diri, Melinda mengangguk. "Iya, gue mau ke club."
"Gengs, gue enggak salah denger, kan?" Carissa bertanya pada Liora dan Violin.
"Sepertinya kita memang enggak salah dengar, deh," balas Violin. "Melinda emang mau pergi ke club, iya kan, Mel?" lanjutnya dengan atensi yang kembali tertuju pada Melinda.
"Kalian enggak salah dengar, kok. Gue emang mau ke club."
"Lo terlalu sering main sama Liora, jadi ketularan virus tidak sehat dari Liora, kan," ucap Violin sambil memukul paha Liora.
Bukannya tersinggung dengan ucapan Violin, Liora malah tertawa terbahak-bahak.
Di antara mereka berempat, bisa di katakan kalau Lioralah yang paling sering mengunjungi club, lalu Melindalah orang yang paling jarang mengunjungi club. Jadi wajar saja jika Liora, Violin, dan Carissa sangat terkejut begitu tahu Melinda ingin pergi club atas inisiatifnya sendiri.
"Lo lagi ada masalah?"
Melinda menggeleng.
"Yakin?"
Melinda mengangguk. "Kalian kenapa sih? Kenapa kayaknya shock banget pas tahu kalau gue pengen ke club," keluhnya dengan bibir mencebik.
"Ya ialah kita semua shock, enggak biasanya lo mau pergi ke club. Apalagi ini atas inisiatif lo sendiri, biasanya juga paling susah kalau di ajak main ke club." Carissa berkata dengan nada menggebu-gebu.
"Iya sih," ucap Melinda sambil terkekeh.
"Lo beneran enggak lagi ada masalah kan?" Jika tadi Violin yang bertanya, maka kali ini giliran Carissa yang bertanya, mengajukan pertanyaan yang sama seperti Violin.
"Astaga, berapa kali gue harus bilang kalau gue enggak lagi ada masalah apapun." Melinda seketika merasa kesal karena Violin dan Carissa yang tidak percaya padanya.
"Awas ya lo kalau bohong!" Peringat tegas Violin.
"Gue enggak bohong ih!" Dengan tegas, Melinda membantah jika dirinya sedang berbohong.
"Lo lagi ngapain?" Violin menegur Liora yang sejak tadi fokus pada ponselnya.
"Gua lagi menghubungi Gerry." Liora baru saja mengirim pesan pada Gerry.
"Gerry?" Ulang Violin memperjelas.
"Iya, Gerry. Gue lagi nanya, apa Melinda lagi ada masalah atau enggak?"
"Terus apa kata Gerry?" Carissa terdengar tidak sabaran, ingin segera tahu apa jawaban dari Gerry.
"Gerry bilang enggak ada masalah. Semua pekerjaan Melinda berjalan dengan baik."
Violin dan Carissa seketika merasa lega.
"Tuh kan, gue bilang juga apa. Gue tuh lagi enggak ada masalah apapun," ucap Melinda merajuk.
"Wajar kalau kita semua curiga. Kebanyakan orang pergi ke club itu memang untuk bersenang-senang dan melupakan sejenak masalah yang sedang mereka hadapi."
"Ya itu kan menurut lo, Violin!" Melinda menyahut ketus.
"Sudah-sudah, jangan bertengar." Liora pusing jika sudah mendengar Violin dan Melinda berdebat.
"Jadi, mau atau enggak?" Melinda bertanya pada Liora.
"Lo enggak mau ajak gue sama Violin?" tanya Carissa sambil menunjuk dirinya sendiri dan Violin.
"Enggak mau ah!"
Lagi-lagi jawaban Melinda mengejutkan Violin dan Carissa. Keduanya sama-sama mendengus, lain halnya dengan Liora yang malah tertawa terbaha-bahak.
"Kenapa lo enggak mau ajak gue sama Violin?"
"Enggak ah, nanti gue di marahin sama suami kalian berdua."
"Iya juga sih," keluh Violin dengan raut wajah masam.
"Makanya gue enggak mau ajak kalian berdua, takut."
"Ih, tapi gue juga pengen main ke club." Carissa sudah lama tidak pergi ke club, begitu juga dengan Violin.
Violin mengangguk, setuju dengan apa yang Carissa katakan. "Sama, gue juga. Udah lama banget kita enggak main ke club."
"Sebaiknya kalian berdua enggak usah ikut, dari pada nanti kalian berdua di amuk sama suami kalian." Liora tidak mau ambil resiko.
"Lah mending kalau mereka berdua yang di marahin, kalau kita yang nanti di marahain sama Putra dan Revan, bagaimana?"
"Nah itu yang gue takutkan, cukup sekali gue di marahin sama mereka berdua. Enggak mau lagi deh di marahin sama Putra dan Revan," ucap ketus Liora.
Violin dan Carissa sontak tertawa begitu mendengar ucapan Liora.
Beberapa bulan yang lalu, Liora pernah di marahi lebih tepatnya di beri nasehat oleh Purta dan Revan agar tidak lagi mengajak Violin dan Carissa pergi ke club.
Menurut Violin dan Carissa, kejadian tersebut adalah salah satu kejadian lucu yang tidak boleh mereka lupakan.
"Padahal posisinya saat itu kita belum pergi ke club, baru rencana doang. Apa jadinya kalau gue bawa kalian berdua ke club?" Liora bergidik, sudah bisa membayangkan betapa murkanya Revan dan Putra.
"Lo pasti akan di musuhin sama Revan dan Putra sih, gue yakin itu."
Violin dan Carissa mengangguk, setuju dengan apa yang Melinda katakan.
"Iya, kayaknya mereka berdua bakalan musuhin gue."
"Liora, lo belum jawab pertanyaan gue. Mau atau enggak pergi ke club?"
"Mau lah, ya kali gue nolak ajakan lo. Ini kejadian langka, jadi enggak boleh gue sia-siakan."
"Yes!" Melinda memekik senang karena Liora tidak menolak ajakannya.
Melinda menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Ini masih siang, jadi kita masih punya banyak waktu untuk mengobrol."
Saat hari sudah beranjak sore, Melinda dan Liora pamit pulang. Keduanya pulang ke apartemen masing-masing, dan akan bertemu lagi di club di waktu yang sudah di tentukan.
Sekarang posisi Melinda sudah ada di apartemen, lebih tepatnya di dalam kamarnya sendiri.
Melinda membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan posisi terlentang.
Kedua mata Melinda terpejam, dan saat itulah, kejadian 2 minggu yang lalu kembali muncul.
Sebenarnya Melinda memang sedang memiliki masalah, karena itulah Melinda ingin pergi ke club dengan harapan agar ia bisa melupakan masalahnya walau hanya sejenak saja.
Masalah Melinda bukan masalah di tempat kerja, melainkan masalah pribadi, dan masalah Melinda sebenarnya adalah pria yang 2 minggu lalu menabraknya.
Sejak bertemu dengan pria yang secara tidak sengaja sudah menabraknya, sampai akhirnya membuat kakinya terkilir dan dirinya tidak bisa berjalan, Melinda tidak bisa melupakan pria tersebut.
Wajahnya yang tampan rupawan, senyumnya yang begitu manis nan memikat, aroma parfumenya yang sangat lembut sekaligus menggoda, suaranya yang begitu merdu, lalu ketika tangan pria tersebut menyentuh kaki jenjangnya, membelainya dengan penuh kasih sayang, itu semua Melinda ingat dengan sangat jelas, terutama ketika adanya kontak fisik di antara mereka.
"Gue bisa gila," keluh Melinda sambil bergerak gelisah. Melinda mengerang, kesal sekaligus marah pada dirinya sendiri yang terus memikirkan pria tersebut. Melinda sudah mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi apa daya, otaknya tidak mau diajak kerja sama.
"Ya, ampun, bagaimana cara melupakannya?" tanya Melinda entah pada siapa.
Sampai saat ini, Melinda tidak tahu siapa nama pria tersebut, karena kartu nama yang sebelumnya pria tersebut berikan hilang entah ke mana. Tapi entah kenapa, Melinda merasa jika ia mengenal pria tersebut. Wajahnya terasa tidak asing bagi Melinda. Tapi, berapa kalipun Melinda mencoba untuk mengingat di mana ia pernah bertemu dengan pria itu, Melinda tidak pernah berhasil untuk mengingatnya.
"Giliran masalah ini aja, otak gue enggak bisa di ajak kerja sama," keluh Melinda ketika lagi-lagi gagal mengingat di mana dirinya pernah bertemu dengan pria tersebut.
Di satu sisi, Melinda senang karena kartu nama pria tersebut hilang, tidak ada di dalam tasnya, jadi hari itu Liora tidak menghubungi pria tersebut untuk memintanya bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi padanya, tapi terkadang, Melinda berharap jika kartu nama pria tersebut tidak hilang agar Melinda bisa tahu siapa nama pria yang sudah menabraknya.
1 hal yang pasti, Melinda yakin jika pria yang menabraknya adalah pria dari kalangan atas. Pria yang memiliki strata sosial tinggi, dan mungkin sangat berpengaruh.
Melinda bisa tahu dari pakaian serta barang-barang yang melekat pada tubuhnya. Semua itu memiliki harga yang sangat fantastis, terutama jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangan kirinya.
"Udah ah, lebih baik gue mandi." Melinda beranjak bangun dari tidurnya, lalu pergi menuju kamar mandi.