Bab 2. Om, Nikah Yuk!

1546 Kata
Selama beberapa hari, Cia lebih banyak di kamar. Ia muak dengan persiapan pernikahan Tantri dan Bumi. Ia juga tidak bisa keluar untuk berfoya-foya seperti yang biasa ia lakukan karena semua kartu miliknya tak bisa ia gunakan. Bahkan, mobil saja ia tak punya. Namun, Cia tak hanya diam di kamar. Ia merampungkan sketsanya sebaik mungkin. Ia akan memasukkan lamaran sebagai desainer magang di perusahaan Soni secepatnya. Jadi, ia bisa menggoda pria itu lalu menikahinya. Rencana yang sempurna, pikir Cia dalam hati. "Ci, kamu masih mau di kamar?" Terdengar teriakan Sulis dari luar kamarnya diikuti pukulan ke daun pintu. Cia hanya mendesis sengit. Hari ini pernikahan Tantri dan Bumi, ia tak ingin melihat mereka menikah, tetapi tampaknya itu juga tak bisa dihindari. Jadi, Cia pun berdiri. Ia mungkin akan melihat Soni juga hari ini. Ia bisa mulai beraksi. "Jam berapa acaranya?" tanya Cia ketika ia membuka pintu. Sulis membuang napas panjang. Cia masih terlihat kusut dengan baju tidur panjang. Sungguh menyebalkan, pikir Sulis. "Dua jam lagi. Kamu buruan mandi biar nanti juga didandani. Nanti kita bakalan ada foto keluarga. Jadi, kamu jangan bertingkah aneh-aneh." "Kurung aja aku kalau kalian nggak percaya sama aku!" gerutu Cia. "Kamu jangan bicara sembarangan dan buruan mandi." Sulis mengibaskan tangannya agar Cia kembali masuk ke kamarnya. "Aku mau dandan sendiri, aku nggak mau pakai kebaya kembaran sama Tante," ujar Cia sengit. "Kamu nanti kelihatan kayak tamu kalau nggak kembaran sama keluarga," tukas Sulis. "Sejak kapan kita jadi keluarga?" Cia menatap sengit ibu tirinya. "Keluarga sesungguhnya nggak akan menikung anggota keluarga yang lain!" Cia membanting daun pintu. Ia membiarkan Sulis mengumpat di balik pintu lalu segera membuka lemarinya. Ia tak mau memakai kebaya, ia tak akan menikmati pesta pernikahan adik tirinya. Setelah menghabiskan waktu satu jam lebih untuk memilih gaun, mandi dan merias diri, akhirnya Cia keluar dari kamar. Ia merasa cantik, ia tak ingin terintimidasi dengan pernikahan Tantri. Namun, hati Cia tetap saja tercabik-cabik ketika melihat betapa cantiknya Tantri yang memakai kebaya putih dengan riasan pengantin di wajahnya. Apalagi ketika ia melihat Bumi yang jelas tampan dengan jas hitam. Bumi juga terus tersenyum, tidak terlihat gugup. Itu membuat Cia merasa semakin hancur. Cia berusaha tegar. Rencana balas dendam akan membuatnya semakin kuat! "Ah, ituOm Soni," batin Cia. Ia tersenyum miring, mengangkat gaunnya sedikit lalu mendekati pria itu. "Hai, Om! Baju kita kembaran!" Soni menatap Cia dari ujung kaki hingga ujung kepala. Gadis itu mengenakan gaun seksi berwarna hitam dan kebetulan, ia juga memakai kemeja batik hitam. "Kamu nggak pakai baju seragam kayak keluarga kamu." "Ah, itu nggak penting." Cia tersenyum tipis pada Soni. "Aku mau ngelamar di kantor Om besok pagi." "Oh, ya?" Soni memiringkan kepalanya. "Jadi apa?" "Desainer." Soni manggut-manggut di depan Cia. Sebenarnya, ia tak terlalu akrab dengan gadis ini. Jadi, ia hanya menanggapi ucapan Cia sekenanya. Ia bahkan tak tahu Cia seorang desainer. Bumi selalu berkata bahwa Cia adalah gadis yang tidak pernah serius belajar dan hanya mau bersenang-senang. "Semoga sukses kalau begitu." Cia mengangguk. "Mungkin, Om bisa ajakin aku tur di kantor perusahaan Om besok. Aku bisa chat Om, siapa tahu Om nggak sibuk. Boleh aku minta nomor ponsel Om?" Soni hampir tersedak sekarang. "Kamu pikir aku nggak punya kerjaan? Aku orang sibuk, Ci. Mana mungkin aku ngajakin kamu tur. Ah, kamu ini ada-ada aja." "Ya, tap—" "Udah mau dimulai akad nikahnya." Soni tak lagi menatap ke arahnya. Ia mendorong bahu Cia sedikit agar gadis itu menatap ke kedua mempelai. Soni melirik Cia yang kini menegang dengan mata bulatnya yang semakin membesar. Soni menurunkan tatapannya, kedua tangan Cia terkepal. Mau tak mau ia merasa agak kasihan pada Cia. Gadis itu pasti sangat terluka harus menyaksikan pacarnya menikah dengan adik tirinya sendiri. Namun, Soni hanya menggeleng. Ia tak peduli dengan Cia yang kini baru saja meneteskan air mata. *** Cia menatap wajahnya yang menyedihkan di cermin. Kedua matanya bengkak karena ia terus menangis semalam. Ternyata, menyaksikan pria yang disukai menikah dengan orang lain sangat berat. Apalagi, orang lain itu adalah adik tirinya. Cia berusaha tegar, tetapi nyatanya ia tak bisa. "Sial. Hari ini aku mau ngelamar kerjaan! Tapi mata aku kenapa bengkak gini?" Cia mengumpat berkali-kali di depan cermin. Andai boleh jujur, Cia tak ingin keluar kamar. Bumi ada di sini, di rumah ini dan mereka mungkin akan bertemu ketika sarapan. Dan Bumi bersanding dengan Tantri. Ini adalah siksaan batin. Cia merias dirinya secantik mungkin lalu membawa tasnya. Ia menuruni anak tangga dengan gugup. Hingga akhirnya ia mendengar suara manja Tantri di ruang makan. "Aku mual, Sayang," kata Tantri. "Aku nggak bisa makan itu." "Ya ampun, Sayang. Maaf, aku ambilin makanan lain, ya." Suara Bumi yang lembut mampir di telinga Cia. Karena tak tahan lagi mendengar pasangan suami-istri baru itu, Cia membelokkan kakinya ke arah ruang tamu. Ia tak butuh sarapan bersama mereka. Ia akan pergi saja sekarang. "Kamu mau ke mana?" tanya Gito yang baru saja menuruni anak tangga. "Nyari kerjaan," jawab Cia datar. "Kita harus sarapan sekeluarga. Kenapa kamu udah mau pergi?" tanya Gito. Ia menatap Cia yang bergeming di tempatnya berdiri. "Dan kamu ... kamu mau ngelamar kerja? Beneran?" "Papa nggak pernah percaya sama aku!" gertak Cia. Ia membalik badan dengan cepat lalu membuka pintu. Begitu keluar, Cia langsung kelabakan. Ia tak punya mobil. "Sial!" Cia mengeluarkan ponselnya Ia memutuskan untuk memanggil ojek dengan ponsel. Beruntung ia masih memiliki saldo e-wallet. Cia tiba di gedung Fortuna Company. Itu adalah perusahaan milik keluarga Soni yang bergerak di bidang fashion. Cia datang terlalu pagi, jadi ia bisa berjalan-jalan di sekitar gedung. Tentu saja, ia melakukan itu secara diam-diam karena para pelamar seharusnya masuk ke gedung serba guna yang ada di lantai dua. Namun, kini Cia sudah hampir mencapai rooftop. Ia butuh udara segar untuk menenangkan dirinya. "Kita nggak bisa membiarkan gosip ini terus menjamur, Tuan." Cia menahan dirinya untuk membuka pintu karena ia justru mendengar suara yang sarat akan kepanikan. Jadi, ia pun mengintip. Ia tersenyum ketika melihat Soni ada di sana bersama seorang pria lainnya. "Abaikan aja, aku udah sering jadi bahan omongan," kata Soni. Cia mengerutkan keningnya. Entah apa yang mereka bicarakan, Cia sangat penasaran. "Tapi, Tuan. Mereka bilang Anda itu gay. Ini bisa bikin citra perusahaan kita menurun," kata si pria. Cia menutup bibirnya dengan telapak tangan. Soni? Gay? Apakah benar? Cia menajamkan pendengarannya. Ia ingat, Soni sudah lama sendiri. Bumi bilang, Soni pernah menikah, tetapi akhirnya bercerai dan tak pernah menikah lagi. "Itu cuma gosip. Pasti akan hilang setelah beberapa bulan," ujar Soni. "Tuan jangan menyepelekan masalah ini. Beberapa pemegang saham udah waswas. Saya pikir, Anda harus melakukan sesuatu untuk membuktikan bahwa Anda tidak gay," kata si pria memberi saran. Cia menyimak. Ia melihat wajah Soni mengeras. Ia menunggu respons Soni. "Gimana caranya? Aku harus pacaran? Aku udah pernah pacaran sama cewek, harusnya mereka nggak buta dan tahu aku pria yang normal," ujar Soni sengit. "Pacaran nggak akan menyelesaikan masalah, Tuan. Mereka butuh bukti konkret. Lebih baik Anda menikah. Pernikahan jauh lebih diakui dibandingkan pacaran." Kedua mata Cia membola. Pernikahan. Itu yang ia butuhkan! Dan Soni mungkin juga membutuhkan pernikahan. Kenapa semuanya begitu pas? Cia hampir tertawa sekarang. "Itu nggak mungkin terjadi." Suara Soni membuat senyum Cia padam. "Kamu tahu, aku nggak mau nikah." "Tapi, Tuan ... ini hanya pernikahan pura-pura. Anda tahu, mungkin kita bisa membayar wanita tertentu untuk menikah dengan Anda selama beberapa bulan atau tahun. Hanya untuk menepis kabar miring tentang Anda. Jadi, tidak perlu pernikahan betulan. Saya pikir ...." Pria itu menoleh ke pintu dan bertemu tatap dengan Cia. "Hei! Kamu siapa?" Soni ikut-ikutan menoleh ke arah pintu. Cia terkesiap ketika Soni berjalan cepat lalu menarik daun pintu. Tubuh Cia tertarik ke rooftop tepat ketika Soni mundur. "Aah!" Cia memekik lantaran tubuhnya baru saja menghempas lantai dengan keras. Ia menoleh pada Soni, hampir menangis karena malu dan kesal. Kedua lutut dan telapak tangannya juga terasa pedih sekali. "Cia?" Soni menelan keras. Ia tak menyangka Cia ada di sini dan mungkin mendengar apa yang ia obrolkan dengan Reno, asistennya. "Sejak kapan kamu berdiri di situ?" Cia mendengkus. Ia duduk di lantai dengan tangan menepuk-nepuk lutut lalu berdiri dengan limbung. Soni baru saja menutup pintu rapat-rapat. "Sejak Om sama om ini ngomong kalau Om ternyata gay!" "Diam kamu!" Soni membungkam bibir Cia dengan telapak tangannya. Ia cemas karena suara Cia yang melengking. Ia tak ingin ada orang yang mendengar ini. "Seharusnya kamu nggak di sini!" Bibir Cia bergerak-gerak di bawah telapak tangan Soni. Ia juga memukuli lengan Soni karena ia ingin bicara. "Kita harus pastikan gadis ini tutup mulut, Tuan. Bisa bahaya jika gosip pernikahan Anda akan menyebar," kata Reno. Soni menatap Cia dengan sengit. Namun, Cia baru saja menggeleng. Cia berusaha bicara, jadi ia menarik tangannya. "Denger, ya, Ci. Semua yang kamu dengar tadi nggak benar!" gertak Soni. Ia masih terkejut dengan kemunculan Cia yang seperti hantu. "Aku tahu Om harus nikah untuk menutupi gosip itu," kata Cia. Ia mengusap bibirnya yang baru saja dibungkam. Di depannya Soni langsung mendengkus. "Itu cuma gosip! Dan pernikahan tadi ... kamu jangan bilang siapa-siapa. Paham?" Soni berkacak pinggang. "Aku mau kasih penawaran sama Om. Kita ... Om, kita nikah, yuk!" Cia merasa takdir sedang membantunya. Ia bisa menikah dengan Soni untuk balas dendam pada semua orang. Sementara Soni juga akan mendapatkan keuntungan dengan pernikahan itu. "Apa kata kamu?" Soni membelalak di depan Cia. Begitu juga dengan Reno. "Kita bisa nikah, Om."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN