Sebuah mobil sedang mewah berwarna hitam memasuki rumah yang terletak di kawasan elit, dari pintu penumpang keluarlah seorang laki-laki tampan dengan tubuh yang tinggi. Hari masih sore ketika pria itu menginjakkan kaki kembali ke rumahnya. Biasanya, ia akan pulang ketika sudah lewat dari jam delapan malam.
Ervin berjalan memasuki rumah dan disambut dengan istrinya yang sudah menemaninya selama tujuh tahun terakhir ini berumah tangga. Senyuman menjulang manis dari bibir sang perempuan. “Udah pulang?”
“Kan tadi kamu yang nyuruh pulang cepat?” tanya balik Ervin. Kamila mencium tangan suaminya yang dibalas dengan ciuman hangat Ervin dikening Kamila.
“Rebahan dulu ya, aku mau siapin makanan buat kamu.”
“Tumben banget. Kamu juga udah bisa pulang jam segini?”
“Iya aku memang mau pulang cepat hari ini.” Ujar Kamila seraya melangkahkan kakinya ke dapur dan memakai apron untuk mengolah bahan masakan.
Bukannya beristirahat di kamar, Ervin malah mengikuti Kamila ke dapur. Ia memerhatikan sikap istrinya yang berbeda dari biasanya namun ia juga merasa senang melihatnya. “Kamu masak semur daging?”
“Iya ini udah mau selesai.”
“Ada perayaan apa ini kenapa kamu tumben masak semur daging? Bikin sendiri?”
“Enggak sepenuhnya sendiri sih, dibantuin sama Mbok juga.”
Ervin mengangguk paham lalu memeluk Kamila dari belakang. “Aku kangen deh sama kamu.”
Kamila sedikit terkejut dengan pelukan Ervin. “Nanti diliatin.”
“Ya gak pa-pa dong, kan halal.”
Kamila menepuk pelan punggung tangan suaminya yang melingkar diperut. “Udah sana ganti baju dulu, bentar lagi masakan udah selesai.”
Dengan berat hati Ervin melepaskan pelukannya dan melangkah gontai menuju kamar. Beberapa menit kemudian, masakan sudah dihidangkan di meja makan persegi panjang dan Ervin sudah kembali dengan kaos serta celana pendek kesukaannya. Mereka makan dengan tenang dan sesekali mengobrol seputar hari masing-masing. Malam harinya, Kamila sedang menonton siaran televisi sambil memainkan handphone nya, scrolling media social.
“Ya ampun, Jessica udah hamil lagi aja.” Celetuk Kamila. Disebelahnya, Ervin juga sedang memegang laptop sambil sesekali membalas email kerjaan.
“Jessica temen seangkatan kamu di kampus?”
Kamila mengangguk. “Udah anak ketiga. Padahal dulu dia nikahnya setahun setelah kita ya.”
“Ya berarti dia udah dikasih kepercayaan buat menerima amanah lagi.”
“Berarti kita belum dikasih kepercayaan ya?” tanya balik Kamila.
“Mungkin iya.”
“Kenapa sayang? Apa aku belum pantas untuk menjadi seorang ibu?”
Ervin meletakkan laptopnya. “Rejeki, Jodoh dan Mati itu udah ada yang ngatur. Itu semua rahasia Allah. Kita Cuma bisa berdoa dan berusaha. Kamu yang sabar ya, kita pasti punya anak di waktu yang tepat.”
Sebenarnya, Kamila sudah cukup sering mendengar suaminya berbicara hal yang sama namun ia hanya butuh keyakinan dari suaminya jika tidak ia pasti akan tenggelam dalam pikirannya. “Vin, kalau kamu dikasih pilihan buat nikah lagi gimana tanggapan kamu?”
Ervin mendelik dan menatap Kamila dengan pandangan penuh tanda tanya. “Gak ada pertanyaan yang lain?”
“Gak ada. Jawab vin.”
“Nikah lagi gimana maksudnya? Kan aku masih punya kamu.”
“Kalau kasusnya ini permintaan istrinya?”
“Mulai lagi kan, kalau tujuan aku pulang cepet Cuma untuk membahas ini aku lebih baik gak nurutin permintaan kamu tadi. Kamu lagi kenapa sih?”
Kamila melihat Ervin sudah mulai jengkel, “Aku Cuma sedang mencari solusi untuk kita.”
“Dengan cara kamu seperti itu?”
Cukup lama Kamila terdiam sampai akhirnya ia mengangguk.
“Kamu gak boleh egois, sayang. Kamu gak mempertimbangkan perasaan aku? Harusnya kamu bersyukur aku gak pernah main mata apalagi main hati sama perempuan lain, hati aku Insyaa Allah hanya untuk kamu.”
Air mata Kamila mulai membanjiri pipi nya yang putih mulus. “Justru aku merasa aku enggak bisa membahagiakan kamu dengan cara memberikan kamu keturunan.”
“Sayang, kita udah pernah membahas ini kan? Baru tadi aku bilang apa? Rejeki, jodoh dan maut udah ada yang ngatur.”
“Dan kita hanya bisa berdoa dan berusaha.” Kamila mengutip perkataan suaminya. “Tapi bagaimana kalau usaha yang dimaksud itu adalah dengan kamu menikah lagi dengan perempuan lain yang bisa memberikan kamu anak?”
Ervin memandang Kamila dengan takjub. “Kita bisa adopsi anak kalau kamu tidak sabar.”
“Aku mau itu dari darah daging kamu.”
“Jangan dilanjutin lagi, Mila. Aku mau tidur dulu ya. Aku gak mau kita berantem lagi.” Ervin bangkit bersiap untuk memasuki kamar. Kamila menahan tangan Ervin.
“Bagaimana kalau aku udah menemukan perempuan yang mau jadi istri kedua kamu? Dia sesuai dengan kriteria aku. Aku mau istri kedua kamu adalah pilihan dari aku sendiri, bukan pilihan dari kamu juga bukan pilihan orang lain.”
Ervin tidak menjawab.
“Please, Vin. Cuma itu keinginan aku. Kamu tau bagaimana cara kita untuk usaha promil tapi selama ini tidak pernah membuahkan hasil? Aku udah mikirin ini sudah berbulan-bulan. Aku gak semerta-merta mengajukan permintaan atas dasar pemikiran dangkal, aku udah pikirin apa resikonya. Aku Cuma gak mau kalau suatu hari nanti, kamu yang anak mencari sendiri atau bahkan orang lain yang akan menyarankan kamu untuk menikah lagi untuk mendapatkan keturunan.”
“Setidaknya pertimbangin dulu.” Lanjut Kamila lagi.
***
Akhirnya, sebuah keputusan pun harus di buat di bawah tekanan dan harus dalam keadaan waras jika tidak mau menyesalinya di kemudian hari. Itulah yang selalu ditekankan oleh Ghani setelah ia menelepon Kamila untuk memberitahunya bahwa ia setuju dengan perjanjian yang ditawarkan. Esok harinya, Kamila sudah melunasi p********n dan bahkan mencamtumkan dirinya sebagai wali untuk dihubungi jika ada masalah p********n.
Sebelum melakukan p********n, Ghani dan Kamila janjian bertemu di rumah sakit untuk bertemu dengan dokter kandungan untuk mengecek kesehatan Rahim Ghani dan hasilnya sungguh memuaskan Kamila.
“Terima kasih sudah menghubungi saya, Ghania.” Ujar Kamila ketika mereka sedang berada di rumah Ghani untuk membahas perjanjian mereka. Ghani hanya mengangguk menanggapinya.
“Setelah masa probation kamu selesai, kamu resign ya. Saya ingin kamu fokus ada pekerjaan baru kamu.”
Sekali lagi Ghani hanya mengangguk.
“Kamu gugup ya?”
Ghani baru mendongakkan kepalanya baru berani menatap Kamila. “Siapa yang tidak gugup? Saya hamil untuk orang yang tidak dikenal dan habis itu saya harus berpisah dengan anak saya dan memberikannya kepada pasangan yang sudah membayar saya.”
Kamila memaklumi. “Ini memang tidak mudah, tapi kamu tidak sendiri. Saya sendiri yang akan membantu kamu dan menemani kamu. Percaya sama saya ya.”
“Kita akan melangsungkan pernikahan seminggu dari sekarang, biar saya yang urus, dan satu lagi. Kamu akan tinggal di apartemen saya atau kemungkinan juga dirumah kami.”
“Kenapa saya tidak boleh tinggal disini?”
“Kamu kan nantinya jadi istrinya Ervin. Istri kan harus ikut suami nya tinggal. Sesederhana itu sih.” Kamila tersenyum.
***
Kamila menyunggingkan senyuman palinga sumringah setelah beberapa bulan dibuat oleh kesuntukan permasalahannya, walaupun didalam hati ia juga tidak bisa memungkiri apakah ia bisa melihat laki-laki yang sangat dicintai menikahi perempuan lain yang nantinya akan mengandung anaknya.
Hari pernikahan sudah ditentukan seminggu lagi. Segera setelah Ervin menyatakan bahwa akhirnya ia setuju dengan perjanjian yang dibuat oleh Kamila. Diantaranya, Ghani tidak boleh berada dibawah atap yang sama dengan mereka. Kamila memutuskan untuk memakai apartemen lama nya yang kebetulan penyewanya tidak mau memperpanjang menyewa apartemen miliknya.
Ada hal yang ingin ia lakukan pada hari pernikahan suaminya, walaupun pernikahan di bawah tangan namun Kamila mempersiapkan pernikahan itu bukan apa adanya. Mulai dari kebaya untuk Ghani, dan dekorasi backdrops untuk mempercantik ruangan yang akan digunakan pernikahan. Melihat hal ini, Ervin hanya bisa menggelengkan kepalanya. Entah apa yang direncakan oleh Kamila, hanya ia yang tahu.
Pada saat hari pernikahan tiba, Ghani memandangi takjub dirinya yang terpantul dari cermin besar disebuah kamar. Ia memakai kebaya brokat putih sederhana namun terkesan manis,wajahnya dipulas make up natural namun cukup membuat pangling. Di sebelahnya, ada Kamila yang tengah memandang Ghani sambil tersenyum.
“Kamu cantik sekali.”
Anehnya Ghani merasa malu dan tersipu mendengar pujian Kamila. Ia merasa momentnya tidak pas untuk gambaran hatinya saat ini. Pernikahan ini bukanlah seperti yang pernah ia bayangkan. Dulu, besama Dennis ia membayangkan menikah dengan sederhana dan didatangi oleh tamu istimewa. Sederhana dan bahagia.
Tidak dengan hari ini. Sederhana namun hambar. Ghani hanya memenuhi sebuah persyaratan perjanjian, Ia hanya bekerja. Sebagai seorang istri adalah pekerjaannya sekarang. Ia dibayar untuk itu.
Ghani di damping keluar kamar untuk segera melangsungkan pernikahan, disana sudah ada Ervin sedang duduk berhadapan dengan penghulu dan dua orang saksi dan wali hakim. Untuk pertama kalinya, Ghani melihat Ervin yang tidak dalam keadaan mabuk. Ia sepenuhnya sadar. Ia duduk tanpa melihat kehadiran Ghani yang sudah ada di sebelahnya.
“Acara sudah bisa langsung di mulai?” tanya seorang penghulu. Semua yang ada disana mengangguk setuju. Lalu penghulu mengulukan tangannya disambut oleh Ervin menjabat tangan dan mulai mengucapkan Ijab Qabul. Suasana sangat hening hanya terdengar kedua suara laki-laki. Fokus Ghani tidak pada acara pernikahan lagi namun ia membayangkan kedua orangtuanya akan menyaksikan ini dan kira-kira apakah mereka akan menyukai keputusan yang Ghani ambil? Apakah mereka justru malah akan kecewa? Ghani melakukan ini demi sebuah uang yang ditukar dengan harga dirinya. Air mata mengalir dari mata Ghani, hangat.
Bebarengan dengan itu para saksi menyerukan kata “SAH.”
Kini mereka berdua sudah resmi menjadi suami isteri secara agama. Wajah Ervin mengeras, sedangkan Kamila yang ada disebelah nya tampak tersenyum namun juga tersirat kesedihan dari kedua matanya. Ghani tahu bagaiaman rasanya jika melihat pasangan yang kita cintai bersanding dengan orang lain.
***
Kamila mengajak Ghani ke sebuah apartemen miliknya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Setelah pernikahan dilangsungkan, acara selesai tanpa ada perayaan. Ervin lebih memilih sibuk dengan iPad-nya sedangkan yang lain memilih langsung pulang. Ghani hendak melepaskan kebaya-nya namun di halangi oleh Kamila yang memintanya untuk berfoto. Baik Ghani maupun Ervin menolak dengan keras tapi Kamila terus memaksa. Mereka akhirnya berfoto dengan berlata backdrop yang dipesan Kamila. Hanya foto biasa, sepasang pengantin dengan wajah tidak menampakan kebahagiaan, memandang kosong ke kamera. Setelah benar-benar usai. Ghani mengurung diri dikamar sampai akhirnya ia berada di apartemen ini bersama Kamila.
“Mulai hari ini kamu udah bisa tinggal di sini.”
“Tapi saya bisa tinggal di rumah bu.”
“Tidak, sesuai kesepakatan untuk sementara waktu kamu sebaiknya tinggal disini.”
Ghani tidak bersuara, ia memilih untuk melihat interior apartemen yang bergaya minimalis itu. Apartemen itu terdiri dari dua kamar tidur. Satu master bedroom dan satunya digunakan untuk menyimpan buku-buku. Kamila membeli apartemen itu sebelum menikah dengan Ervin lalu setelah menikah, ia menyewakan nya dan memilih untuk tinggal bersama suaminya dirumah.
“Saya tidak melarang kamu untuk pulang ke rumahmu, tapi ingat selama kita terikat perjanjian kamu akan berada disini.”
Ghania mengangguk paham. Tidak mau berdebat. Hatinya sudah terlalu suram untuk hari ini. “Baik bu.”
“Satu lagi, mulai sekarang jangan panggil Ibu. Cukup panggil Mbak aja, biar lebih santai.” Tambah Kamila dan langsung di setujui oleh Ghani. “Masalah Nesya, saya yang akan bulak-balik menjenguk dan mengurusinya selagi kamu tidak bisa ke rumah sakit. Atau nanti saya akan utus orang untuk menjaga nya.”
“Terima kasih.” Ujar Ghani tulus.
Kamila tersenyum lalu menarik Ghani ke dalam pelukannya. “Saya yang harusnya berterimakasih lebih banyak kepadamu. Semoga kerjasama kita berjalan baik. Selamat datang, istri kedua nya suamiku.”
Ghani meringis mendengar kalimat yang diucapkan oleh Kamila. Ia seperti sangat menerima kehadiran Ghani, bahkan lebih menganggap bahwa ia adalah anggota baru dikeluarganya. Apa yang sebenarnya perempuan itu rasakan? Bagaimana ia bisa dengan mudah tersenyum dengan pilihan yang ia buat? Pikir Ghani dalam hati.
Malam hari, Ghani sendirian di apartemen yang ia tempati. Ia sudah berganti dengan baju tidur pemberian Kamila. Sudah wangi dan sudah bersih-bersih siapa tau ‘suami’nya akan datang berkunjung kepada nya malam ini. Hatinya berdebar sangat kencang, ia sangat gelisah bahkan tidak fokus ketika sedang menonton siaran televisi. Ia harus melakukan ini. Karena ini adalah pekerjaannya. Itulah kalimat yang selalu diucapkannya dalam hati.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Ghani sudah mengantuk namun tidak ada tanda-tanda Ervin datang. Ia bernapas lega, setidaknya ia tidak harus melakukan hubungan dengannya malam ini juga. Ya… Ghani bangkit dan bersiap untuk tidur.
Namun saat Ghani hendak memenjamkan matanya, sebuah suara ketukan mengusiknya. Ghani bangkit dan membukakan pintu lalu melihat sosok Ervin sudah berada dihadapannya. Ia hanya diam memandanginya dengan menilai lalu tanpa ijin melewati Ghani memasuki apartemennya.
“Mari kita lakukan dengan cepat.” Ujarnya.
***