Keesokan harinya seperti hari kemarin mereka membereskan tenda dan kemudian sarapan, lalu bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Herannya Rahmat masih sakit dan tidak mau berbicara sama sekali. “Rahmat, kenapa lu diem aja? Muka lu pucet, loh,” tanya Ririn yang merasa kasihan melihat kondisi Rahmat.
Rahmat hanya terdiam saja dan tidak menjawab sama sekali. Ririn jadi merasa kasihan dengan Rahmat. “Bang, gimana kalau kita pulang aja? Kasihan Rahmat, tuh.”
“Iya, ini lagi cari jalan buat ke pos kedua paling nggak ntar kita ketemu orang lain buat cari jalan turun.” Bang Opung tetap melanjutkan perjalanan demi bisa bertemu dengan rombongan lain karena memang sudah tidak beres dengan perjalanan kelompok itu.
Herannya lagi, semenjak Rahmat sakit, setiap kali berhitung untuk memeriksa kondisi anggota selalu saja kelebihan dua. Dalwi sebenarnya paling takut karena berada di belakang Rahmat. Namun apa daya pria itu tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak diizinkan satu kelompok itu untuk menoleh ke belakang oleh Bang Opung. Mereka tetap berjalan dan melanjutkan perjalanan. Mereka juga menghemat perbekalan dan makanan sehingga makan hanya pagi dan malam.
Hari demi hari berlalu, mereka semua seperti di dalam labirin yang tidak ada ujungnya. Bahkan mereka juga tidak bertemu dengan orang lain maupun kelompok pendakian yang lain. Beberapa kali coba berteriak juga tidak ada hasil sama sekali seolah-olah hanya mereka yang berada di gunung tersebut.
“Mau ke mana kalian berdua?” tanya Bang Opung yang mulai curiga dengan gelagat Putri dan Kodel.
“Gua mau kencing, Bang. Minta anter Kodel aja yang jelas mau. Lainnya belum mesti mau, kan?” Putri menjawab dengan santai karena memang teman yang lain tidak mau mengantarkan karena malas dan juga lelah terus berjalan.
Kodel dan Putri berlalu pergi meninggalkan teman-teman mereka tanpa merasa bersalah sama sekali. Semua pria menatap ke arah Ririn. “Gua males ngomong sama Kodel. Udah, bodo amat!”
“Sabar, Rin.”
“Bang, gua udah nggak sanggup. Ayo, pulang aja,” kata Rahmat dengan lirih karena tubuhnya lemas dan wajahnya terlihat begitu pucat.
“Iya, gua udah nyerah juga. Ayo pulang aja,” jawab Bang Opung yang merasa tidak akan ada jalan keluar kalau terus menerus seperti ini.
“Bang, jangan, lah. Katanya bentar lagi sampai pos kedua,” ujar Dalwi yang sebenarnya antara bingung mau pulang atau tidak tetapi lebih baik ke pos kedua dulu untuk memastikan adanya rombongan lain dan bertemu dengan orang lain.
“Ah, bingung sama kalian, nih!” Bang Opung terlihat mulai pusing juga memikirkan pendakian yang tidak ada hentinya berjalan tetapi seolah-olah berada di labirin.
Setelah Kodel dan Putri kembali, mereka pun kembali mendirikan tenda untuk istirahat malam di sana. Sebenarnya semua orang sudah mulai curiga dengan Putri dan Kodel. Namun karena belum ada bukti mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Malam itu sepertinya memang sudah seharusnya kejadian yang membuat mereka seperti berjalan di dalam labirin terkuak.
“Mau ke mana?” tanya Rahmat ke Putri dan Kodel.
“Biasa, mau anter kencing,” jawab Kodel santai sambil senyam-senyum sendiri.
“Pipis enak, ya?!” Rahmat mulai secara terang-terangan menyindir tetapi tidak dijawab sama sekali oleh Kodel atau Putri.
“Degel, gua ngerasa kalau kita nggak bisa pergi kemana-mana dari sini karena ada yang ngelakuin hal yang nggak-nggak. Jujur aja, gua ngerasa curiga sama Kodel dan Putri,” kata Rahmat sambil berbisik-bisik karena tidak mau pembicaraan itu di dekat oleh Ririn dan Bang Opung yang sedang berbicara di dekat api unggun.
“Lah, iya! Gua mau cerita sesuatu sama lu. Gini, waktu itu gua nggak sengaja pas awal pertama si Ririn sama Putri minta tidur satu tenda gara-gara ada penampakan, gua nggak sengaja lihat tangan Kodel masuk di celananya Putri. Gua yakin itu si Kodel colmek si Putri. Tapi dia nggak ngaku dan bilang nggak inget apa-apa.” Dalwi mau tidak mau jadi menceritakan apa yang pernah terjadi dan video yang menjadi barang bukti sudah dihapus.
Hal itu membuat Rahmat semakin mempercayai kalau memang ada sesuatu yang aneh terjadi. “Udah, gini aja. Kita ikuti Kodel sama Putri dan cari tahu bener apa nggak mereka mantap-mantap. Tapi diem diem dulu biar nggak jadi masalah sama Bang Opung and Ririn, gimana?”
“Oke, ayo.”
Dalwi dan Rahmat pun pergi mencari di mana Kodel dan Putri yang pamit mau buang air kecil. Mereka berdua tidak bilang ke Bang Opung dan Ririn terlebih dahulu karena mencari bukti yang kuat. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka mulai mendengar suara aneh.
“Ssst, denger, tuh. Suara ceplak ceplok sama desahan,” ujar Rahmat dengan lirih kepada Dalwi.
“Anjirrr! Kodel sama Putri beneran m***m! Anjirrr! Pantes kita nggak bisa balik or ke pos kedua. Muter-muter mulu macam gangsingan. Anjirr!!” Dalwi memaki karena kesal dengan Kodel dan Putri yang mulai terlihat sedang doggy-style di dekat pohon.
Rahmat dan Dalwi langsung memergoki dan memarahi Kodel dan Putri yang sedang nanggung maju mundur mencari kepuasan pribadi. “Anjirrr lu berdua! Anjirrr!!! Pantes aja kita muter-muter nggak ketemu orang lain! Lu di sini malah mantap-mantap begini! Bangke lu!” Dalwi emosi langsung melemparkan batu ke mereka berdua yang mulai panik.
Kodel langsung melepaskan miliknya dari liang Putri dan segera mengenakan celananya. Sedangkan Putri kalang kabut langsung menggunakan celana dan kaos yang tadi sudah dilepas oleh Kodel. Putri hanya terdiam menundukkan kepalanya karena takut sudah ketahuan. Kodel langsung di depan Putri seolah-olah melindungi wanitanya agar tidak jadi amukan.
“Gila kalian berdua emang biadap!! Kalau mau begituan jangan di sini!! Lu tahu kalau di sini dilarang berbuat yang aneh-aneh, pantes aja kita apes mulu. Otak kalian udah nggak beres!” Rahmat juga memarahi mereka berdua dengan nada yang tinggi sehingga Bang Opung dan Ririn yang semula berada di depan tenda sedang duduk menikmati air hangat di dekat perapian pun mendengar suara itu sehingga berjalan menghampiri mereka.
Kodel sama Putri masih diam seribu bahasa tidak berani menjelaskan apa-apa maupun membela diri karena sudah terlihat dengan jelas kalau mereka berdua bersalah. Rahmat dan Dalwi tidak henti-henti mengumpat dan juga memarahi kejadian itu yang dilakukan oleh mereka berdua dianggap membuat sial kelompok tersebut sehingga tidak sampai ke tujuan maupun tidak bisa pulang. Dalwi merasa kesal sudah mempercayai Kodel dan Putri sebelumnya sehingga menghapus video bukti awal mula mereka melakukan hal m***m.
“Ada apa ini?” Bang Opung bertanya sambil bersama dengan dirimu ke arah mereka dengan penerangan lampu carge dan senter.
“Bang, itu si Kodel sama Putri ternyata mantap-mantap di sini. Pantes aja kita sial Mulu!” Dalwi langsung mengadukan hal itu kepada Bang Opung selaku ketua rombongan.
“Apa? Gila kalian?! Udah bosen idup?!” Bang Opung langsung marah dan melotot ke arah Kodel dan Putri.
Ririn terkejut dan tidak percaya dengan apa yang didengar barusan. “A-apa? Ini nggak mungkin, kan? Gua salah dengar, kan?”
“Beneran, Rin. Gua sama Dalwi yang lihat langsung mereka lagi mantap-mantap di sini. Doggy-style pula. Nggak ada otak mereka!” Rahmat mengatakan hal yang sebenarnya agar Ririn tidak terus-menerus tertipu dengan pria buaya darat seperti itu.
“Anjirrr!! Kejam lu, ya! Dasar cewek murahan! Cowok buaya darat!! Awas kalian ya!!” Ririn tidak terima dengan semua itu dan langsung mengamuk.
Tentu saja yang menjadi sasaran amarah Ririn yang pertama adalah Putri karena dianggap sebagai w************n yang merebut pacar orang lain dan mantap-mantap di tengah hutan. Ririn menarik rambut Putri dan mencakar wajahnya. Kodel mencoba memisahkan Ririn yang sedang emosi dan menganiaya Putri, tetapi justru kaki Ririn menendang pusaka milik Kodel hingga pria itu jatuh dan kesakitan.
Teman yang lain tidak ada yang menolong Kodel dan justru meludahi Kodel. “Cuiih! Sukurin! Biar ancur masa depan lu!” Bang Opung sudah begitu emosi dengan kejadian yang terjadi dan tidak mau tahu lagi apalagi menolong orang yang salah.
“Sialan lu, ya! Cewek murahan!!” Ririn masih emosi dan meluapkan semua dengan menjambak rambut, mencakar wajah, menendang perut Putri dengan berkali-kali.
Akhirnya Dalwi, Rahmat, dan Bang Opung memisahkan Ririn dan Putri. “Udah, Rin, udah. Bisa mati dia kalau lu kalap begini,” ujar Dalwi sambil memegang tangan Ririn.
“Kalau mau nyalahin, tuh, tanya Ririn yang nekat muncak padahal menstruasi! Gua mulu yang disalahin, nggak ngaca!” Bukannya Putri introspeksi diri, tetapi justru menyalahkan Ririn dan mengungkapkan kalau Ririn dalam kondisi datang bulan.
“Anjirr lu, ya! Mau gua sobek mulut lu! Gua mens pas udah muncak. Gua nggak tahu sama sekali. Emang apa salah gua?! Lu aja yang gatel punya lu sampe minta pacar gua garukin!!” Ririn masih emosi dan tidak terima dengan penuturan Putri yang seolah-olah jadi memojokkan Ririn.
“Udah, udah, jangan gini terus! Dah, emang sejak awal pendakian ini nggak beres! Lu semua udah melanggar apa yang harusnya kita nggak boleh lakuin di sini. Gua udah nggak tahu lagi mau ngomong apa sama kalian, nih! Lu semua nyadar nggak kalau nyawa kita taruhannya?!” Bang Opung marah dan membentak semuanya agar sadar dan memikirkan kembali apa yang sudah mereka lakukan selama mendaki gunung.
Semua akhirnya terdiam karena memiliki kesalahan masing-masing. Ririn menangis dan minta putus sama Kodel. “Gua nggak sudah dapat pacar yang colok sana sini. Gua mau putus!!”
“Putus, ya, putus aja! Gua juga nggak minat sama lu!” Kodel yang sudah malu, terpaksa berkata seperti itu kepada Ririn padahal pria itu sebenarnya lebih mencintai Ririn daripada Putri. Kodel hanya membuat Putri sebagai pelampiasan nafsu saja, berbeda dengan perasaan cinta kepada Ririn meski sering cekcok.
“Udah!! Gua mau pulang aja. Gua sama Kodel mau pisah aja sama kalian! Bete gua lama-lama berasa lu pada paling suci and nggak pernah buat salah. Gua muak sama lu pada!!” Putri memutuskan untuk pulang dan berpisah rombongan dengan Bang Opung. Kodel menatap Putri dengan reaksi terkejut, tetapi apa boleh buat hal itu sudah dilontarkan dan tidak bisa mereka kembali lagi.
Lagi pula Kodel dan Putri sudah terlanjur malu dan ketahuan melakukan perbuatan buruk. Tidak mungkin mereka berdua bisa bertahan melanjutkan perjalanan bersama dengan Ririn. Mereka sudah terlanjur malu dan emosi juga karena sudah dihakimi.
“Ya, udah. Bangun tenda lu sendiri! Gua ogah satu tenda sama lu berdua!!” tegas Bang Opung yang meminta Kodel membangun tenda yang satunya masih berada di dalam tas pria itu.
Kodel langsung menarik tangan putri dan mengajak untuk pergi dari tempat itu menuju ke arah tenda. Kodel dibantu oleh Putri membangun tenda dengan susah payah karena kesulitan biasanya para pria yang membangun tetapi ini tidak ada yang mau membantu. Mereka berdua diam saja karena tahu dikucilkan oleh yang lain.
Setelah cukup lama akhirnya Kodel berhasil mendirikan tenda. Putri membantu Kodel membuat perapian untuk mereka berdua karena sudah diabaikan oleh yang lain. Mereka berdua memasak makanan dan membuat minuman sesuai dengan apa yang mereka miliki saja. Mie seduh dalam kemasan dan teh hangat. Mereka berdua makan dan minum tanpa diperhatikan lagi oleh yang lain karena Bang Opung, Ririn, Rahmat, dan Dalwi sudah masuk tenda untuk tidur.
Ririn masih menangis di dalam tenda karena merasa sakit hati. Dalwi, Rahmat, dan Bang Opung coba menenangkan Ririn dan juga mengatakan kalau wanita itu boleh tidur di tengah dengan batasan tas. Mereka sadar kalau saat ini tenda lebih leluasa karena digunakan berempat. Mereka juga sudah tidak peduli soal Kodel dan Putri yang berduaan di tenda sebelah. Beberapa puluh menit kemudian, mereka berempat pun terlelap tidur. Berharap besok ada jalan keluar dari masalah ini karena biang masalah sudah tertangkap.
Kodel dan Putri akhirnya sudah selesai makan dan bergegas masuk ke dalam tenda karena sudah terlalu malam. “Gua takut, Yang,” kata Putri kepada Kodel.
“Nggak usah takut. Ada gua. Lu nggak perlu khawatir.”
“Gimana kalau mereka ntar aduin kita ke dekan? Gua masih mau lulus kuliah.”
“Nggak mungkin. Mereka nggak punya bukti yang kuat karena rekaman video malam itu udah dihapus sama Dalwi.” Kodel memang licik dan tahu kalau hal itu tidak bisa dilaporkan kalau tidak ada bukti kuat.
“Iya, sih.” Putri pun merasa lega.
“Gua nggak bisa kasih, dulu, ya. Tadi Ririn nendang ini gua,” kata Kodel sambil menunjuk pusakanya yang masih terasa sakit.
“Iya, nggak apa. Badan gua juga sakit banget.” Ternyata Putri juga merasa sakit karena Ririn yang emosi tadi menyerangnya dengan kalap. Mereka berdua pun berpelukan dan terlelap. Meski akhirnya kedua orang itu bermimpi buruk, sangat buruk.