Sinar matahari menyilaukan Ghani dari tidurnya, ia lupa menutup tirai kamar tidurnya. Pemandangan ibu kota dan gedung-gedung tingginya terlihat jelas dari lantai 20 apartemen. Dirinya sejenak hanya bisa memerhatikan sekitar, menyesuaikan cahaya yang memasuki matanya. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan hampir tengah hari. Ghani beringsut dari tidurnya, sepersekian detik ingatan akan malam yang tidak akan pernah ia lupakan. Setiap belaian yang menyentuh tubuhnya terasa masih begitu nyata. Sentuhan yang lembut namun terasa hambar. Dirinya telah jatuh dalam pesona Ervin dalam setiap lekukan tubuh pria itu.
Ia tersentak sadar, lalu menoleh kepada sosok yang harusnya berada disebelahnya namun ia tidak dapat melihat sosok Ervin lagi. Kemudian, hati Ghani hancur. Ia ditinggalkan pada kondisi seperti ini. Perlahan air mata mengalir membasahi pipinya. Entah apa ia memang pantas jika merasa seperti itu jika diingat kembali, dirinya yang menempatkan pada posisi seperti ini. Namun air matanya semakin mengalir deras.
Setengah jam kemudian, Ghani baru bisa beranjak dari kasur dan membersihkan diri. Saat itu ia baru sadar bahwa dirinya kelaparan dan tidak bisa menemukan bahan makanan apapun didapur mini apartemen namun ia merasa tidak ingin keluar mencari makanan karena suasana hati nya sedang tidak bagus.
Hingga sebuah bel berbunyi lalu tampaklah Kamila yang tersenyum sumringah ketika Ghani menyambutnya diambang pintu. “Saya bawakan makanan untuk mu. Maaf kemarin lupa belanja bahan makanan.”
Ghani mempersilahkan wanita itu untuk masuk dan menaruh sebuah bungkusan makanan ke dalam piring saji. “Tidak usah repot, Mbak. Saya bisa pesen makanan lewat handphone.”
“Tak apa, saya harap kamu suka dengan bubur ayam? Bubur ini terkenal enak, dan pembelinya cukup ganas. Bisa pesennya langsung banyak. Untung saya udah langganan jadi bisa titip sama yang punya.”
“Bubur ayam salah satu makanan favorit saya.” Ujar Ghani tersenyum. Mood nya langsung membaik ketika ada makanan pelipur lara sudah ada dihadapannya.
“Syukurlah.” Kamila mengambil mangkuk dari dalam cabinet dan menuangkan bubur ayam ke dalam mangkuk lalu menyuguhkan di meja makan. Ghani perlahan duduk disalah satu kursi dan mulai memasukkan sesuap bubur ayam ke dalam mulutnya. Dari ekor mata nya ia melihat Kamila tengah memperhatikan nya. Ghani mendongak dan benar saja ia mendapati mata Kamila tidak lepas memandanginya.
“Ada apa, Mbak?”
Perempuan itu tersenyum. “Makan nya habiskan dulu.” Ujar nya kemudian juga memakan sarapan nya. “Hari ini kamu mau ke rumah sakit?” tanya Kamila kemudian.
Ghani tidak langsung menjawab, “Iya saya mau mampir sebentar melihat kondisi Nesya.”
“Kalau kamu gak keberatan, saya mau kok gantiin sementara hari ini nengokin Nesya.”
“Kenapa memang nya, Mbak?”
“Gak papa, saya cuma merasa kamu hari ini belum begitu fit.”
“Saya baik-baik aja kok.”
Kamila memandangi Ghani cukup lama, “Bagaimana perasaan kamu setelah semalam, Ghani?”
Sekarang giliran Ghani yang memandangi Kamila. “Mbak mau saya jawab jujur?”
“Kamu bisa cerita apa aja sama saya jangan perlu sungkan.”
“Perasaan saya campur aduk, ini adalah pengalaman pertama saya dan saya tidak punya bayangan ternyata saya melakukannya dengan orang yang sangat asing bagi saya. Apalagi ditambah, setelah bangun tadi saya berada seorang diri. Saya merasa diri saya ini adalah seorang wanita panggilan yang setelah menuntaskan pekerjaannya bisa langsung ditinggal begitu aja.” Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir deras didepan Kamila. Perempuan itu lalu mengelus punggung tangan Ghani menenangkan nya.
“Kamu jangan pernah berpikiran seperti itu. Saya meminta kamu melakukan hubungan badan dengan Ervin dengan cara yang baik. Kalian melewati proses pernikahan yang sah secara agama dan Ervin adalah suami kamu.”
Ghani masih sesegukan hingga beberapa menit kemudian ia memandangi Kamila dengan pandangan penuh tanya. “Saya boleh tanya sesuatu, Mbak?”
“Silahkan, untuk seterusnya tidak perlu minta izin segala.” Perempuan itu mengulum senyum lembutnya.
“Kenapa Mbak berani menempuh jalan ini?”
Kamila menghembuskan napas nya dengan berat. “Kan sedari awal kamu sudah tahu kenapa? Karena saya ingin mempunyai keturunan yang masih ada darah daging Ervin.”
Ghani menggeleng. “Mbak gak merasa cemburu dengan melakukan ini?”
“Cemburu itu sudah pasti, saya sangat mencintai Ervin. Tapi kali ini ada yang sangat mendesak hingga saya harus menempuh jalan yang ekstrim. Alasan lain nya, ya saya tidak mau nanti nya Ervin sendiri yang mencari perempuan lain untuk bisa memberikan nya anak.”
“Mas Ervin pernah punya pikiran begitu?”
Kamila tertawa lalu menggeleng. “Enggak, dia sih ngaku nya enggak akan melakukan itu tapi saya antisipasi daripada dia cari cewek yang gak bener dan saya nanti jadi terpaksa harus menerima nya. Mendingan saya sendiri yang mencari orang yang tepat untuk menjadi ibu dari anak nya Ervin.”
“Dari mana Mbak yakin kalo saya adalah orang yang tepat?”
“Ghania Afrin, maaf ya sebelumnya karena sebelum saya bertemu kamu untuk meminta bantuan. Terlebih dulu saya mengecek latar belakang kamu. Maaf kalau saya lancang tapi bisa dibilang saya ini sedang dikejar target.” Kamila menunggu reaksi Ghani yang masih diam tanpa respon. “Selebihnya saya hanya mengikuti alur, saya bertemu kamu dan merasa ada kecocokan dengan rentetan peristiwa diantara kita. Kamu ingat saat kamu ketemu Ervin dalam keadaan mabuk?”
Ghani mengangguk, ia tidak pernah melupakan kali pertama ia bertemu dengan Ervin yang sedang sempoyongan di pinggir jalan malam hari itu.
“Sebelumnya, kita bertengkar hebat soal rencana saya, dia tidak bisa menerima lalu pergi dari rumah dan ternyata malah mabuk-mabukan, untungnya dia ketemu kamu yang menolong nya lalu beberapa lama kemudian, kamu malah pindah ke kantor Ervin lalu saya jadi merasa bahwa ini adalah tanda nya. Dari situ saya mulai mencari tahu tentang kamu.”
Ghani mengangguk paham setelah mendengar cerita dari Kamila. “Mba beruntung sekali punya suami seperti Mas Ervin.”
“Terima kasih. Ervin juga jadi suami mu sekarang kan?”
“Cuma sementara aja kan, Mbak.”
Kamila tidak menjawab ia memilih untuk menghabiskan bubur ayam nya tanpa ada pembicaraan lebih lanjut lagi.
***
Ghani tidak percaya tengah menatap Nesya yang sedang memandangi dirinya dengan tersenyum lemah. Satu jam yang lalu ia mendapat kabar dari rumah sakit bahwa Nesya sudah siuman, saat itu juga Ghani langsung bergegas ke rumah sakit.
“Nes, benar sudah baik-baik saja?” tanya Ghani. Nesya tersenyum lemah dan mengangguk.
“Gue udah diperiksa sama dokter.”
“Syukurlah, gue senang akhirnya lo bisa bangun lagi.” Kali ini Ghani tidak sanggup lagi untuk menahan air mata yang jatuh membasahi pipi nya dengan deras. Nesya memperhatikan kakaknya juga ikut menangis bersama.
“Maafin gue yang selama ini udah egois, karena sikap gue yang begitu gue jadi gak tau apa yang sedang terjadi sama lo. Adik gue sendiri yang harusnya gue jaga.”
Nesya menggeleng lemah, ia menarik tangan Ghani dengan sisa tenaganya. “Dari awal gue yang salah. Udah main hati dengan orang yang lo cinta bahkan kita sampai bertindak terlalu jauh. Mungkin ini adalah balasan dari perbuatan gue yang udah nyakitin lo. Gue harus kehilangan bayi gue yang bahkan dari awal udah gue rencanain.”
“Kenapa? Dennis bilang sebenarnya dia memang mau bertanggung jawab?”
“Gue gak mau menyakiti lo lebih jauh lagi.”
“Tapi gak harus lo hilangin bayi lo, Nes.”
Nesya menunduk, “Iya gue emang salah. Itu adalah keputusan sesaat dalam keadaan kalut. Kita bertengkar di mobil dan akhirnya terjadilah kecekaan itu. Sekarang gue menyesali nya.” Nesya menutup wajahnya dengan tangan dan menangis. Nesya memandang kakaknya masih dalam tangisannya, selama beberapa saat mereka hanya saling tatap dan sesegukan bersama.
***
Kamila datang segera setelah Ghani menghubunginya tapi ia tidak sampai masuk ke dalam ruang perawatan karena takutnya nanti akan menimbulkan pertanyaan. Ghani memang berniat untu memberitahukan Nesya tentang pernikahannya dengan Ervin namun ia masih menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya dan Kamila dengan senang hati memberikan kelonggraran waktu untuk Ghani.
Hari ini Nesya sudah diperbolehkan pulang setelah mengikuti serangkaian tes untuk memastikan ia bisa pulang dalam keadaan yang cuku sehat. Satu jam kemudian, ia sudah berada di sofa dan memandangi rumahnya yang sudah lama ia tinggali. Dilihat dari wajahnya Nesya sangat ceria.
“Rasanya udah lama banget gak ngeliat rumah ini.”
“Bukan rasanya lagi, tapi emang lama. Syukurlah lo masih bisa kembali ke rumah.” Ghani berjalan ke dapur dan mengambil piring dari lemari, sebelum sampai dirumah ia berhenti di warung makan di depang jalan untuk mereka. Kemudian Ghani mengajak Nesya untuk pindah ke meja makan.
“Rumahnya keliatan gak ditinggalin Ghan, lo gak beberes ya?” tanya Nesya. Memang walaupun rumahnya dalam keadaan rapih tapi terlihat seperti tidak di tinggali, karena selama beberapa hari Ghani tinggal di apartemen dan jika menyempatkan pulang paling hanya untuk merapihkan sebentar. Ghani sadar kalau Nesya mempunyai tingkat ketelitian yang akut walaupun dia baru saja terbangun dari koma beberapa hari yang lalu.
“Ya kan gue bulak-balik rumah sakit terus.”
“Memangnya gak bisa nyapu atau ngepel dulu gitu?”
“Hmm, gak setiap hari sih kalau di rasa udah lengket aja.”
Nesya menggelengkan kepalanya, dari dua besaudara hanya Ghani yang cuek dengan keadaan kebersihan rumah.
“Lagian, baru juga pulang ke rumah yang di komentarin itu. Bersyukur bisa balik ke rumah. Masalah nyapu dan ngepel nanti gampang gue yang kerjain.” Ghani mulai ngedumel.
Nesya menatap kakaknya cukup lama dan tertawa pelan. “Gue kangen kita bisa berantem hal kecil kayak gini lagi.”
Ghani menoleh, lalu membalas senyuman Nesya dengan hangat. “Sama gue juga kangen.”
“Dalam setiap masalah pasti mengandung hikmah ya dibaliknya.”
Ghani mengangguk setuju. Ia lalu menghabiskan makanannya dengan cepat dan mencuci piring dan beberes rumah sebentar. Pada malam hari, ia melihat Nesya sedang menonton televise sambil berselonjor kaki di sofa. Ghani menghampiri nya dengan membawakan segelas s**u hangat. Malam ini Ghani meminta izin Kamila untuk menginap di rumahnya karena ia merasa masih harus menemani Nesya dan segera akan memberitahukan hal penting yang telah terjadi semasa Nesya tidak sadarkan diri.
“Ada yang mau gue omongin.” Ghani membuka pembicaraan.
“Ngomong apa? Biasanya juga langsung.” Jawab Nesya tanpa mengalihkan padangannya.
“Karena ini masalah serius.”
“Seserius apa sih? Jangan bikin takut.” Baru kali ini fokus Nesya teralihkan ke Ghani yang tengah menatap Nesya dengan serius. Ia menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan.
“Jadi gini, Nes. Selama kamu di rumah sakit. Kita tidak punya biaya untuk pengobatan dan tindakan operasi kamu.”
“Oh ya, baru inget. Terus gimana?”
“Untungnya, biaya rumah sakit udah di lunasi oleh perempuan bernama Kamila.”
“Siapa dia? Temen kantor?”
“Bukan.”
“Pasti bos ya? Soalnya kan dia bisa bayar rumah sakit.”
“Bisa dikatakan begitu. Suaminya kerja di kantor gue.”
Nesya mengangguk paham, “Baik banget ya, syukurlah.”
“Tapi ada syaratnya.” Lanjut Ghani, Nesya mengerutkan keningnya menunggu kalimat selanjutnya. “Gue harus menikah dengan suami nya.”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima detik.
Hening. Tidak ada yang bersuara diantara mereka. Nesya pun masih memandangi Ghani dengan tatapan bingung dan berusaha mencerna kalimat yang diucapkan Ghani.
“Gimana-gimana? Coba tolong ulangin.” Nesya akhirnya bersuara.
Ghani menarik napas panjang lagi dan membuangnya perlahan, kali ini ia menjelaskan kronologi ceritanya dari awal ia menolong Ervin hingga pertemuannya dengan Kamila yang berujung penawaran yang telah disepakati bersama hingga akhirnya Ghani sudah resmi menjadi istri kedua dari Haidar Ervin.
“Lo gila ya?” itulah yang pertama kali diucapkan Nesya setelah Ghani bercerita.
“Gue gak punya pilihan lain selain menjual rumah ini.”
“Kenapa enggak?”
“Lo mau rumah ini dijual?”
“Untuk situasi yang genting, kenapa gak dijual aja kalau pilihannya lo harus menjadi istri orang supaya bisa punya anak?”
“Ini adalah peninggalan satu-satunya dari Mama dan Papa. Gue gak mungkin menjual kenangan terakhir dari mereka.”
“Mereka akan selalu ada menetap di dalam hati kita, bukan pada rumah ini. Kalau kita pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil pun itu kita masih keluarga. Dimana pun itu asal kita selalu bersama.” Kata-kata Nesya membuat Ghani berlinang air mata. Ia tidak menyadari akan hal itu.
“Bisa gak lo batalin kontraknya, dan kita lunasi uang nya.” tanya Nesya selanjutnya.
Ghani menggeleng lemah, “Gak mungkin, di dalam kontrak kalau pihak kedua memutuskan sepihak maka akan dibawa ke proses hukum.” Ghani menyerahkan sebuah map yang sudah dia sediakan sejak awal kepada Nesya. Adiknya membuka map lalu membacanya dengan saksama.
“Gila, ini sih gila.” Nesya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir kepada masalah yang terus menimpa keluarganya. Kemudian ia menoleh melihat Ghani yang tampak linglung. “Tapi gue berterima kasih banget sama lo yang udah mau berusaha yang terbaik agar kita tetap akan punya rumah. Maaf kalau reaksi gue terlalu menyakitkan buat lo.”
“Gak apa, itu reaksi normal. Lo pasti syok.”
“Harusnya gue mendukung apapun keputusan lo, meskipun gak wajar.”
“Sekali lagi maaf.”
Nesya menggeleng. “Kita hadapi ini bersama ya.” Ia mengenggam tangan Ghani erat untuk memberikan kekuatan untuknya.
**