Soni berdehem lalu menarik bahu Tiara agar anak itu tidak lagi melotot pada Cia. "Hadap depan, Ra. Kamu nanti pusing." Ia bernapas lebih lega ketika Tiara menurut. Yah, meskipun anak itu langsung melipat kedua tangannya di depan d**a. "Ayah tahu kamu belum terbiasa dengan kondisi ini, tapi kamu harus tetap bersikap sopan sama tante Cia."
Cia tersenyum miring. Ia merasa Tiara memang perlu diberi wejangan. Baru ia hendak menimpali, Soni langsung menoleh padanya. Mereka sedang berhenti di lampu merah. Ia langsung menutup mulutnya lagi.
"Dan kamu, Cia. Kamu juga jangan gitu sama anak-anak. Kamu jauh lebih dewasa dari Tiara, ingat kamu bukan anak kecil lagi," tegur Soni padanya.
Cia mencebik. Ia ikut-ikutan melipat tangannya di depan d**a lantaran kesal. Dan itu membuat Soni hanya bisa menggeleng.
"Kita bentar lagi makan, aku tahu kamu capek dan laper," lanjut Soni pada Cia. Ia lalu mengusap puncak kepala putrinya. "Kamu juga laper, nanti kita makan bareng. Jangan ngambek lagi, Sayang."
Dan perjalanan itu pun berlanjut dengan lagu-lagu Korea masa kini yang disetel oleh Tiara. Mau tak mau Cia ikut bergumam karena ia juga cukup menyukai lagi Korea. Ia menemukan satu kecocokan dengan anak tirinya. Lagu K-Pop.
Tak lama, mobil Soni akhirnya berhenti di depan sebuah warung makan soto Betawi. Cia tersenyum senang seraya mengusap perutnya yang keroncong. Ia sudah tak sabar untuk makan.
"Ayo." Soni merangkul Tiara sementara Cia berjalan tak jauh di belakangnya.
Cia membuang napas panjang melihat kedekatan Soni dengan putrinya. Ia sudah lupa kapan terakhir kali Gito merangkulnya seperti itu. Ia agak iri dengan Tiara. Ia juga agak kesal karena ini masih hari kedua pernikahannya. Tak ada hal manis di antara ia dan Soni kecuali sandiwara mereka pagi tadi ketika sarapan. Dan ia ingat, itu hanya sandiwara!
Cia duduk di seberang Soni dan Tiara. Ia mengedarkan matanya pada buku menu yang ada di meja. "Aku mau soto sama es teh, Om."
"Ehm, oke. Kamu?" Soni bertanya pada Tiara.
"Sama."
Soni mengangguk. Beruntung, untuk urusan makanan tak ada yang perlu diperdebatkan. Ia sudah lelah dan tak ingin mendengar adu mulut Tiara dan Cia lagi.
Sambil menunggu menu makanan, Cia berseluncur di dunia maya sementara Soni membahas masalah sekolah dengan Tiara. Cia mendapatkan banyak sekali pesan dari teman-temannya.
Pernikahannya dengan Soni sudah membuat mereka terkejut. Tentu saja, ia mengundang mereka ke pesta kemarin, tetapi masih ada yang sangat penasaran dengan pernikahan itu. Apalagi sahabat dekat Cia yang tahu bahwa Soni adalah kakak dari Bumi. Sungguh aneh mengetahui fakta bahwa Bumi menikah dengan Tantri sedangkan Cia menikah dengan Soni.
"Makan dulu, Ci." Soni menggeser mangkuk berisi makanan berkuah itu.
Cia mengangguk senang. Ia menambahkan sambal secukupnya lalu mulai makan. Di depannya, Soni dan Tiara juga makan.
"Abis ini, kamu mau jalan ke mana?" tanya Soni pada Tiara. Biasanya ia akan mengajak Tiara menginap di rumahnya yang ada di Bogor, atau terkadang membawanya ke Jakarta. Karena ia biasanya hanya bisa datang Sabtu sore dan memulangkan Tiara di hari Minggu sore.
"Ehm ... ke mana, ya?" Tiara tampak berpikir.
"Ya, terserah kamu. Apa kamu mau belanja baju baru atau mainan mungkin?" tanya Soni lagi.
"Aku mau tas baru!" Tiara berseru.
"Oke. Nanti Ayah beliin." Soni menyahut dengan cepat.
"Aku juga mau main ke play zone, Yah," kata Tiara.
"Oke, siap. Nanti kita main di sana," tukas Soni.
Tiara mengangguk senang. Sudah cukup lama ia tak bermain di sana bersama Soni. Ia lalu melirik Cia yang makan dengan lahap. "Tante ini juga ikut?"
Cia baru mengangkat dagunya. Ia lalu mengangguk. "Tentu aja Tante ikut. Kalau urusan belanja dan main di play zone, Tante juaranya!"
Tiara mendesis tak senang. Ia merasa sudah memiliki saingan baru sekarang. Soni menepuk pundaknya dengan lembut, jadi ia kembali makan dan tak mengajak Cia mengobrol lagi. Dan seperti tadi, Cia tampak sibuk dengan ponselnya.
Usai makan siang, Soni membawa mereka berdua ke pusat perbelanjaan yang tak jauh dari rumah makan. Soni terus merangkul Tiara dan mengajak putrinya itu mengobrol. Tiara sudah tak mengambek dan ia sangat senang menanggapi candaan dari Tiara. Ia tak sadar bahwa Cia berjalan dengan tertatih-tatih karena menahan sakit di pergelangan kakinya.
"Kita liat tas di situ," ajak Soni seraya menunjuk sebuah gerai tas dan alat sekolah.
Cia membuang napas panjang. Ini sudah toko ketiga yang mereka datangi dan Tiara belum menemukan tas yang cocok. Cia sangat lelah, tetapi ia tak ingin protes pada Soni yang sedang menghabiskan waktunya dengan Tiara.
"Papa mau ke toilet dulu, Ra. Kamu sama tante, ya," ujar Soni. Di sebelahnya Tiara mengangguk. Ia baru menoleh pada Cia yang sedang duduk di kursi tunggu sambil memijat betisnya. Ia pun mendekati Cia. "Kaki kamu masih sakit?"
Cia mengangguk dengan wajah cemberut. "Om mau ke mana? Udah kelar itu Tiara beli tas?"
"Aku mau ke toilet. Kamu jagain Tiara bentar, ya," kata Soni.
"Oke." Begitu Soni berlalu, Cia langsung berdiri. Ia menatap tas yang dipegang oleh Tiara. "Idih, unicorn?"
"Bagus ini, Tante. Lucu," sebal Tiara.
"Kayak anak kecil banget, ya ampun," ledek Cia yang memang tak menyukai aneka barang bertema unicorn. "Bagus juga yang ini. Gambar stroberi."
"Aku emang anak kecil, Tante." Tiara memeluk tas yang tadi ia inginkan dengan posesif. Namun, kedua matanya juga melirik tas yang ada di tangan Cia.
"Iya, tapi ... bagusan yang ini." Cia kembali menawarkan.
Tiara menimbang. Ia melepaskan pelukannya pada tas unicorn lalu mengambil tas yang dipamerkan Cia. Itu lumayan dan belum ada temannya yang punya tas seperti ini.
"Itu bagus, daripada unicorn," ujar Cia seraya bergidik.
"Tapi unicorn juga lucu, Tante," kukuh Tiara.
"Ya udah, terserah kamu. Jangan kelamaan milih. Mendingan kita ke play zone abis ini," kata Cia.
Tiara mengangguk. Benar juga, waktu cepat sekali bergulir dan ini sudah hampir sore. Ia masih ingin bermain dengan Soni. Jadi, ketika Soni muncul kembali ia langsung berkata ingin membeli tas unicorn, tetapi ia jug menyukai tas stroberi. Dan Soni memutuskan untuk membeli keduanya untuk Tiara.
"Ini untuk kamu," kata Soni saat mereka keluar dari toko. Ia menyodorkan tas belanjaan kecil pada Cia.
"Ya ampun, sandal jepit," ujar Cia yang kaget dengan apa yang dibeli oleh Soni.
"Iya, pakai aja. Kaki kamu nanti bisa bengkak kalau kamu pakai heels," kata Soni.
"Ciyee, Mas Suami bisa perhatian juga," ledek Cia yang tiba-tiba merasa bahagia sekali. Hanya dengan sandal jepit hatinya mendadak merasa hangat. Ia terkekeh seraya menurunkan sandal jepit baru itu. Ia belum pernah memakai sandal jepit di pusat perbelanjaan seperti ini, tetapi karena kakinya memang parah, maka ia pun melakukan apa yang dikatakan oleh Soni.
Cia menyimpan sepatu berhak tingginya di tas sandal lalu tersenyum. "Makasih, Om. Ini jauh lebih nyaman."
Soni mengangguk. "Ya udah, ayo."
Cia kembali mengikuti langkah Soni dan Tiara. Kali ini mereka masuk ke tempat permainan. Tiara terlihat begitu senang dan tak sabar untuk bermain sementara Soni mengisi voucher kartu membernya. Cia buru-buru membuka dompetnya, ia juga memiliki kartu member. Sama seperti Soni, ia segera mengisi kartu itu karena ia pun ingin bermain.
Tiara memulai permainan balapan motor virtual dengan Soni sementara Cia memukuli boneka dengan geram. Itu melelahkan, ia terus kalah karena sesekali melirik Soni. Ia agak kesepian, Soni begitu antusias bermain dengan Cia dan ia bahkan tak diajak bicara.
Hingga akhirnya, ketika Soni dan Cia bermain lempar bola basket, Cia sangat kesal. "Minggir, Om. Aku mau ikutan main."
"Tante mau battle?" tanya Tiara dengan nada menantang.
"Boleh. Tante nggak mungkin kalah dari bocah kayak kamu," ujar Cia.
Keduanya mulai melempar bola dengan penuh semangat. Cia tertawa sambil melompat-lompat ketika poin yang ia dapatkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Tiara. Ia berhasil membuat anak itu cemberut karena kalah.
"Ah, Tante curang," ujar Tiara seraya merapat ke arah Soni.
"Mana ada curang. Ayo main lagi," ajak Cia. Ia menatap ke arah permainan tembak menembak. "Yang itu. Ayo!"
"Ehm ... tapi aku nggak bisa," kata Tiara.
"Gampang. Ayo Tante ajarin," kata Cia. Ia menggandeng Tiara lalu mulai memberikan mainan penembak itu. Ia memberitahu bagaimana cara menembak sasaran dengan tepat dan Tiara bisa melakukannya meski masih meleset.
"Yang ini aku nggak mau battle," kata Tiara. Ia jelas tak mau kalah lagi dari Cia.
Cia hanya tertawa dan mengangguk. Keduanya bermain dengan penuh teriakan sementara Soni menonton di dekat mereka.
"Yah, ayo kita battle dance," ajak Tiara ketika ia sudah bosan bermain menembak.
"Kamu aja, Ayah nggak usah," kata Soni yang baru saja melihat Cia nyengir. Ia tak mau menari di depan Cia yang pasti akan meledeknya.
"Ih, Ayah. Kita kan selalu main ini," ujar Tiara.
"Ya udah, oke. Sekali aja," kata Soni.
Tiara mengangguk. Keduanya berdiri di atas papan injak dan ketika musik mulai terdengar, mereka mulai menari mengikuti arahan yang ada di layar. Cia benar-benar tertawa sekarang karena Soni terus menginjak posisi yang salah. Tiara ikut tertawa sebab ia memang senang sekali memainkan permainan ini untuk mengalahkan Soni.
"Payah banget, Om! Sini biar Cia aja yang main," ujar Cia ketika Soni sudah kalah telak dari Tiara.
Persaingan pun dimulai, Cia dengan penuh semangat menari dengan tepat sementara Tiara mulai kewalahan karena Cia sangat lincah. Permainan berakhir dengan kemenangan Cia.
"Tante bisa semua deh, kesel!" gerutu Tiara.
Cia mengusap puncak kepala Tiara. "Itu namanya pelajaran. Nggak setiap waktu kamu bisa menang. Sekarang, mau main apa?"
"Capit boneka. Ayah, buruan main itu. Aku mau Ayah ambil boneka buat aku!"
Cia mengangkat alisnya bolak-balik pada Soni. "Aku juga mau boneka, Om!"