2

1871 Kata
Seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun tengah menerima hukuman dari sang ayah tanpa mengeluh sedikit pun meski pun ia tidak melakukan kesalahan sama sekali. Bocah laki-laki itu menggigit bibirnya, kedua tangannya mengepal menahan sakit akibat pukulan rotan pada betisnya. Ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Ia sudah terbiasa akan rasa sakit itu. Tak ada air mata yang keluar dari matanya meski rasa sakit menyiksanya. Baginya air mata tidak akan meringankan rasa sakitnya dan malah akan membuatnya terlihat lemah. Jadi tidak ada gunanya ia melakukan hal itu. Ia juga tidak meraung memohon ampunan. Melakukan hal itu sama saja dengan menyia-nyiakan suaranya. Pada akhirnya tidak akan ada yang mendengarkan permohonannya. Pertama kali ia dihukum atas kesalahan yang bukan ia perbuat adalah ketika ia berusia 5 tahun. Saudaranya, sang Putra Mahkota yang tidak ingin belajar, tetapi dirinya yang mendapatkan hukuman. Ia terus mengatakan pada ayah dan ibunya bahwa bukan dirinya yang menyebabkan Putra Mahkota tidak ingin belajar, tetapi ia seperti bicara pada dinding. Ayahnya bukan hanya tidak mendengarkannya, pria itu malah menambah hukuman. Sementara sang ibu hanya diam saja, tidak peduli sama sekali. Dari yang pertama, tentu ada yang kedua dan seterusnya. Ia masih terus mengatakan bahwa kesalahan demi kesalahan bukan dirinya yang melakukan. Namun, seperti yang pertama, sang ayah dan ibu tidak mendengarkan dan memberinya hukuman yang lebih berat. Ia tidak mengerti kenapa ia diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya, ia tidak mengerti kenapa mereka tidak pernah bermain dengannya, dan ia tidak mengerti kenapa ia tidak dicintai seperti orangtuanya mencintai Putra Mahkota dan saudaranya yang lain. Hingga suatu hari ia mengetahui alasan kenapa ia diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya dan juga orang lain di sekitarnya. Ia adalah putra dari seorang selir yang tinggal di istana dingin. Seorang selir yang dibenci oleh ayahnya. Yang namanya tidak boleh disebutkan sama sekali oleh sang ayah. Dan alasan lainnya adalah bahwa dirinya seorang pangeran pengganti. Ia yang masih berusia 7 tahun cukup memahami arti dari pangeran pengganti. Ia dilahirkan di hari yang sama dengan Putra Mahkota untuk menanggung semua nasib sial yang bisa menimpa Putra Mahkota. Ia dilahirkan untuk menerima semua hukuman atas kesalahan yang diperbuat oleh Putra Mahkota. Dengan kata lain, ia adalah tumbal untuk menyelamatkan Putra Mahkota dari nasib buruk dan rasa sakit. Kala itu ia sangat terpukul dengan semua kenyataan yang ia ketahui. Ia berlari meninggalkan kediamannya dan pergi ke istana dingin untuk bertemu dengan ibunya. Ia hanya ingin menanyakan kenapa sang ibu melahirkannya ke dunia hanya untuk disakiti. Di istana dingin ia melihat sosok wanita cantik dengan wajah lembut yang menenangkan. Wanita itu mengenakan gaun berwarna putih khas seorang yang tinggal di istana terbuang itu. Iris matanya berwarna cokelat, seperti mata rusa yang sering menjadi hewan buruan Drake. Bibir wanita itu berwarna merah muda. Drake pikir Ratu Camille merupakan wanita tercantik yang pernah ia lihat, tapi ternyata ada yang lebih cantik dari Ratu Camille, dan wanita itu adalah ibunya. Hari itu adalah hari pertama ia bertemu dengan wanita yang seharusnya ia panggil ibu. Pertemuan pertama antara anak dan ibu itu diselimuti tangis. Sang ibu mampu mengenali putranya yang setelah sekian tahun tidak ia lihat. Dan sang anak, kemarahannya akan nasib buruk yang ia tanggung berganti dengan tangis pilu dalam pelukan sang ibu. Setelah pertemuan mengharukan itu, bocah laki-laki yang merasa tidak ada satu orang pun yang menyayanginya kini tahu bahwa ada satu wanita yang terus berdoa untuk keselamatannya. Ada satu wanita yang menangis tiap malam untuknya karena rasa rindu. Dan ada satu wanita yang bertahan hidup dalam penghinaan demi dirinya. Semenjak saat itu ia bertekad untuk terus hidup. Seperti ibunya yang hidup untuk ia, maka ia juga akan hidup untuk ibunya. Ia berjanji suatu hari nanti ia akan membawa ibunya keluar dari istana dingin. Dua puluh pukulan telah ia terima. Kakinya sudah dibasahi oleh darah. Demi Ibu. Ini semua demi Ibu. Bocah laki-laki itu mencoba berdiri, tapi ia tidak begitu kuat. Ia hampir kehilangan pijakannya, jika saja pelayannya yang iba tidak segera menangkapnya maka ia pasti akan terjatuh. Tidak ingin menerima bantuan orang lain, ia melepaskan tangan pelayan wanita itu. Ia mulai melangkah tertatih dengan wajah menahan sakit. Meskipun usianya baru 10 tahun, tapi ia tidak pernah berpikir untuk mengandalkan bantuan orang lain. "Pangeran Drake, kau sangat menyedihkan," ejekan itu datang dari Putra Mahkota yang berdiri di atas sebuah tempat bersantai. Wajahnya terlihat begitu puas melihat saudaranya mengalami kesulitan karena dirinya. Bocah laki-laki yang tidak lain adalah Pangeran Drake mengabaikan Putra Mahkota. Ia terus berjalan menuju ke kediamannya. Suatu hari nanti, ketika ia memiliki kekuatan ia pasti akan meninggalkan istana. Ia akan membawa ibunya pergi bersamanya.   **   Dua belas tahun telah berlalu, Pangeran Drake telah tumbuh menjadi pria yang memiliki kekuatan di tangannya. Kehidupan sulit yang ia alami sejak kecil telah berhasil ia lewati. Rasa sakit yang ia terima telah menempanya menjadi pria luar biasa yang disegani oleh hampir semua pejabat di istana. Pangeran Drake O'Niel, namanya lebih dikenal daripada sang Putra Mahkota. Ia adalah jenderal perang paling ditakuti oleh lawan-lawannya. Ia disegani oleh para prajurit yang telah berperang bersamanya. Tidak hanya itu, ia juga terkenal di kalangan para wanita. Parasnya yang rupawan membuatnya menjadi idaman setiap wanita. Meski ia dikenal sebagai pembunuh berdarah dingin, tapi hal itu tidak mengurangi pesonanya. Drake tumbuh menjadi pria yang memiliki paras rupawan. Iris matanya kelabu, memancarkan sinar menakjubkan yang tidak mungkin bisa ditolak oleh orang lainn. Bentuk wajahnya terpahat sempurna, dengan rahang kokoh yang membuat ia tampak sangat maskulin. Alisnya hitam, hidung mancung serta bibir merah muda yang menggoda untuk dicicipi. Bagi wanita yang ada di kerajaan Artemis, Drake adalah pahlawan yang telah memberikan keamanan bagi tempat tinggal mereka. Tak peduli berapa banyak darah yang membasahi tangan Drake, mereka tetap ingin merasakan belaian dari tangan itu. Bahkan para wanita yang berasal dari kerajaan yang ia taklukan akan menyerahkan diri dengan senang hati. Namun, meski ia memiliki kekuatan militer yang besar, ia tetap tidak bisa membawa ibunya pergi dari kerajaan Artemis. Sang ibu telah dijadikan tawanan oleh sang raja agar dirinya tetap bertahan di istana. Drake bisa saja memberontak, tapi jika ia melakukan itu maka keinginannya untuk hidup bersama dengan sang ibu hanya akan menjadi mimpi belaka. Lagi-lagi, alasan Drake bertahan dari ketidakadilan yang terjadi padanya adalah karena wanita yang saat ini sedang terpenjara di sebuah tempat rahasia yang sengaja dibuat oleh sang raja untuk mengurung ibunya. Sang raja benar-benar tahu bagaimana cara mencengkramnya dengan baik. Itulah kenapa sang raja yang tidak pernah mengasihinya bisa mempercayakan kekuatan militer yang begitu besar padanya. Kemudian memperalatnya sebagai mesin pembunuh untuk para prajurit kerajaan lain yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Artemis. Puluhan peperangan telah Drake lalui sejak usia belasan tahun. Setengah dari hidupnya ia habiskan di medan perang yang tidak kenal ampun. Ribuan nyawa telah melayang di tangannya. Lautan darah sudah bukan hal aneh lagi baginya. Ketika berperang, Drake hanya punya satu tujuan, kemenangan. Ia tidak ingin mencari muka atau membuat raja bahagia atas kemenangan yang ia raih, tapi ia hanya mencari kepuasan untuknya sendiri. Nalurinya sebagai penakluk terus berkembang tanpa bisa ia kendalikan. Ia tidak peduli siapa yang akan mendapat pujian atas kemenangannya, yang ia tahu ia telah melakukan hal yang bisa membuat hatinya puas. Seperti saat ini, Drake tengah berada di medan perang. Ambisinya untuk menang telah mengirim ribuan nyawa pasukan lawan melayang. Burung gagak berpesta menyantap mayat-mayat yang bergelimpangan di medan perang. Hari ini adalah hari kesepuluh peperangan antara kerajaannya dan kerajaan Onyx. Dan seperti hari-hari lalu, ia dan pasukannya berhasil memukul mundur pasukan lawan. Kini ia hanya perlu menerobos ibukota untuk menghancurkan kerajaan Onyx. "Jenderal Agung, utusan kita telah pergi untuk memberikan kabar pada Yang Mulia Raja." Seorang pria berpakaian tempur memberi laporan pada Drake yang saat ini tengah mencuci tangannya yang dibasahi oleh darah dari musuh-musuhnya. Drake meraup air di dalam wadah yang terbuat dari tanah, kemudian membasuh wajahnya yang juga terkena darah. Kemudian ia melangkah memasuki tenda peristirahatannya diikuti oleh pria yang melapor tadi. "Minta para jenderal untuk berkumpul!" titahnya. "Baik, Jenderal Agung." Pria itu segera pergi keluar dari tenda. Drake memandangi peta yang ada di atas meja. Peta itu adalah gambaran dari jalur yang harus mereka lalui untuk sampai ke ibukota kerajaan Onyx. Drake tidak akan mengulur waktu, secepatnya ia akan pergi menuju ke sana. Seperti perintah Drake. Para jenderal kini berkumpul di tenda Drake. Mereka mendengarkan dengan seksama strategi dan perintah dari Drake. Sebagai Jenderal Agung tentu saja Drake memiliki strategi perang yang hebat yang bahkan tidak akan pernah terpikirkan oleh musuhnya. Selain itu Drake juga membuat formasi tak terkalahkan untuk prajurit-prajuritnya. Sementara itu di tempat lain saat ini Raja George — raja kerajaan Onyx— tengah melakukan hal yang sama. Ia juga mengumpulkan para jenderalnya yang tersisa, tapi bukan untuk membahas strategi selanjutnya melainkan untuk mengambil langkah yang terbaik untuk kerajaannya. "Kirimkan pesan pada Jenderal Drake, bahwa kerajaan Onyx mengakui kekalahan." Raja George mengambil keputusan yang sulit. Ia pasti akan dikecam oleh para prajuritnya karena pilihan yang ia ambil. Akan tetapi, ini adalah jalan terbaik bagi kerajaannya. Ia harus menyelamatkan rakyatnya dari Jenderal tirani yang memimpin pasukan kerajaan Artemis. Dan mengenai para prajurit yang telah tewas, ia akan bersujud pada langit untuk meminta pengampunan. Jenderal yang ada di ruangan itu ingin terlihat tidak menyukai keputusan Raja George, tapi mereka tidak bisa membantah sang penguasa. Mereka akan menerima kekalahan dan tunduk pada Kerajaan Artemis. Pertemuan selesai dengan perginya utusan Raja George. Pria berusia lima puluh tahunan itu kini terdiam di atas singgasananya. Kerajaan yang dibangun dengan susah payah oleh kakek moyangnya kini harus menerima kehancuran karena ketidakmampuannya memimpin kerajaan tersebut. Raja George tidak pernah menyangka bahwa ia akan dikalahkan oleh pria yang jauh lebih muda darinya. Harus ia akui, kepercayaan dirinya bahwa ia bisa mengalahkan pasukan Artemis yang terkenal telah salah. Pasukannya bukan lagi pasukan terkuat di benua Estland. Kekuatannya pun sudah tidak sama lagi seperti ketika ia muda. Renungan kegagalan membawa Raja George jatuh semakin dalam pada sebuah penyesalan. Jika saja ia memilih tunduk lebih cepat maka nyawa ribuan pasukannya tidak akan melayang. Ini semua karena keegoisannya. Kabar tentang Raja George yang mengakui kekalahan telah menyebar ke seluruh kerajaan. Wanita berparas cantik itu segera mendatangi ayahnya. Ia ingin memastikan sendiri bahwa apa yang ia dengar dari salah satu jenderal kerajaannya adalah kebenaran. Ia ingin memastikan sendiri bahwa apa yang ia dengar dari salah satu jenderal kerajaannya adalah kebenaran. "Putri Lluvena datang menghadap Ayahanda." Lluvena menundukan kepalanya memberi hormat pada sang ayah. Raja George yang tadi terlihat rapuh kini mencoba untuk tampak tegar. Ia tidak ingin putrinya melihat gurat gusar di matanya. "Salammu di terima, Putriku." Raja George tersenyum lembut. "Ayah, apakah benar berita yang beredar saat ini?" Lluvena tidak berbasa-basi. Wanita bermanik cokelat itu menatap ayahnya seksama. "Maafkan Ayah yang telah mengecewakanmu." Raja George menatap Lluvena menyesal. Kedua tangan Lluvena mengepal. Ayahnya tidak pernah meminta maaf seperti ini sebelumnya. Dan sekarang sang ayah mengucapkan kata itu karena tirani yang berasal dari Kerajaan Artemis. Lluvena tidak bisa menyalahkan ayahnya karena ia tahu sang ayah telah mencurahkan segala perhatian dan kekuatan untuk mempertahankan kehormatan kerajaan mereka. Ini semua salah Penguasa Artemis yang haus akan kekuasaan, terutama sang Jenderal Agung. "Ayah telah melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Apapun keputusan Ayah pasti demi keselamatan rakyat kita. Tidak perlu menyalahkan diri, Ayah. Para penguasa Artemis-lah yang terlalu rakus atas kekuasaan." Lluvena mencoba menyemangati sang ayah. Ia tahu saat ini tidak ada yang lebih hancur dari ayahnya. Sebutan 'Raja yang tak terkalahkan' kini sudah tidak bisa disematkan pada sang ayah. Semua kebanggaan yang ayahnya dapatkan telah sirna. Raja George diam, biasanya Lluvena akan menjadi penyejuk jiwanya di kala gundah, tapi saat ini bahkan sang putri kesayangan tidak bisa mengusir sedikit saja rasa itu di dalam jiwanya.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN