17 - Perhatian Jonathan pada Melinda.

1523 Kata
Ting tong... Ting tong... Suara bel tersebut mengejutkan Melinda yang baru saja keluar dari kamar. "Siapa ya?" gumam Melinda dengan raut wajah bingung. Seingat Melinda, hari ini dirinya tidak memiliki janji bertemu dengan sahabat-sahabatnya, atau tidak sedang memesan paket juga memesan makanan melalui ojek online. "Jangan-jangan Jonathan," gumam Melinda dengan kedua mata melotot, tapi tak lama kemudian, Melinda menggeleng. "Tapi itu enggak mungkin, tadi pagi dia bilang kalau hari ini pekerjaan dia di kantor banyak." Melinda ingin tahu siapa orang yang menekan bel, karena itulah Melinda bergegas mendekati pintu. Sebelum membuka pintu apartemennya, Melinda terlebih dahulu melihat dari layar cctv yang ada di samping pintu, dan saat melihat pakaian yang di kenakan oleh orang yang saat ini berdiri di depan pintu apartemennya, Melinda tahu kalau orang tersebut adalah petugas ojek online. "Ada apa ya?" gumam Melinda sambil menempelkan telapak tangannya pada alat pemindai, dan tak lama kemudian, pintu apartemennya terbuka. "Selamat siang, Mba." Pria tersebut langsung menyapa Melinda. "Selamat siang, Mas. Ada apa ya?" tanya Melinda yang saat ini terlihat sekali sangat bingung. "Ini pesanannya, Mba." Petugas ojek online tersebut lantas menyerahkan paper bag yang memiliki logo salah satu restoran terkenal pada Melinda. Melinda menerimanya dengan raut wajah bingung. "Tapi Mas, saya enggak memesan makanan ini," ucapnya sambil mengangkat paper bag yang saat ini ada di tangan kanannya. "Itu dipesan atas nama Pak Jonathan, dan diperuntukkan untuk Mba Melinda." "Jonathan?" Ulang Melinda memperjelas. "Iya, Mba." "Ok, saya mengenalnya." Tanpa berpikir panjang, Melinda langsung berpikir kalau Jonathan yang dimaksud adalah Jonathan yang sudah membuatnya stres, dan nyaris gila. "Kalau begitu, saya tidak salah alamat." Melinda terkekeh. "Terima kasih banyak ya, Mas." "Sama-sama, Mba." Begitu ojek online tersebut pergi, Melinda kembali memasuki apartemennya. Pintu apartemen baru saja tertutup begitu Melinda mendengar ponselnya berdering. Melinda meletakkan kotak makanan tersebut di meja, lalu duduk di sofa sebelum akhirnya meraih ponselnya yang terus berdering. "Jonathan," gumam Melinda sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut. "Ada apa?" Melinda bertanya dengan lemah lembut. "Apa makanannya sudah sampai?" "Sudah." "Semoga kamu menyukainya." Melinda lalu menatap ke arah paper bag yang tadi ia letakkan di meja, tersenyum ketika tahu dari restoran mana makanan tersebut berasal. "Terima kasih banyak atas kiriman makan siangnya, Jonathan." "Sama-sama, Sayang." Raut wajah Melinda seketika merah merona begitu mendengar Jonathan memanggilnya dengan sebutan Sayang. Ini bukan kali pertama Melinda mendengarkan panggilan tersebut dari Jonathan, tapi tetap saja, Melinda merasa sangat deg-degan. Melinda tidak tahu, apa lagi yang harus ia katakan, jadi ia memilih untuk diam. "Kamu pasti lapar, jadi makanlah." "Iya," sahut pelan Melinda. "Selamat menikmatinya, Baby." Tanpa sadar, Melinda tersenyum. "Bye." "Bye," balas Jonathan. Melinda meletakkan ponselnya di meja, lalu bergegas meraih paper bag tersebut. Makanan yang Jonathan kirim adalah makanan kesukaan Melinda. "Ini enak banget," ucap Melinda dengan binar bahagia yang terlihat jelas di kedua manik matanya. Melinda menikmati makan siangnya dengan lahap, lain halnya dengan Jonathan yang sampai saat ini masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. "Masuk!" Jonathan berteriak, memberi izin pada orang yang baru saja mengetuk pintu ruang kerjanya. Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Jonathan terbuka, dan masuklah Bian. "Jo," panggil Bian sambil melangkah mendekati Jonathan. "Ada apa?" tanya Jonathan tanpa menatap ke arah Bian. Bian menyandarkan tubuhnya di sofa, menghadap langsung ke arah meja kerja Jonathan. "Lo mau makan siang di mana?" "Gue mau makan siang di kantor aja." Bian kecewa dengan jawaban yang Jonathan berikan. Bian berharap kalau Jonathan akan makan siang di luar, tapi ternyata Jonathan malah memilih untuk makan siang di kantor. "Lo enggak mau makan siang di luar?" "Enggak mau." "Tumben banget," keluh Bian. "Kenapa?" tanyanya penasaran. "Gue lagi males aja makan siang di luar." Jonathan ingin segera menyelesaikan pekerjaannya supaya ia bisa segera menemui Melinda. "Ya udah kalau begitu, gue juga makan siang di kantor aja." Bian juga malas makan siang di luar kalau hanya sendirian. "Hm," sahut Jonathan. "Lo mau makan apa?" Bian beralih duduk di sofa, lalu meraih ponselnya untuk memesan makan siangnya dan juga Jonathan. "Terserah lo." Setelah mendengar jawaban Jonathan, Bian tidak lagi bertanya, dan mulai memesan makan siang untuknya dan untuk sang sahabat, Jonathan. Seusai menikmati makan siang bersama dengan Jonathan, Bian kembali ke ruangannya, melanjutkan pekerjaannya, meninggalkan Jonathan yang juga langsung kembali bekerja. Ponsel Jonathan berdering nyaring. Begitu melihat nama Ralinelah yang tertera di layar ponselnya, Jonathan mengabaikan panggilan tersebut. Jonathan malas mengangkat panggilan dari Raline. Seandainya saja orang yang menghubunginya adalah Melinda, Jonathan pasti akan langsung mengangkatnya. Tak lama kemudian, ada pesan masuk, dan ternyata pesan tersebut dari Raline. Kali ini, Jonathan meraih ponselnya, kemudian membaca pesan yang baru saja Raline kirimkan. "Sial!" Umpat Jonathan sesaat setelah membaca pesan tersebut. Raline memeberi tahu Jonathan kalau nanti malam, ada acara penting yang harus mereka hadiri. Jonathan hanya membaca pesan Raline, tanpa membalasnya. Awalnya Jonathan sangat bersemangat, tapi setelah membaca pesan dari Raline, semangat Jonathan menghilang. Waktunya pulang." Jonathan lalu merapikan meja kerjanya. "Ke mana dia?" gumam Jonathan ketika tidak melihat Bian di balik meja kerjanya. "Pasti dia da di toilet." Jonathan baru saja memasuki lift ketika mendengar panggilan dari Bian. "Jo, tahan pintunya!" Teriak Bian sambil berlari mendekati lift yang baru saja Jonathan masuki. Bukannya menahan pintu lift supaya tetap terbuka, Jonathan malah menekan tombol supaya pintu lift segera tertutup. Saat ini, Jonathan sedang ingin sendiri, tidak mau bersama Bian. "Jonathan sialan!" Umpat Bian dengan mata melotot, tak menyangka jika Jonathan malah akan menekan Jonathan terkekeh, lalu melambaikan telapak tangan kanannya pada Bian sesaat sebelum akhirnya pintu lift tertutup dengan sempurna. Bian memberi Jonathan jari tengah, dan itu membuat tawa Jonathan lolos. Begitu lift bergerak turun, Jonathan langsung meraih ponselnya, lalu menghubungi Melinda. Inilah alasan sebenarnya Jonathan tidak mau satu lift bersama Bian, karena Jonathan ingin menghubungi Melinda. Jika Bian satu lift dengannya, sudah pasti ia tidak akan bisa menghubungi sang kekasih, Melinda. Jonathan menyandarkan tubuhnya di dinding lift dengan kedua mata terpejam. Senyum tipis menghiasi wajah Jonathan begitu Melinda mengangkat panggilannya. "Halo." Bukannya membalas sapaan Melinda, Jonathan malah tersenyum lebar. Suara Melinda sangat merdu, membuat Jonathan selalu ingin mendengarnya, lagi, dan lagi. "Jonathan!" Melinda akhirnya menegur Jonathan yang tak kunjung membalas sapaannya. "Ah iya," sahut Jonathan salah tingkah. "Ada apa?" Sebenarnya Melinda sudah bisa menebak, apa yang akan Jonathan bicarakan dengannya. "Kamu di mana?" Jonathan balik bertanya tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan Melinda, dan itu membuat Melinda kesal. "Tentu saja di apartemen, kenapa?" Melinda menjawab ketus pertanyaan Jonathan. "Tidak apa-apa," sahut santai Jonathan. Melinda mendengus, dan Jonathan mendengarnya. Jonathan malah terkekeh, sedangkan Melinda memutar jengah kedua matanya begitu mendengar tawa Jonathan yang menurutnya sangatlah menyebalkan. "Sebenarnya saya ingin menemui kamu, Melinda. Tapi ternyata ada acara penting yang harus saya hadiri." Jonathan tidak mau pergi menghadiri acara amal yang diselenggarakan oleh kedua orang tua Raline, tapi jika ia tidak datang, pasti akan ada banyak sekali gosip yang beredar, dan kedua orang tuanya pasti akan memarahinya. "Baguslah kalau begitu." Jonathan sontak mendengus ketika mendengar betapa bahagianya Melinda saat ini. "Kamu terdengar sekali sangat bahagia," ucapnya ketus. Kali ini giliran Melinda yang tertawa, merasa puas ketika mendengar, betapa sedihnya Jonathan saat ini, terdengar jelas dari nada bicaranya. "Aku memang bahagia." "Baiklah kalau begitu, selamat bersenang-senang." Tanpa membalas ucapan Jonathan, Melinda mengakhiri panggilan tersebut secara sepihak. Jonathan mendengus, tapi tak lama kemudian, senyum manis kembali menghiasi wajahnya. Jonathan masih tak menyangka kalau pada akhirnya, ia bisa kembali bertemu dengan Melinda sampai akhirnya. Begitu lift terbuka, ekspresi wajah Jonathan berubah kembali menjadi datar. "Selamat sore, Pak." Sapaan-sapaan tersebut terus-menerus terdengar begitu Jonathan melangkah keluar dari dalam lift. Jonathan yang memang terkenal sangat dingin, hanya membalas sapaan-sapaan tersebut dengan anggukan kepala, tak ada senyuman di wajahnya seperti tadi ketika berbicara dengan Melinda. Begitu keluar dari loby, sang supir yang bernama Pak Sigit, terlebih dahulu menyapa Jonathan, setelah itu barulah membuka pintu mobil untuk sang majikan. Lalu lintas sore ini jauh lebih padat dari biasanya, dan itu karena adanya banjir, jadi beberapa titik jalan di tutup, membuat volume kendaraan di beberapa titik jalan menjadi sangat padat. Sontak saja hal tersebut membuat perjalan Jonathan ke rumah yang biasanya hanya memakan waktu tak lebih dari 10 menit menjadi lebih lama, yaitu sampai 20 menit. "Mas," sapa Raline dengan raut wajah bahagia begitu melihat Jonathan memasuki rumah. "Acaranya jam berapa?" tanya Jonathan sambil terus melangkah menuju lift, diikuti oleh Raline yang berjalan tepat di sampingnya. Tadi Raline hanya memberi tahu kalau malam ini mereka harus menghadiri acara amal yang diadakan oleh kedua orang tuanya tanpa memberi tahu Jonathan lebih mendetail tentang acara tersebut. "Acaranya di mulai jam 8, Mas. Jadi kita harus berangkat 30 menit sebelum acara dimulai." Jonathan melirik jam yang menghiasi pergelangan tangan kanannya. "Ok, masih ada waktu untuk bersiap," ucap Jonathan dalam hati. Sekarang masih pukul 5 lewat 30 menit, itu artinya Jonathan masih memiliki banyak sekali waktu untuk bersiap-siap. Jonathan memasuki lift, begitu juga dengan Raline. Selama bersama di dalam lift, Jonathan dan Raline sama-sama diam. Raline ingin sekali mengajak Jonathan berbicara, tapi saat melihat betapa menyeramkannya wajah Jonathan, Raline segera mengurungkan niat tersebut, dan memilih untuk diam. Setibanya di lantai 2, Jonathan dan Raline berpisah, pergi ke kamarnya masing-masing. Jonathan akan bersiap-siap, begitu juga dengan Raline. Jonathan tidak akan membutuhkan waktu lama untuk bersiap-siap, berbeda dengan Raline yang pasti akan jauh membutuhkan waktu lebih lama ketimbang Jonathan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN