Raline tidak mau jika penampilannya yang berantakan dilihat oleh para pegawai di kantor Jonathan, karena itulah Raline meminta agar sang supir menjemputnya di basement. Tempat paling aman, karena tempat tersebut sangat sepi dari lalu lalang para pegawai kantor.
Tak sampai 15 menit kemudian, Raline sudah sampai di rumah, dan sekarang wanita itu sudah berada di dalam lift yang akan membawanya menuju lantai 3, tempat di mana kamarnya berada.
Tak lama kemudian, lift terbuka, Raline sudah sampai di lantai tujuannya.
Raline bergegas keluar dari lift, pergi menuju kamarnya yang hanya berjarak kurang lebih 10 meter dari lift.
Raline menutup pintu kamar dengan kencang, sampai menimbulkan bunyi yang cukup nyaring, bahkan sampai terdengar ke lantai 2 dan lantai 1.
Beberapa pelayan yang mendengarnya sontak terlonjak kaget, bahkan beberapa dari pelayan tersebut tanpa sadar latah. Mereka semua hanya bisa menggeleng, kemudian melanjutkan pekerjaan mereka.
Raline melemparkan tas mewahnya ke tempat tidur, lalu menjatuhkan semua barang-barang yang ada di meja riasnya sampai berserakan dan tak sedikit pula yang pecah.
Pecahan beling tersebut sekarang berserakan di lantai, mulai dari pecahan yang cukup kecil sampai pecahan yang besar pun ada.
Jika Raline tidak berhati-hati, maka kaki Raline bisa saja terluka.
Raline tidak perlu khawatir, meskipun barang-barang yang baru saja ia pecahkan harganya sangat mahal, bahkan terbilang cukup fantastis, tapi ia bisa kembali membelinya, tentu saja menggunakan uang milik suaminya.
"Dasar wanita tidak punya malu! Berani-beraninya mendekati pria yang sudah memiliki istri!" Teriak Raline penuh amarah, bahkan kini deru nafas Raline mulai memburu dengan urat leher yang menonjol serta kedua tangan yang mengepal erat.
Rasanya, Raline ingin sekali menampar dan menjambak rambut wanita yang sudah berani-beraninya mendekati Jonathan, suaminya.
"Apa pria yang berstatus lajang dan duda sudah tidak ada lagi? Kenapa harus mendekati pria yang sudah memiliki istri?" Raline terus mengumpat, mengeluarkan banyak sekali kata-kata kasar.
Raline bukan hanya mengumpat, tapi juga terus berteriak. Seolah belum puas, Raline kembali melampiaskan amarahnya dengan cara mengacak-ngacak meja kerjanya.
"Tenanglah, Raline, tenang," gumam Raline, menasehati dirinya sendiri agar kembali tenang dan tidak emosi.
Raline mengibas rambut panjangnya yang bergelombang kemudian mengipas-ngipas wajahnya sambil terus menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan.
Raline mengurungkan niatnya untuk kembali marah begitu mendengar ponselnya berdering. Raline mendekati tasnya yang berada di atas tempat tidur, segera meraih ponselnya yang terus berdering.
"Halo, Del," sapa Raline sesaat setelah mengangkat panggilan dari salah satu sahabatnya, Delia.
"Line, lo di mana? Hari ini sibuk gak?" Delia hanya basa-basi karena sebenarnya Delia tahu apa saja rutinitas Raline.
"Gue enggak sibuk, kok, kenapa?"
"Hangout yuk."
"Ayo, di mana? Di tempat biasa?" Tanpa pikir panjang, Raline menyetujui ajalan Delia. Raline tidak akan menolak ajakan Delia untuk berkumpul, karena sekarang yang ia butuhkan memang berkumpul bersama sahabat juga teman-temannya. Siapa tahu, setelah berkumpul, pikirannya bisa kembali jernih, lalu ia bisa memikirkan langkah apa yang selanjutnya harus ia ambil.
"Iya, di tempat biasa, club Heaven."
"Sama siapa aja?"
"Ya biasalah, sama anak-anak yang lain juga."
"Ok, gue mau siap-siap dulu ya."
"Santai aja, Raline. Seperti biasa ya, jam 5 kita kumpul dulu di rumah gue."
"Ok."
Begitu sambungan teleponnya dengan Delia berakhir, Raline segera pergi membersihkan diri.
3 jam adalah waktu yang Raline butuhkan untuk bersiap-siap. Membutuhkan waktu yang cukup lama, karena tadi Raline sempat berendam, dan seperti biasa, Raline juga membutuhkan banyak waktu ketika memilih pakaian sekaligus merias diri.
Sejak dulu, Raline selalu tampil power full, apalagi jika dalam berpenampilan. Wajar saja, karena pekerjaan Raline sebelumnya selalu menuntut Raline untuk tampil sempurna.
"Bi!" Begitu keluar dari lift, Raline berteriak memanggil pelayan.
Bi Laksmi dan Bi Mira bergegas menghampiri Raline, begitu melihat penampilan Raline, mereka berdua tahu kalau Raline akan pergi ke luar.
"Iya, Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" Bi Laksmilah yang bertanya, mewakili Bi Mira.
"Kamar saya berantakan, tolong bersihkan ya. Nanti pas saya pulang, keadaan kamar saya harus sudah bersih dan rapi seperti sedia kala ya, Bi!" Titah tegas Raline.
"Baik, Nyonya." Bi Laksmi dan Mira menjawab dengan kompak.
Tanpa mengucap terima kasih, Raline pergi meninggalkan rumah. Raline juga tidak memberi tahu ke mana dirinya akan pergi. Tujuan Raline sekarang adalah rumah Delia, sebelum nanti pergi ke club bersama dengan Delia juga teman-temannya yang lain.
Jika tadi ketika datang raut wajah Raline sangat marah, maka sekarang, raut wajah Raline tampak berseri-seri. Ya, secepat itulah mood Raline berubah.
Bi Laksmi dan Bi Mira bergegas pergi menuju kamar Raline, membersihkan kekacauan yang sudah Raline buat.
Tadi, meskipun samar, mereka bisa mendengar suara pecahan-pecahan barang dari kamar Raline.
Kedua wanita berbeda usia tersebut hanya bisa menggeleng begitu melihat betapa berantakannya kamar Raline.
Tak lama kemudian setelah Bi Laksmi dan Mira membereskan kekacauan di kamar Raline, keduanya mendengar suara mobil memasuki halaman rumah.
Bi Mira pergi ke belakang untuk membuang semua benda pecah belah dari kamar Raline, sementara Bi Laksmi pergi menuju pintu utama untuk menyambut kedatangan Tuannya.
"Selamat sore, Tuan," sapa Bi Laksmi sesaat setelah membuka pintu utama.
Bi Laksmi kemudian bergeser, mempersilakan sang Tuan memasuki rumah.
"Sore, Bi." Jonathan membalas sapaan Bi Laksmi sambil terus melangkah memasuki rumah.
Bi Laksmi bergegas mengikuti langkah lebar Jonathan. "Maaf, Tuan, apa malam ini Tuan akan makan malam di rumah?"
"Saya tidak akan makan malam di rumah, Bi."
"Baik, Tuan."
Jonathan tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan kemudian berbalik menghadap Bi Laksmi. "Bi, di mana Raline?" tanyanya dengan raut wajah datar.
"Nyonya pergi ke luar sejak 1 jam yang lalu, Tuan." Selama itulah waktu yang Bi Laksmi dan Bi Mira butuhkan untuk membereskan kekacauan di kamar Raline.
Jonathan hanya mengangguk, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju lift.
Lift yang Jonathan naiki akhirnya sampai di lantai 2.
Kamar Jonathan memang berada di lantai 2, sedangkan kamar Raline berada di lantai 3.
Sejak 1 tahun yang lalu, Jonathan dan Raline memang memutuskan untuk pisah ranjang. Keduanya akan berpura-pura tidur dalam 1 kamar yang sama jika kedua orang tua mereka datang berkunjung atau menginap, atau jika sedang acara kumpul keluarga.
Meskipun berada dalam 1 kamar yang sama, tapi Jonathan tidak pernah mau tidur 1 ranjang dengan Raline karena Jonathan akan memilih untuk tidur di sofa.
30 menit sudah berlalu sejak Jonathan pulang ke rumah.
Saat ini, Jonathan masih berada di dalam kamarnya, sedang duduk santai di tengah-tengah tempat tidur sambil menonton serial kesukaannya dari layar televisi yang ada di hadapannya.
Jonathan meraih ponselnya, yang baru saja bergetar.
Raut wajah Jonathan berubah cerah sesaat setelah membaca pesan yang baru saja masuk.
Jonathan bergegas menuruni tempat tidur, kemudian mengganti pakaiannya. Sambil mengganti pakaiannya, Jonathan menghubungi sang kekasih.
Pada panggilan pertama, dan kedua, sang kekasih tidak tidak mengangkat panggilannya, tapi pada panggilan ketiga, barulah panggilannya di angkat.
"Hai, Sayang," sapa Jonathan penuh semangat. "Aku mau ke apartemen kamu sekarang, kamu jangan tidur dulu ya, tunggu aku datang." Setelah mengatakan kalimat tersebut, secara sepihak, Jonathan mengakhiri panggilan telepon.
Jonathan tahu kalau saat ini kekasihnya pasti sedang bersumpah serapah padanya karena ia tiba-tiba mengatakan akan datang berkunjung, dan tanpa menunggu jawaban wanita itu, malah mematikan telepon.
Jonathan akan pergi mengunjungi kekasihnya, jadi Jonathan memutuskan untuk mengendarai sendiri mobilnya.
Tanpa Jonathan sadari, ada orang yang mengikuti mobilnya, dan orang tersebut adalah Raline.
Awalnya tujuan Raline pulang untuk mengambil barang milik Delia yang tertinggal di rumah, tapi tujuan Raline berubah ketika melihat Jonathan keluar dari rumah sambil mengendarai sendiri mobilnya.
"Mau pergi ke mana, dia?" gumam Raline sambil terus mengawasi mobil Jonathan. Raline tidak mau kehilangan jejak Jonathan.
"Jangan-jangan dia mau pergi menemui wanita selingkuhannya?" lirih Raline sambil mencengkram kuat setir mobilnya.
Raline tidak mau Jonathan sadar jika sedang ia ikuti, karena itulah Raline menjaga jarak aman dengan mobil Jonathan.
Mobil yang saat ini Raline kemudikan bukanlah mobil miliknya, tapi mobil milik salah satu temannya, dan sekarang Raline bersyukur karena tidak pulang menggunakan mobilnya sendiri.
Jonathan pasti akan langsung sadar jika sedang ia ikuti jika ia mengendarai sendiri mobilnya.
30 menit adalah waktu yang Jonathan butuhkan untuk sampai di apartemen kekasihnya.
Sebenarnya, jarak dari rumah ke apartemen tersebut bisa di tempuh dengan waktu 10 menit, tapi karena tadi Jonathan terlebih dahulu mampir untuk membeli makanan, jadi waktu yang di butuhkan untuk sampai di tempat tujuan jauh lebih lama.
Setelah tahu ke mana Jonathan pergi, Raline semakin yakin jika orang yang akan Jonathan temui memanglah selingkuhannya.
Raline membuka kaca mobilnya, menatap beberapa gedung pencakar langit di hadapannya dengan amarah membara. "Jadi wanita itu tinggal di sana?" gumamnya dengan deru nafas memburu.
Raline hanya bisa mengikuti mobil Jonathan sampai di luar kawasan apartemen. Raline tidak bisa masuk lebih dalam karena keamanan di kawasan apartemen tersebut sangatlah ketat, tidak sembarangan orang bisa memasukinya.
Hanya orang-orang yang memiliki kartu akses yang bisa memasuki apartemen tersebut, dan Raline tidak memilikinya. Tadi, Raline melihat Jonathan menempelkan tanda pengenalnya pada alat pemindai sebelum akhirnya mobil Jonathan bisa memasuki kawasan apartemen tersebut.
Raline kembali pulang ke rumah, dan setelah itu pergi kembali ke club menemui sahabat juga temannya.
Jonathan menekan bel sebanyak 3 kali. Jonathan tidak bisa langsung memasuki apartemen di hadapannya karena lupa membawa key cardnya.
Tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka. Begitu pintu apartemen terbuka lebar, pemandangan pertama kali yang Jonathan lihat adalah raut wajah judes dari sang kekasih.
Seperti yang sudah Jonathan duga, kekasihnya itu tidak akan menyambutnya dengan penuh suka cita, memberinya senyuman manis, pelukan atau kecupan di bibir.
"Hai, Sayang." Jonathan menyapa kekasihnya dengan senyum lebar.
Jonathan tahu kalau sang kekasih tidak akan membalas senyumannya, tapi Jonathan sama sekali tidak peduli, dan tetap memasang senyum lebar di wajahnya.
"Kamu tahu dari mana kalau aku sudah pulang dari luar kota?" Wanita di hadapan Jonathan menatap Jonathan dengan mata memicing penuh curiga.
Jonathan tidak menjawab pertanyaan Melinda, kekasihnya. Jonathan malah menerobos memasuki apartemen Melinda.
"Jonathan!" Melinda sontak berteriak, kesal karena pria itu malah mengabaikannya, dan tidak menjawab pertanyaannya.
Setelah memastikan kalau pintu apartemen tertutup, Melinda segera menyusul Jonathan yang sekarang sudah memasuki dapur.
"Jonathan, kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu tahu dari mana kalau aku sudah pulang dari luar kota?" Melinda tidak akan berhenti bertanya sebelum Jonathan menjawab pertanyaannya.
"Jonathan, kamu memata-matai aku?" Melinda akhirnya menyimpulkan sendiri alasan kenapa Jonathan bisa tahu tentang kepulangannya, padahal ia tidak memberi tahu Jonathan jika ia akan pulang hari ini.
Tanpa ragu Jonathan mengangguk, kemudian menatap lekat Melinda yang saat ini bersandar di ambang pintu dapur dengan kedua tangan bersedekap. "Iya, aku memang mematai-matai kamu, karena itulah, jangan berani untuk selingkuh dari aku."
"Dasar pria menyebalkan," rutuk Melinda. Dengan langkah lebar, Melinda menghampiri Jonathan. Dengan brutal, Melinda memukul punggung Jonathan menggunakan kedua tangannya.
Jonathan sama sekali tidak merasa sakit. Jonathan menoleh, menatap bingung Melinda. "Kenapa berhenti?" tanyanya sambil tersenyum geli.
"Tangan aku sakit," adu manja Melinda sambil menunjuk telapak tangan kanannya yang kini memerah.
Jonathan berbalik menghadap Melinda, meraih tangan kanan Melinda, meniup telapak tangan kanan Melinda yang memerah. "Sakit banget ya?" tanyanya panik.
"Udah enggak sakit, kok." Melihat Jonathan yang panik membuat Melinda merasa tak tega untuk terus mengeluh.
Melinda sontak melirik meja, ketika indera penciumannya menghirup aroma yang begitu menggugah selera. Mata Melinda berbinar begitu melihat makanan yang ada di meja. "Kamu bawa martabak?" tanyanya nyaris berteriak.
"Iya, Sayang. Aku bawain kamu martabak sama minuman boba kesukaan kamu." Jonathan menarik Melinda ke dalam pelukannya, dan Melinda sama sekali tidak menolak.
Rasa kesal Melinda pada Jonathan menguap, hilang begitu saja. Sekarang Melinda senang karena Jonathan sudah membawa makanan serta minuman kesukaannya, martabak dan boba.
Jonathan melepas pelukannya, kemudian merangkum wajah Melinda menggunakan kedua tangan lebarnya. "Sayang, kamu enggak kangen sama aku, hm?" bisiknya tepat di depan bibir ranum Melinda.
Tatapan intens yang Jonathan berikan membuat Melinda salah tingkah.
"Aku en–" Melinda tidak bisa melajutkan ucapannya, karena kini bibirnya sudah di bungkam oleh bibir tebal Jonathan.
Melinda mengalungkan kedua tangannya pada leher Jonathan, membiarkan Jonathan menciumnya, melumat bibir atas dan bawahnya dengan rakus. Melinda sama sekali tidak berniat untuk menolak, percuma saja menolak, Jonathan pasti akan tetap menciumnya.
Tangan kanan Jonathan menahan tengkuk Melinda, sementara tangan kirinya kini berada di pinggul Melinda, meremasnya pelan, kemudian mendorong tubuh sang kekasih agar semakin menempel dengan tubuhnya.
Akhirnya, akhirnya Jonathan bisa kembali merasakan kelembutan dari bibir Melinda setelah hampir 1 minggu ini tidak merasakannya.
Ciuman keduanya tidak bertahan lama, itu karena Jonathan tahu jika Melinda pasti sudah tidak sabar untuk segera menikmati makanan yang ia bawa.
Jonathan menempelkan keningnya pada kening Melinda sesaat setelah tautan bibir mereka terlepas. Ibu jari tangan kanan Jonathan terulur, menyeka salivanya yang tertinggal di bibir ranum Melinda, begitu juga dengan saliva Melinda yang tertinggal di bibirnya.
Melinda berjinjit, mengecup bibir bengkak Jonathan sambil tersenyum lebar.
Jonathan terkekeh, dan balas mengecup bibir Melinda yang juga membengkak.
"Eh, cuci tangan dulu." Jonathan mencekal tangan Melinda ketika tahu kalau kekasihnya itu akan mengambil martabak.
Melinda mengangguk, kemudian pergi untuk mencuci kedua tangannya.
Jonathan membawa semua makanan yang sudah ia tata di piring ke kamar, di ikuti oleh Melinda yang berjalan tepat di belakangnya.
Jonathan meletakkan semua makanan tersebut di meja, kemudian mulai menyalakan televisi, dan menonton serial kesukaannya juga Melinda.
Melinda sudah duduk bersila di sofa sambil menikmati martabak cokelat kacang keju kesukaannya.
Melinda tahu kalau Jonathan akan duduk di belakangnya, jadi Melinda menggeser sedikit duduknya ke depan, memberi Jonathan tempat untuk duduk.
Jonathan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Melinda, kemudian menenggelamkan wajahnya di rambut panjang Melinda yang tergerai.
"Ah, akhirnya aku bisa menghirup aroma tubuh kamu lagi," gumam Jonathan dengan perasaan lega.
Jonathan senang karena akhirnya ia bisa kembali memeluk dan mencium aroma tubuh Melinda setelah hampir 1 minggu mereka tidak bertemu. Bagi Jonathan, aroma tubuh Melinda sangatlah memabukkan.
1 minggu belakangan ini, Melinda berada di luar kota, sibuk melakukan pekerjaannya sebagai model.
Melinda hanya terkekeh, membiarkan Jonathan menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Melinda sudah tahu bagaimana sifat Jonathan, saat semakin di larang, maka Jonathan akan semakin menjadi. Jadi lebih baik biarkan saja.
Melinda menjauhkan kepalanya, lalu sedikit memutar tubuhnya menghadap Jonathan. "Buka mulutnya, biar aku suapin."
Jonathan menurut, membuka lebar mulutnya, menerima martabak pemberian Melinda.
"Apa kamu suka?"
Dengan penuh semangat, Melinda mengangguk, kemudian menjawab pertanyaan Jonathan sesaat sesaat makanan dalam mulutnya tertelan. "Aku suka martabaknya, enak banget. Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum lebar.
Ketika melihat Melinda tersenyum tulus dan lebar, Jonathan sadar kalau senyum Melinda adalah hal yang ingin selalu ia lihat. "Sama-sama, Sayang."
Tanpa Jonathan minta, Melinda mengecup bibir pria itu.
Jonathan tentu saja senang, karena jarang-jarang Melinda mau mengecup bibirnya terlebih dahulu. Biasanya harus selalu Jonathan paksa.
Melinda kembali memunggungi Jonathan, dan menikmati lagi makanannya. Melinda kembali menawari Jonathan, tapi Jonathan menolak.
"Jonathan."
"Iya?"
"Apa istri kamu tidak bertanya ke mana kamu akan pergi?" Melinda penasaran, bagaimana reaksi Raline ketika tahu Jonathan pergi dari rumah malam-malam begini.
"Tidak, karena dia sedang berada di luar."
"Apa sampai saat ini dia belum tahu jika suaminya selingkuh?" tanya Melinda dengan pelan.
"Belum, Melinda." Jonathan tidak akan memberi tahu Melinda kalau sebenarnya Raline sudah tahu jika dirinya selingkuh. Jonathan tidak mau menambah beban pikiran Melinda, apalagi saat ini Melinda baru saja pulang kerja, pasti kekasihnya ini masih sangat lelah.
"Jonathan, apa semuanya akan baik-baik saja?" Melinda tahu, cepat atau lambat, pasti Raline akan mengetahui perselingkuhan Jonathan dengan dirinya. Lalu jika nanti Raline sudah mengetahui tentang Jonathan yang berselingkuh dengannya, apa yang selanjutnya akan terjadi? Siapa yang akan Jonathan pilih? Dirinya atau justru sang istri, Raline? Ketika memikirkan semua itu, Melinda jadi teringat pada ucapan salah satu sahabatnya, Liora.
"Jangan pernah mengharapkan kesetiaan dari seorang pria yang sudah berselingkuh."
Melinda tahu, jika ia tidak seharusnya berharap kalau nanti Jonathan akan memilihnya, karena dirinya hanyalah wanita selingkuhan, tapi tetap saja, jika suatu saat nanti Jonathan di haruskan untuk memilih, maka Melinda berharap kalau Jonathan akan memilih untuk bersamanya, bukan Raline.
"Tenanglah, Sayang. Semuanya pasti akan baik-baik saja, percayalah." Jonathan memutar tubuh Melinda agar menghadap ke arahnya, lalu mengecup setiap jengkal wajah Melinda sebelum akhirnya memeluk Melinda.
Melinda hanya mengangguk, kemudian membalas pelukan Jonathan dengan tak kalah eratnya.
"Sayang, apa kamu ingat pertemuan pertama kita?" Jonathan mengecup pelipis Melinda, bukan hanya 1 kali, tapi berkali-kali. Jonathan bukan hanya mengecup pelipis Melinda, tapi juga mengecup pipi dan terkadang sudut bibir Melinda yang penuh dengan cokelat.
"Tentu saja aku mengingatnya, dan aku tidak akan pernah bisa melupakannya." Melinda menyahut ketus.
Jonathan terkekeh, kemudian mulai mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Melinda sampai akhirnya mereka bisa bersama seperti sekarang ini.
Jonathan tidak akan pernah bisa melupakan kejadian tersebut, begitu juga dengan Melinda.