Bab 1. Dikhianati Pacar

1565 Kata
"Kamu nggak salah?" Kedua mata Cia membola ketika ia mendengar Bumi berkata di depan kedua orang tuanya bahwa Bumi ingin melamar Tantri, adik tirinya. "Nggak, Ci. Aku ke sini emang mau melamar Tantri," jawab Bumi dengan suara berat. Cia masih tak percaya. Ia mengalihkan tatapannya pada Tantri yang duduk di sebelah ibu tirinya. "Kenapa kamu bisa dilamar oleh pacar aku? Kenapa?" Gito meraih tangan Cia. Ia tak ingin putrinya membuat keributan di acara sepenting ini. "Kamu dengerin dulu, Ci. Jangan marah-marah." "Pa! Aku mau tahu yang sebenarnya!" gertak Cia. Ia tak mengalihkan matanya dari Tantri yang tertunduk. "Bilang sama aku, kenapa kamu bisa dilamar sama Bumi?" "Aku ... aku hamil anak mas Bumi." Tantri membuka suara. Dunia Cia hancur lebur. Hamil. Tantri dengan Bumi. Kenapa ia tak tahu apa-apa? Mata Cia langsung basah seiring dengan sensasi menyakitkan di hatinya. "Kapan kamu tidur dengan Tantri? Kenapa harus Tantri, Bum? Kamu ini pacarannya sama aku! Kenapa kamu bisa menghamili adik tiri aku?" Bumi mengepalkan tangannya. Ia agak malu karena ucapan Cia. "Semua terjadi begitu aja, Ci. Aku ngerasa lebih cocok sama Tantri." Kembali, Cia merasa hatinya remuk. "Lalu, apa artinya kita pacaran selama ini, Bum? Hampir empat tahun, Bum!" Bumi mendengkus. "Aku minta maaf." Bumi melirik Tantri sekilas lalu kembali menatap Cia. "Aku harap kamu mengerti, aku dan keluarga aku ke sini datang mau melamar Tantri. Kami harus menikah secepatnya sebelum perut Tantri membesar." Cia menoleh pada Tantri lagi. "Udah ... udah berapa bulan kamu hamil?" Tantri tertunduk semakin dalam. "Ehm ... tiga bulan." Cia mengumpat dalam hati. Itu artinya hubungan Tantri dan Bumi sudah lama terjalin. Sungguh sialan. Cia tertawa mencela. "Dasar murahan! Kamu pasti tahu aku udah lama pacaran sama Bumi. Dan kamu seenaknya menggoda pacar aku! Kamu emang nggak beda sama mama kamu!" "Cia!" seru Gito. "Kamu nggak boleh bicara kayak gitu. Kamu nggak malu, kita punya banyak tamu." Cia menatap ayahnya sengit. "Harusnya Tantri yang malu, Pa. Dia hamil di luar nikah! Dia ngerebut pacar aku!" Cia mengusap pipinya yang basah. "Bilang sama aku, kenapa kamu lebih milih Tantri?" Bumi menggigit bibirnya. Ia yakin Cia akan marah jika ia mengatakan yang sebenarnya. "Tantri cantik. Dia lebih cantik dari kamu. Dia juga baik dan lembut. Nggak kayak kamu, kasar. Dia juga nggak manja, beda sama kamu. Aku udah cukup lama bertahan sama kamu, Ci. Aku minta maaf, tapi aku harus nikah sama Tantri." Cia semakin membelalak. Ia sungguh tak percaya dengan ucapan Bumi. Sakit mendera hatinya. Ia berdiri dengan limbung. "Kamu bakalan nyesel, Bum." "Aku minta maaf." Cia tak ingin mendengar lagi apa yang dikatakan oleh semua orang di ruang tamu. Ia berlari keluar untuk mencari udara segar. Ia tak tahan lagi jika ia harus mendengar rencana pernikahan Bumi dan Tantri. Itu tak akan bisa dicegah, Tantri sudah terlanjur hamil. Sungguh sial! Cia masih terisak-isak ketika tiba-tiba ia merasakan seseorang mendekat. Ia menoleh pada Soni yang tengah menyodorkan selembar sapu tangan padanya. "Om ngapain ke sini?" tanya Cia. Ia menerima sapu tangan Soni lalu membersit hidungnya keras-keras. Soni berjengit mendengar itu lalu mendengkus keras. "Mau ngerokok." Cia memukul d**a Soni dengan kepalan tangannya. "Kenapa adek Om bisa hamilin adek aku?" Yah, Soni adalah kakak dari Bumi. Namun, karena Soni dan Bumi memiliki rentang usia yang cukup jauh, Cia pernah mengira bahwa Soni adalah paman dari Bumi. Dan Cia selalu memanggil Soni dengan sebutan om. "Mana aku tahu," tukas Soni. Ia mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam sakunya. Ia melirik Cia yang masih terisak-isak di sebelahnya. "Kamu nggak perlu nangis." "Aku sakit hati! Kenapa aku nggak boleh nangis?" Cia menggerutu lagi. "Aku pikir ... Bumi udah buta," kata Soni. "Kenapa?" tanya Cia tak mengerti. "Karena dia bilang Tantri lebih cantik dari kamu. Padahal ... kamu jauh lebih cantik daripada adik kamu," ujar Soni. Cia pasti sudah memerah sekarang. Namun, apa artinya? Bumi akan tetap menikah dengan Tantri. Bumi akan menjadi saudara iparnya. Ia sudah membuang-buang waktu karena berpacaran dengan Bumi. "Aku bakal balas Bumi! Aku nggak terima dia bikin aku terluka kayak gini!" Cia menatap langit lalu mengepalkan tangannya. "Aku pasti balas dendam sama Bumi!" Di sebelahnya, Soni ikut-ikutan menatap langit. Ia merasa ucapan Cia sangat konyol meskipun terdengar berapi-api. "Balas dendam itu nggak baik. Kalau kamu mau balas dendam, sebaiknya kamu tunjukkan kalau kamu bisa hidup bahagia tanpa Bumi." Cia mencebik. "Nggak usah sok bijak!" Cia meninggalkan Soni yang baru saja mengeluarkan sebatang rokok. Ia masuk ke rumah dengan langkah menghentak. Ia melayangkan tatapan mencela pada semua orang, termasuk orang tua Bumi. Ia membenci semuanya. Ia akan membalas semua orang! *** Cia mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia sangat malas untuk bicara dengan siapa pun. Namun, tiba-tiba pintu itu dibuka dari luar dan tiga orang masuk ke kamar. Cia menarik selimut, menutupi wajahnya dengan kain lebar itu. "Ci, Papa sama mama ... dan adek kamu mau bicara," kata Gito. Cia mendengkus. Ia langsung mendudukkan dirinya. Ekspresi kesal tergambar di wajahnya. Ia langsung menatap Tantri yang baru saja nyengir padanya. Ah, ia sangat membenci Tantri. Ia yakin Tantri memang sengaja menggoda Bumi dan kini pasti Tantri sangat puas sudah membuatnya sakit hati. "Mau ngomong apa lagi? Mau bikin aku tambah sakit hati?" tanya Cia pada semua orang. Gito bertukar tatap dengan Sulis, istrinya. "Papa mau kamu ngalah dan ikhlas karena adik kamu akan menikah dengan Bumi seminggu lagi." Cia meremas selimutnya. Seminggu lagi ia akan menjadi ipar dari Bumi. "Kamu jangan marah-marah dan bicara kasar lagi," ujar Sulis. "Tantri udah terlanjur hamil, mau gimana lagi? Kamu yang legowo dan jangan bikin masalah di acara pernikahan nanti." Tantri membenci ibu tirinya. "Aku nggak peduli sama pernikahan Tantri! Aku tahu, Tantri sengaja rebut Bumi dari aku. Tantri nggak beda sama Tante. Tante juga udah ngerebut papa dari mama aku!" "Alicia! Jaga suara kamu!" gertak Gito tak tahan lagi. Cia menekuk kakinya. Ia memeluk kedua kakinya dengan erat karena gentar dengan teriakan Gito. Namun, itulah yang ia percayai. Ibunya harus meregang nyawa gara-gara sakit hati dengan Gito dan Sulis. "Papa cuma mau kamu menerima semuanya. Udah terlanjur, jadi jangan mikir aneh-aneh. Tantri bakalan nikah dan kamu harus ikhlas," kata Gito dengan nada tertahan. "Papa udah nggak sayang sama aku!" gertak Cia. "Kalian keluar aja. Aku nggak peduli dengan pernikahan itu dan aku nggak mau ngomong sama kalian!" Gito menarik tangan Sulis. Namun, Tantri masih bertahan di kamar Cia. Begitu mereka tinggal berdua saja, Tantri yang semula hanya menunduk langsung mengangkat dagunya. Kedua tangan terlipat di depan d**a. Ia tersembunyi miring pada Cia. "Pantes aja mas Bumi lebih suka sama aku. Kamu emang cuma bisa bicara kasar dan nggak mikir dua kali kalau udah ngomong," kata Tantri dengan nada mencela. "Apa?" Cia berdiri seketika. Ia menjambak rambut Tantri hingga membuat gadis itu menjerit kesakitan. "Bilang sama aku, sejak kapan kamu gatel sama Bumi?" Tantri memukuli tangan Cia. Ia menangis tersedu-sedu ketika tubuhnya terbanting ke ranjang Cia. "Aku nggak gatel, mas Bumi emang suka sama aku. Aku udah ... setahun lebih pacaran sama dia." Cia melayangkan tamparan ke pipi Tantri. Selama setahun lebih ia dikhianati oleh Bumi dan Tantri. Ia tak tahu apa-apa! Sungguh sialan! "Dasar gatel! Pelakor!" teriak Cia dengan nada tak terima. Ia ingin menampar pipi Tantri lagi, tetapi Tantri lebih dulu berteriak-teriak. "Mama! Papa!" seru Tantri sambil menutupi wajahnya. "Kak Cia jahaaat!" Cia menurunkan tangannya. Kemudian, pintu kamar terbuka lagi dan kedua orang tua mereka masuk. Sulis dengan panik langsung memeluk tubuh Tantri. "Apa yang kamu lakukan?" teriak Sulis. "Cia! Kamu nggak mikir kalau kamu udah menyakiti adik kamu? Gimana kalau kandungan Tantri kenapa-kenapa?" teriak Gito. Kedua mata Cia memanas. Ia tak tahan lagi dengan semua orang. "Ayo keluar dari sini," kata Sulis sambil membantu Tantri berdiri. Ia melayangkan tatapan sengit pada Cia yang masih bernapas naik-turun. "Jaga kelakuan kamu atau Tante akan hukum kamu!" "Dengerin mama kamu! Jaga tingkah kamu itu!" gertak Gito. Ia mengangkat tangannya ke sisi tubuh sebagai tanda bahwa ia sangat kesal dengan Cia. "Mulai malam ini, Papa bekukan semua kartu kamu. Sampai kamu bilang menyesal, jangan harap kamu bisa belanja dan bersenang-senang!" "Tapi, Pa!" seru Cia tak terima. "Dan mobil kamu juga Papa tahan! Jangan seenaknya sama adik kamu. Kamu harus minta maaf sama Tantri kalau kamu mau pakai mobil lagi," kata Gito sebelum meninggalkan kamar Cia. Cia menjerit frustrasi. Ia meraih lampu di atas nakas dan semua barang di sana lalu membantingnya. Ia sangat marah. Ia tak terima ia yang diminta meminta maaf pada Tantri. Setelah Tantri menusuknya dari belakang! Cia duduk di sebelah ranjang. Punggungnya menempel di tepian ranjang sementara kepalanya berputar keras. "Aku harus balas semua ini. Aku nggak bisa jadi satu-satunya orang yang terluka." Cia mulai memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan. "Aku harus bales Bumi. Dia bisa nikah sama adik tiri aku. Dan aku harus dapetin pengganti Bumi dan nikah sama dia. Seseorang yang nggak bakal disangka Bumi. Tapi, siapa?" Cia mencebik. "Aku harus bales Tantri, mama dan papa. Aku harus bisa dapetin suami yang tajir dan loyal sama aku. Tapi, siapa? Gimana caranya aku bisa cepet nikah?" Cia meletakkan belakang kepalanya di atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya dan terbayang sosok Soni. Pria itu adalah kakak dari Bumi. Ia bisa mengejutkan Bumi jika ia menikah dengan Soni. Satu-satu! Itu balasan yang setimpal. Dan ia bisa membalas Tantri jika ia menikah dengan Soni. Soni adalah ahli waris keluarga Prakoso. Tentu saja, Bumi bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Soni. Soni juga tampan meskipun sudah menginjak kepala tiga dan berstatus duda. Cia langsung nyengir. "Aku harus dapetin Om Soni!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN