BAB 06

1395 Kata
Saima sering masuk ke apartemen mewah milik Janied dan tidak pernah mengeluh soal dua kamar utama yang digabungkan, atau satu kamar yang seharusnya jadi kamar tamu tapi Janied merubahnya menjadi studio untuk rekaman. Sekarang Saima merasa kesal karena itu artinya hanya ada satu kamar yang memiliki tempat tidur yaitu kamar Janied. Ruangan itu luas, Janied memiliki sofa besar yang biasa ia pakai bersantai sambil membaca komentar penggemar di internet dan Saima memiliki pikiran untuk tidur di sofa besar itu. Dia terpaksa menginap dan enggan satu ranjang dengan Janied. Janied tidak membiarkan Saima pulang karena kakinya yang sakit dan menurut pria itu tidak aman memesan taksi online tengah malam. Masalahnya, Saima tidak akan bisa tidur jika belum mandi setelah keluar seharian dan ia tidak memiliki baju bersih selain kemeja yang ia pakai. "Gue boleh pinjem kamar mandi lo?" Saima akan pikirkan pakaian tidurnya nanti, yang penting sekarang ia bisa mencuci wajah. "Ya." Janied mengangguk. "Mau mandi, Sai? Mau pinjem baju gue?" "Kegedean, pinter." "Jadi lo memilih telanjang?" Janied mengatakannya dengan nada bercanda dan Saima kesal. "Mesum." Janied berjalan ke arah walk in closet miliknya mengambil kaus putih oversize, hanya kaus. "Ini bisa jadi gaun tidur kalau lo yang pakai." Kemudian Janied naik ke atas tempat tidur, duduk menyender memakai kacamata dan mulai membaca buku yang sempat terhenti karena Saima memencet bel apartemennya. Saima kira kata-kata tidak masuk di akal tentang lelaki bisa terlihat lebih seksi saat membaca adalah bualan saja, namun Janied membuktikannya. Sangat dewasa, seksi. Apa, Sai? Janied seksi? Iya, mungkin, sedikit. Saima menarik kembali pikirannya. Tanpa mengalihkan pandangan pada buku, Janied berkata, "Pakai bathtub gue aja, Sai. Kaki lo lagi sakit nggak mungkin kan berdiri di bawah shower." Semula Saima tidak memikirkannya dan ia keras kepala sehingga ia tidak mendengarkan Janied. Saima sudah melepaskan seluruh pakaiannya lalu berjalan ke arah shower merasakan sensasi air hangat. Entah karena ia terlalu lelah dan mengantuk atau karena kakinya sakit, ketika Saima mencoba menjangkau sabun ia terpeleset dan terjatuh. "s**t!" Pintu kamar mandi terbuka, pintu kaca shower yang tidak Saima tutup karena ia kira tidak akan ada yang masuk memperlihatkan Janied yang berlari ke arahnya. "Astaga, lo nggak pa-pa?" Janied mematikan air sehingga ujung kemeja tidurnya basah lalu berjongkok untuk membantu Saima berdiri dan Saima merasa tidak nyaman karena ia telanjang. Tubuhnya nyaris menempel pada Janied. Janied tampak tidak terganggu bahwa sahabatnya sedang tidak memakai apa pun karena Janied ingin tahu keadaan Saima. "Apa kaki lo terkilir? Tambah sakit?" "Gue rasa nggak." Saima berpegangan pada tangan Janied untuk berdiri dengan benar. "Keras kepala seperti lo nggak mau dengar ya saat gue suruh untuk mandi di bathtub?" Suara Janied penuh kesinisan. "Lo terdengar seperti nenek gue, Janied. Bawel." "Ya, dan lo seperti anak kecil umur 5 tahun yang susah dikasih tahu." Janied menarik perlahan tangan Saima dan membawa tubuh telanjang itu ke bathtub. "Masuk," ujarnya. Saima bisa saja menolak namun ia tahu Janied marah dan suaranya sangat mendominasi. Saima malas berdebat, atau... dia hanya tidak mau Janied semakin jengkel karena ia terjatuh di kamar mandi pria itu. "Lo ngapain?" Saima merasakan jari-jari Janied di rambutnya. "Mengeramasi lo, gadis ceroboh. Diam aja gue cepet." Saima tidak bisa melihat ekspresi Janied karena lelaki itu ada di belakangnya namun sentuhan Janied begitu lembut sampai rasanya Saima bisa tertidur kapan saja. Saima sepertinya mengantuk tapi ia masih bisa mendengar Janied mengomel. "...Apa lo nggak bisa hati-hati?" "...Lo harus menjaga diri lo sendiri." "...Kalau lo terjatuh dan nggak ada gue, gimana, Saima?" "...Gue nggak suka saat lo ceroboh." Gue suka jari-jari lo di rambut gue. Tapi Saima menutup matanya, tidak mengatakan apa-apa. Ia sepertinya sangat mengantuk sehingga melantur. Sangat-sangat mengantuk karena ia merasa Janied selesai mengeramasinya dan mengangkatnya dari bathtub lalu membawanya ke tempat tidur setelah melilitkan handuk. "Gue mau tidur di sofa," kata Saima ketika ia dengan mudah memakai kaus Janied yang menggantung tak jauh di atas lututnya memperlihatkan kaki jenjangnya. "Don't be ridiculous. Sofa nggak nyaman, Saima." Janied menarik tangan Saima untuk tertidur di sisi kiri ranjangnya. Sepertinya Saima terlalu mengantuk karena ia mengatakan kepada Janied, "Lo seksi pakai kacamata saat baca." Dan yang terakhir Saima lihat sebelum benar-benar tertidur adalah Janied tersenyum dan memasangkannya selimut. "Ya, lo juga seksi pakai kaus gue."  *** Cassie Irvadia Hartono yang sedang menginap di rumah orangtuanya melihat salah satu adik kembarnya berada di meja makan lalu menyeletuk, "Apa gunanya jadi superstar dan banyak uang kalau sarapan aja masih numpang di rumah ortu." Janied merasa sindiran Cassie untuknya, sehingga ia menjawab, "Gue 'kan anak kesayangan Mama." "Kamu sengaja sarapan di sini?" Selina Hartono selalu senang jika anak-anaknya sarapan bersamanya ketika suaminya harus menghadiri rapat dengan para pemegang saham di luar negeri. "Aku abis nganterin Saima, Ma." Janied menjawab. "Pagi-pagi begini?" Cassie berpikir beberapa saat lalu mengerti. "Jangan bilang Saima nginep di tempat lo." "Saima menginap di apartemen kamu, Janied?" Selina ikut mengerutkan kening mendengar Cassie. Janied mengangguk santai. "Iya." "Aku bilang apa, Ma!" Cassie terlihat mengomel dan Janied tidak mengerti. "Janied..." Selina menatap putranya, "Apa maksudnya Saima menginap di apartemen kamu?" "Maksudnya, apa?" Janied semakin bingung. "Saima menginap sebagai teman kamu atau sebagai mantan tunangan kamu?" Selina meneruskan, "Apa kalian menganggap ini seperti permainan?" "Permainan, apa?" Janied merasa bodoh karena tak ada kata selain 'apa' yang ia gunakan untuk menjawab ibunya. Selina Hartono yang selalu elegan kali ini berkata, "Kamu sudah dewasa dan kalian berdua setuju untuk membatalkan pertunangan empat tahun lalu. Apa tidak akan terlihat canggung jika kalian sedekat ini?" Sebelum anaknya salah mengartikan, Selina melanjutkan, "Kamu boleh berteman dengan Saima, tentu saja, tapi sedekat ini dapat menimbulkan pertanyaan." "Pertanyaan dari siapa?" "Janied, apa lo sadar nama belakang lo siapa?" Cassie sekarang yang berkata. "Dan lo juga sekarang artis. Mama memastikan masa lalu lo—pertunangan lo yang gagal—nggak tercium oleh publik seharusnya lo berhati-hati." "Gue berhati-hati, Kak." Janied masih menjawab tenang. "Selain para keluarga konglomerat kenalan mama dan papa yang datang ke pesta pertunangan gue, nggak ada yang tahu gue hampir bertunangan." "Janied sebenarnya kenapa kamu sangat dekat dengan Saima?" tanya ibunya. "Bukannya kalian punya kesibukan masing-masing?" "Saima membantu aku, Ma." Cassie menyeletuk, "Apa kalian berdua membatalkan pertunangan tapi tidur bersama, Janied?" "Cassie, no." Selina memperingatkan putrinya agar tidak berbicara sembarangan. "Kenapa kalian sangat khawatir aku lebih dari teman dengan Saima?" tanya Janied kepada ibu dan kakaknya. "Aku masih berteman dengan Saima bukan berarti aku memiliki perasaan romantis dengannya. Dia seperti adik untuk aku." "Anaria Searajana bertemu dengan Mama kemarin, Janied," ucap Selina. "Ibunya Saima itu bilang kepada Mama akan menjodohkan putrinya." Janied baru mendengar ini dari mamanya karena Saima tidak mengatakan apa-apa soal perjodohan padahal semalam wanita itu menginap. "Dijodohkan dengan siapa?" tanya Janied dengan suara tidak yakin. "Searajana berhubungan baik dengan keluarga utama presiden. Mungkin Saima akan dikenalkan dengan anak sulung presiden? Rama Mahveen, chef tampan yang memiliki restoran pertama dengan tiga bintang Michelin di Bali. Atau mungkin dijodohkan dengan keluarga Alegar? Termahadari? Kayavine? Mama tidak tahu, ibunya Saima tidak mengatakan dengan detail." "Searajana seperti kita, tidak akan ada yang menolak untuk menjalin ikatan keluarga dengan mantan Menteri Pendidikan yang memiliki perusahaan kelapa sawit, Janied." Ibunya menambahkan sesuai kenyataan. Sejak kecil Janied familiar dengan nama-nama keluarga konglomerat yang disebutkan ibunya meski tidak semua dari mereka ia kenal langsung. Namun ia tidak memikirkan siapa yang akan menjadi kandidat jodoh Saima, Janied lebih penasaran apakah Saima tahu jika dirinya akan dijodohkan. Janied menikmati sarapan sambil mendengarkan ocehan Cassie dan ibunya tentang gaun yang akan dipakai calon istri Arik Dierja Hartono, anak sulung keluarga ini yang akan menikah tiga bulan lagi. Layar ponsel Janied menunjukkan pesan dari Saima. Saima Searajana: Apa lo siap ketemu cinta dalam hidup lo malam ini? Dandan yang rapi!! Janied sudah memesan meja dengan view terbaik di restoran private Hotel Haidan untuk Radmila, ia tidak memikirkannya. Sekarang ada hal yang membuatnya lebih penasaran. Janied Elang Hartono: Lo tahu lo akan dijodohin? Saima Searajana: ??? Saima Searajana: Urusan gue gak penting, gue cuma mau ingetin lo jangan terlambat ketemu Radmila. Janied Elang Hartono: Lo tahu ya lo mau dijodohin? Saima Searajana: Tahu. Janied Elang Hartono: Kenapa gak bilang sm gue? Saima Searajana: Karena itu bukan urusan lo. Emangnya lo siapa gue??? Janied termenung membaca chat terakhir Saima lalu ia mengetik balasan untuk perempuan itu. Janied Elang Hartono: Iya memang bukan urusan gue karena gue juga gak peduli. [] - Instagram : galeri.ken
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN