Misteri Yang Lebih Rumit

1068 Kata
“Langsung ke intinya saja. Apa yang kau katakan tadi malam di telpon, apakah itu benar?” Sejak Julliet tidak bisa tidur semalaman karena terus memikirkan kata-kata William yang sangat ambigu, gadis itu pun memutuskan untuk segera pergi ke sekolah – bahkan ia bangun lebih awal – hanya untuk menemui teman sekelasnya itu dan mencari tahu jawabannya. Remaja laki-laki dengan kulitnya yang kecokelatan menjadi ciri khas dari William yang memang notabene-nya adalah seorang kapten basket yang mewakili First High School di beberapa turnamen olahraga bergengsi. Ia sering mengikuti latihan fisik yang dilakukan di luar ruangan dan beberapa tips diet demi menjaga berat badannya. Karena popularitasnya yang semakin meningkat, William bertekad untuk terus menjaga postur tubuhnya yang memang sudah ideal. Banyak gadis-gadis di sekolah maupun dari luar sekolah menyukainya, mengaguminya, tentu atas banyak alasan. William tampan, bertubuh tinggi kecokelatan, rambutnya lurus dan sangat tertata berkat krim rambut ratusan dollar serta parfum beraroma kuat yang selalu melekat pada dirinya. Gadis mana yang tidak akan tahan saat dekat-dekat dengannya? Namun Julliet mungkin bisa masuk ke dalam pengecualian. William bukanlah tipe laki-laki idamannya. Isu mengenai dirinya berkencan dengan William, benar-benar tidak masuk akal. Bahkan meski Julliet kehilangan setengah memori di dalam kepalanya, gadis berambut kecokelatan itu sangat yakin bahwa dari sekian banyak laki-laki yang ada, William tidak akan masuk ke dalam daftar pria keren yang akan dia bawa ke sebuah pesta dansa. “Kenapa aku harus berbohong? Kita memiliki perasaan yang sama, Julliet.” Julliet mengernyitkan kening. Tiba-tiba perutnya merasa mual setelah mendengar kalimat menjijikan itu dari sang lawan bicara. Namun sepertinya, William sangat menikmati momen tersebut. Ia bahkan masih bisa duduk dengan tenang di sudut kafetaria meski tatapan sinis dan tak suka diarahkan langsung oleh Julliet kepadanya. Dalam hal ini, ada dua poin yang dianggap janggal oleh Julliet. Satu, dirinya berkencan dengan William, dimana hal itu tidaklah mungkin terjadi. William adalah pusat perhatian, sementara Julliet akan menghindar sebisa mungkin dari cahaya yang ada. Dan poin kedua, bahwa William juga mengencani Rachel. Itu terdengar agak rakus, sedikit mustahil. Rachel memang sudah mengakhiri hubungannya dengan Robin, tapi selang waktunya tidak lama. Bagaimana mungkin sahabatnya yang terkenal setia dan sangat loyal terhadap Robin dapat dengan mudahnya melupakan perasaan cintanya sendiri dan berkencan dengan laki-laki di hadapan Julliet ini. Julliet sangat tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh teman sekelasnya tersebut. Pasalnya, William memang dekat dengan banyak teman gadis di kelas, maupun di sekolah. Pemain wanita, mungkin. Julliet tidak terlalu ambil pusing. Namun berita mengenai dirinya berkencan dengan penjahat kelamin seperti William benar-benar terlihat aneh. “Siapa yang tahu?” Pertanyaan itu membuat William tercenung sesaat, sebelum kemudian mengangkat satu alisnya. “Apa maksudmu?” “Siapa yang tahu soal hubungan kita?” William mengangkat kedua bahunya acuh kali ini. “Kau dan aku.” “Hanya kita?” Nada suara Julliet yang meninggi membuat William sedikit terganggu. Ia mendorong piring berisi potongan daging asap yang tinggal setengah menjauh sebelum kemudian mendongak, menatap Julliet yang berdiri di samping mejanya. Sebuah senyuman tipis yang sama sekali tidak mewakili perasaan apapun selain rasa sopan terulas di bibirnya yang keabuan. “Suaramu akan sangat menarik perhatian, Ms. Swan,” pungkasnya, lantas membuat Julliet mengatup bibirnya di sana. “Kau bisa duduk sekarang atau aku mungkin akan mengalami cidera leher sebelum latihanku sore ini.” Mendengar kalimat sarkas dan penuh sindiran yang berasal dari William, berhasil membuat Julliet sedikit luluh. Ia pun menarik salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan kursi William dan duduk di meja yang sama sekarang. Pandangannya masih tidak bisa berbohong. Julliet masih sangat penasaran dan ia menunjukkannya dengan jelas kepada William. “Ceritakan lebih banyak,” titah Julliet dengan suara yang lebih pelan. “Sebanyak apa?” “Kenapa hanya aku dan kau yang tahu soal hubungan kita?” cecar Julliet tak sabar. “Karena aku sedang berkencan dengan Rachel,” jawab William seadanya. Ia bahkan tak terlihat merasa bersalah sama sekali di sana. Senyuman simpul itu kembali tercetak di bibirnya, membuat Julliet merasa kesal karenanya. Sepertinya Julliet memang harus memasukkan senyum William ke dalam daftar hal yang tidak disukainya setelah pembicaraan ini selesai. Karena sungguh, gadis muda itu benar-benar terganggu. “Aku sedikit bermain api di belakangnya dan kulakukan hal itu denganmu.” “Apa yang kita lakukan?” Satu alis William kembali terangkat, sementara tubuhnya maju dan lebih condong ke depan. Raut di wajahnya menunjukkan ketertarikan yang nyata. Rasa penasaran menyelimuti tatapan William. “Kau sama sekali tidak ingat?” “Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” dalih Julliet. Ia sungguh bertekad untuk menutupi kebenaran bahwa dirinya memang tidak dapat mengingat apapun setelah insiden mengerikan yang menimpanya beberapa hari lalu. Dokter mungkin benar, Julliet pastilah kehilangan sebagian memori di dalam kepalanya karena adanya trauma yang cukup parah. Ia tidak bisa membayangkan dirinya berkencan dengan laki-laki menyebalkan dan sok tampan seperti William. Ini gila. “Kita sering berjalan-jalan.” “Lalu?” “Makan bersama, kurasa itu dua sampai tiga kali,” lanjut William. Matanya mengawang ke atas, seolah mengingat-ingat momen kebersamaan yang pernah mereka lalui bersama. “Kau juga berkunjung ke rumahku.” “Aku tidak tahu dimana rumahmu, William,” kata Julliet mengoreksi. “Yeah, kau mungkin tidak ingat dengan yang satu itu,” ucap William. Suaranya diiringi kikikan kecil yang hampir tidak terdengar karena suara ramai yang ada di sekelilingnya. Kafetaria cukup sepi di pagi hari, hanya ada beberapa orang yang menghabiskan waktu sarapan mereka di sekolah. Namun kali ini, banyak murid yang lupa mengambil sarapan mereka sepertinya. “Kau tahu, kita bahkan sudah berciuman dan –“ “Hentikan, Will!” potong Julliet. Mendengarnya saja Julliet sudah ingin muntah. Apalagi membayangkan dirinya benar-benar melakukan hal menjijikan itu bersama William. Untuk gadis lain, menjalin hubungan istimewa dengan William mungkin terdengar seperti anugerah yang sangat langka terjadi. Namun sungguh, Julliet tidak menginginkannya sama sekali. Ia lebih memilih untuk sendiri daripada harus berkencan dengan William, yang bahkan saat itu juga sedang berkencan dengan Rachel, sahabatnya sendiri. “Jika hanya aku dan kau yang tahu soal ini, kau mungkin saja berbohong. Iya, bukan?” Ada jeda di sana, William tampak berpikir untuk beberapa waktu sebelum kemudian wajahnya kembali bersinar seolah menemukan ide cemerlang di tengah kegelapan malam. Laki-laki dengan bahunya yang lebar itu kembali mengangkat kedua sudut bibirnya dan menatap Julliet lurus-lurus. “Mungkin ada orang lain yang tahu soal hubungan kita.” “Ada orang lain? Siapa?” “Kau tahu orangnya dengan jelas.” “Siapa, kubilang?” “Rachel.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN