"Ting... Tong... Ting... Tong...." Bel rumah berbunyi ketika Jonathan baru saja keluar dari lift.
"Siapa yang datang bertamu?" gumam Jonathan dengan kening yang berkerut.
Jonathan penasaran, tapi Jonathan malas untuk melihat siapa yang datang, jadi Jonathan membiarkan pelayan yang pergi untuk membuka pintu. Jonathan melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.
"Bi, Raline ke mana?" Jonathan bertanya pada salah satu pelayan yang sedang sibuk menata makanan di meja makan.
"Nyonya Raline sudah pergi sejak 1 jam yang lalu, Tuan."
Jonathan hanya mengangguk, tanpa berniat untuk mencari tahu ke mana Raline pergi. Jonathan sudah tahu ke mana Raline pergi, ke mana lagi kalau bukan untuk bertemu dengan teman-temannya.
"Silakan, Tuan."
"Terima kasih, Bi." Setelah mengucap terima kasih, Jonathan lalu menikmati makan malamnya. Kemarin malam Jonathan begadang, jadi tadi setelah makan siang, Jonathan memutuskan untuk kembali tidur. Jonathan bangun ketika hari sudah berajak malam, jadi sebenarnya Jonathan sudah melewatkan jam makan malamnya.
Jonathan menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Awalnya Jonathan memasang raut wajah ramah, tapi begitu tahu siapa yang datang, dengan cepat, raut wajahnya berubah masam.
Perubahan ekspresi Jonathan di sadari oleh Bian, karena itulah, Bian tak bisa menahan tawanya.
Jonathan memutar jengah bola matanya ketika mendengar tawa Bian yang menurutnya sangatlah menyebalkan.
"Ngapain lo ke rumah gue?"
Jika sedang di kantor, maka Jonathan dan Bian akan berbicara secara formal, tapi jika berada di luar kantor, maka Jonathan dan Bian akan berbicara nonformal, seperti sahabat pada umumnya.
"Mainlah, memangnya mau ngapain lagi?" Bian duduk di hadapan Jonathan.
"Tumben mainnya ke rumah gue? Pacar lo ke mana?" Jika Jonathan sudah menikah, maka lain halnya dengan Bian yang belum menikah.
Bian memang belum menikah, tapi saat ini Bian sedang menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita yang Jonathan tak tahu siapa.
"Dia lagi marah sama gue," lirih Bian sambil menyandarkan punggungnya di sofa. Jika saja sang kekasih tidak marah, pasti saat ini dirinya sedang bersama dengan kekasihnya tersebut.
"Pantesan lo mainnya ke rumah gue, ternyata lo sama pacar lo lagi beranten."
Biasanya ketika hari libur tiba, Bian memang akan menghabiskan waktunya bersama sang kekasih, dan Jonathan tahu itu, karena itulah tadi Jonathan sempat terkejut ketika melihat kedatangan Bian.
Bian hanya mengangguk.
"Jadi, kenapa kalian berdua bertengkar?"
"Biasalah, karena cemburu."
"Siapa yang cemburu? Lo atau dia?"
"Gue, gue yang cemburu."
Jika tadi Bian yang tertawa, maka kali ini giliran Jonathan yang tertawa, bahkan tawa Jonathan jauh lebih keras dari Bian.
Bian mendengus.
"Lo cemburu? Astaga!" Jonathan benar-benar tak percaya jika sang sahabatlah yang cemburu, padahal awalnya Jonathan berpikir jika kekasih Bianlah yang cemburu karena ada banyak sekali wanita yang mencoba mendekati dan mencari perhatian dari Bian.
Bian hanya diam, enggan menanggapi ucapan Jonathan.
"Sebenarnya pacar lo itu siapa sih?" Sampai sekarang, Jonathan tidak tahu siapa wanita yang saat ini menyandang status sebagai kekasih Bian. Padahal Bian dan wanita tersebut sudah menjalin hubungan asmara selama hampir 2 bulan lamanya, memang terhitung masih baru, tapi tetap saja, Jonathan penasaran. Jonathan ingin tahu, siapa wanita yang berhasil menaklukan sang sahabat, pria yang terkenal sangat dingin, terutama pada kaum Hawa.
Meskipun Bian terkenal sangat cuek, tapi sejak dulu, ada banyak sekali wanita yang mendekati Bian, mencoba menarik perhatian Bian. Namun sayangnya, tak ada yang mampu memikat hati Bian, tapi iu semua berubah 2 bulan yang lalu.
"Rahasia."
"Lo enggak mau kenalin dia ke gue?"
"Enggak!"
"Kenapa? Lo takut kalau dia bakalan jatuh cinta sama gue?" Jonathan tersenyum sambil menaik turunkan alisnya, sengaja menggoda sang sahabat.
Bian menggeleng. "Sama sekali enggak, karena gue tahu kalau dia cuma cinta sama gue," jawabnya sambil tersenyum lebar.
"Ya kalau lo tahu dia cuma cinta sama lo, kenapa lo merasa cemburu?"
"Soalnya ada banyak banget pria yang deketin dia," Bian menjawab ketus. Jika mengingat kembali betapa banyaknya pria yang mencoba untuk mendekati sang kekasih, maka Bian akan merasa sangat kesal.
"Itu artinya lo sama dia seimbang."
"Maksud lo?"
"Dia didekati oleh banyak pria, begitu juga dengan lo yang didekati oleh banyak wanita."
"Iya, sih."
"Apa pacar lo merespon setiap pria yang mendekatinya?"
Bian menggeleng. "Enggak."
"Ya baguslah kalau begitu. Tapi, apa mereka enggak tahu kalau wanita lo udah punya kekasih dan itu lo?"
"Hubungan kita dirahasiakan, dan gue sendiri yang meminta hubungan diantara gue sama dia dirahasiakan."
"Lo sendiri yang meminta hubungan kalian dirahasiakan tapi lo sendiri yang galau."
"Sekarang gue menyesal karena meminta dia untuk merahasiakan hubungan kita."
Jonathan kembali tertawa, sedangkan Bian semakin terlihat sangat frustasi.
"Gue akan kenalin dia ke lo nanti."
"Iya, tapi kapan?"
"Kalau dia udah terima lamaran gue."
Jawaban yang Bian berikan langsung membuat Jonathan tersedak.
Kali ini giliran Bian yang tertawa. Menurut Bian, raut wajah Jonathan ketika tersedak sangatlah lucu dan menggemaskan.
"Lo mau lamar dia?" tanya Jonathan sesaat setelah rasa sakit di tenggorokannya mereda.
"Iya, gue berencana untuk melamar dia."
"Gila! Gerak cepat juga lo."
"Sejak awal gue udah bilang sama dia kalau gue benar-benar serius sama dia, dan gue akan membuktikan ke dia betapa seriusnya gue."
"Bagus, gue suka gaya lo." Jonathan benar-benar salut pada Bian, tak menyangka jika Bian akan bergerak secepat ini untuk segera meresmikan hubungannya.
Jonathan dan Bian terus mengobrol. Begitu Jonathan selesai makan, keduanya memutuskan mengobrol di ruang keluarga.
Tak terasa, 1 jam sudah berlalu sejak Bian datang berkunjung ke kediaman Jonathan. Saat ini, Jonathan hanya sendiri, karena Bian sedang membuat kopi.
Tak lama kemudian, Bian kembali dengan nampan yang berisi 2 cangkir kopi.
Bian menghentikan sejenak langkahnya, menghela nafas panjang ketika melihat Jonathan uring-uringan.
Sudah 2 minggu belakangan ini, Jonathan uring-uringan. Jonathan terlihat resah juga gelisah, dan itu mengusik Bian.
Kenapa Bian harus merasa terusik dengan sikap Jonathan? Itu karena Bian tahu jika pekerjaan di kantor berjalan dengan baik, jadi seharusnya tidak ada hal yang menganggu pikiran Jonathan.
"Lo kenapa sih?" Bian bertanya dengan nada kesal.
Jonathan menoleh, menatap Bian yang sudah duduk di sampingnya dengan raut wajah bingung. "Maksudnya?"
"Gue perhatikan, sejak 2 minggu belakangan ini lo uring-uringan terus."
Jonathan terkejut, tak menyangka jika selama ini Bian memperhatikannya sekaligus sadar tentang keresahan yang di rasakannya.
"Gue enggak apa-apa kok."
Bian memutar jengah bola matanya begitu mendengar jawaban Jonathan. Bian jelas tidak akan percaya dengan jawaban yang baru saja Jonathan berikan.
"Lo pikir gue akan percaya sama jawaban lo?"
"Lo mau percaya atau enggak itu bukan urusan gue."
"Lo lagi ada masalah sama Raline?" Bian terus mendesak Jonatan agar sahabatnya itu mau mememberitahunya, apa yang sebenarnya sedang Jonathan pikirkan saat ini?
"Alasan gue enggak mau menjawab pertanyaan lo karena gue enggak mau cerita sama lo."
Bian mengangkat kedua tangannya sebagai pertanda jika ia menyerah, tidak ingin tahu lagi alasan kenapa beberapa hari belakangan ini Jonathan gelisah.
"Besok minggu, dan kita libur, bagaimana kalau malam ini kita pergi ke club?" ucap Bian penuh semangat.
"Enggak ah, gue lagi males." Tanpa banyak berpikir, Jonathan menolak ajakan Bian.
"Ayolah Jonathan, kita senang-senang, sesekali. Kita jarang loh pergi ke club, 1 bulan sekali aja belum tentu." Bian mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu memohon.
Jonathan tetap menggeleng.
"Awas ya lo kalau minta bantuan lagi sama gue, gue enggak akan mau bantu lo!" Bian mengeluarkan jurus kedua, yaitu mengancam Jonathan. Jika jurus kedua masih tidak mempan, maka Bian menyerah.
Kemarin, Jonathan memang meminta bantuan Bian, lebih tepatnya memohon pada Bian untuk menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya Jonathan kerjakan sendiri. Jonathan meminta bantuan Bian, karena Jonathan tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya.
Jonathan seketika merasa tidak enak hati pada Bian. "Ok, ok, kita pergi ke club."
Bian memekik, luar biasa senang karena Jonathan mau pergi ke club bersama dengannya.
"Ya sudah, ayo kita pergi sekarang."
"Ini masih jam 8, Bian."
"Iya, gue tahu. Tapi kan jalanan macet, jadi kita harus berangkat dari sekarang." Club yang biasanya ia dan Jonathan datangi letaknya cukup jauh, dan jalanan ke arah club tersebutlah sering sekali macet, jadi Bian ingin berangkat dari sekarang.
Dengan malas, Jonathan beranjak bangun dari duduknya, begitu pula dengan Bian.
Benar saja, jalanan sangat macet, karena banjir sekaligus ada kecelakaan lalu lintas.
Setelah hampir 1 jam, akhirnya Jonathan dan Bian sampai di club.
Begitu memasuki club, Jonathan dan Bian langsung duduk di tempat yang sebelumnya sudah Bian pesan.
Tak lama kemudian, minuman yang Bian dan Jonathan pesan tiba. Bian memesan minuman dengan kadar alkohol tinggi, berbeda dengan Jonathan yang memilih untuk memesan minuman dengan kadar alkohol rendah.
Semakin malam, club semakin ramai, dan itu membuat Jonathan pusing, lain halnya dengan Bian yang terlihat sekali sangat menikmati suasana yang terjadi.
"Lo mau tetap di sini?"
"Iya, gue mau tetap di sini."
"Ya udah, gue mau turun dulu." Bian merasa tidak afdol jika sudah datang berkunjung ke club tapi tidak ikut berjoget dengan para pengunjung club yang lainnya.
Jonathan baru saja akan kembali menenggak minumannya ketika melihat siluet dari seorang wanita yang sudah 2 minggu belakangan ini terus menghantui pikirannya.
Kedua mata Jonathan memicing, mencoba memastikan apa benar jika wanita tersebut adalah wanita yang 2 minggu lalu ia tabrak di mall.
"Kenapa dia ada di sini?" gumam Jonathan sesaat setelah yakin jika wanita itu memanglah wanita yang ia temui 2 minggu yang lalu.
Sepertinya Jonathan lupa jika club adalah tempat yang bisa didatangi oleh semua orang.
Tanpa sadar, Jonathan memindai penampilan Melinda, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. "s**t! dia terlihat sangat seksi meskipun memakai pakaian tertutup.
Kebanyakan para pengunjung club memakai pakaian yang memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya, berbeda dengan Melinda yang memakai pakaian tertutup.
"Apa dia datang sendiri? Atau jangan-jangan dia datang bersama kekasihnya?" Perasaan Jonathan semakin resah ketika memikirkan kemungkinan jika Melinda datang bersama kekasihnya.
Tak berselang lama kemudian, Jonathan melihat seorang pria menghampiri Melinda, lalu duduk di samping Melinda yang sudah mabuk berat.
"Apa dia kekasihnya?" Jonathan terlihat semakin panik.
"Jangan sentuh-sentuh gue!" Melinda segera menepis tangan pria yang sama sekali tidak dikenalnya begitu si pria berniat merangkul pinggangnya.
"Ayolah cantik, lo datang sendiri, kan? Gue temenin ya biar lo enggak kesepian." Pria tersebut terus menggoda Melinda, dan mencoba untuk kembali menyentuh Melinda.
Sayangnya, Melinda kembali menepis tangan pria tersebut, bahkan mulai mengumpati si pria dengan cara mengatakan jika pria itu adalah pria b******k.
"Dia bukan kekasihnya," desis Jonathan ketika melihat Melinda mulai merasa tidak nyaman, dan terlihat sangat marah.
Kedua tangan Jonathan mengepal sempurna, lalu urat-urat di lehernya tampak menonjol sebagai pertanda jika saat ini emosi sudah menguasai Jonathan.
Jonathan berdiri, dengan langkah lebar menghampiri Melinda.
"Sebaiknya lo pergi atau gue akan teriak dan bilang kalau lo memperkosa gue!" Ancam Melinda sungguh-sungguh.
Pria tersebut mendengus, lalu pergi meninggalkan Melinda.
Jonathan bernafas lega ketika melihat si pria pergi. Jika saja pria itu tidak pergi, Jonathan berniat untuk memberinya pelajaran.
"Nona, Anda sudah mabuk, jadi sebaiknya Anda tidak minum lagi." Sang bartender yang bernama Romi menolak ketika Melinda meminta Romi kembali mengisi gelasnya dengan minuman.
Melinda mendengus, lalu menyandarkan kepalanya di meja ketika rasa pusing mulai menyerang.
Romi hanya menggeleng, lalu pergi meninggalkan Melinda.
"Tenanglah Jonathan, jangan gugup." Jonathan merasa jantungnya semakin berdetak cepat saat jarak antara dirinya dengan Melinda semakin dekat.
"Nona, apa Anda baik-baik saja?" Jonathan melambaikan telapak tangan kanannya di depan wajah Melinda.
Tanpa sadar, Jonathan mengamati wajah Melinda. "Cantik," gumamnya sambil tersenyum tipis.
Melinda yang sudah mabuk berat hanya bergumam, sama sekali tidak berniat untuk membuka kelopak matanya yang terasa berat, atau menjawab pertanyaan Jonathan.
"s**t! Dia mabuk berat," umpat Jonathan sambil menyugar kasar rambutnya.
"Jo, lo kenal sama dia?"
"Gue mengenalnya, Rom."
"Gue si baru pertama kali ini lihat dia."
"Dia datang sendiri, Rom?"
"Gue gak tahu, Jo. Tapi sepertinya dia memang datang sendiri."
Ponsel Jonathan tiba-tiba berdering.
Jonathan meraih ponselnya, menghela nafas panjang ketika melihat nama sang Bundalah yang terpampang di layar ponselnya.
Jonathan tidak akan mengangkat panggilan dari Aliya. Aliya pasti akan memarahi Jonathan jika tahu saat ini Jonathan berada di club.
"Jo, sebaiknya lo bawa dia pulang. Dia udah hangover tuh. Kasihan kalau di sini, nanti dia di godain sama pria hidung belang." Tadi Jonathan mengatakan jika Jonathan mengenal Melinda, karena itulah Romi berpikir kalau Melinda akan aman jika bersama Jonathan
Tanpa pikir panjang, Jonathan mengangguk, setuju dengan saran yang Romi berikan.
Jonathan tidak mau kejadian seperti tadi terulang, jadi Jonathan akan membawa Melinda pulang.
"Ayo kita pulang." Jonathan memapah Melinda.
Melinda yang sudah mabuk berat hanya bisa pasrah.
Tak berselang lama setelah Jonathan dan Melinda pergi, Bian kembali ke tempat di mana tadi Jonathan duduk.
"Jonathan ke mana ya?" gumam Bian sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru club.
Pengunjung club sangat banyak, membuat Bian kesulitan untuk mencari di mana Jonathan berada. Bian menghampiri Romi, untuk bertanya pada Romi, siapa tahu Romi tahu di mana keberadaan Jonathan.
"Rom, lo lihat Jonathan?"
"Jonathan pulang."
"Pulang?" teriak Bian secara spontan.
"Dia ditelepon sama Ibunya, di suruh pulang." Sebelum pergi, Jonathan sudah berpesan pada Romi, meminta agar Romi tidak mengatakan pada Bian jika dirinya pulang bersama wanita. Tanpa banyak tanya, Romi mengiyakan permintaan Jonathan.
"Oh, di telepon sama Ibunya." Awalnya Bian ingin marah, tapi begitu tahu kalau Jonathan pulang untuk menemui orang tuanya, Bian tidak jadi marah.