BAB 8

2132 Kata
Akhirnya Dalwi dan kawan-kawan sampai di basecamp. Mereka turun dari ojek dan membayar sesuai kesepakatan awal. Terlihat di sana banyak orang juga berkumpul untuk mendaki gunung. “Nah, banyak juga, kan, orang-orang naik gunung? Ape gua bilang!” celetuk Bang Opung sambil tersenyum menatap di sekitarnya ya memang memperlihatkan banyak orang hendak naik gunung juga meski sudah sore. “Iya, Bang! Masih rame, ya. Seneng banget kalau rame gini,” sahut Putri yang masih terlihat antusias meski sebenarnya tidak begitu suka mendaki gunung. “Iya, lah. Makanya kalau pergi-pergi jangan cemberut mulu. Ntar nggak tahu kalau perginya asyik dan banyak orang juga yang ikut naik gunung,” sindir Dalwi yang sebenarnya tidak mau mengatakan hal itu kepada Putri melainkan menyindir Ririn. Mendengar celetuk dari Dalwi jelas saja memancing emosi Ririn yang sedang bad mood dan sejak tadi memang lebih banyak diam daripada berbicara. Padahal baru saja di perjalanan wanita itu merasa sedikit nyaman karena Kodel berhasil menenangkannya. Eh, sekarang Dalwi bikin ulah dengan menyindir. “Maksud lu apa’an, sih? Lu nyindir gua?!” Ririn langsung sewot dan berjalan mendekat ke arah Dalwi. “Lah, busyet! Lu napa sensitif banget? Lu lagi datang bulan ape gimane?” Dalwi mulai lah bikin masalah sama Ririn. Padahal wanita itu sejak berangkat memang sensitif dan tidak mood lanjut. “Emang napa?! Ngeselin lu, ya!” “Sayang, jangan gitu, dong. Nggak enak dilihat orang,” ucap Kodel sambil berbisik. “Lah, kenapa, sih? Gua, kan, sejak awal emang nggak mau ke sini. Napa juga dipaksa. Nyebelin aja!” Ririn bukannya slow, justru makin ngotot dan memperlihatkan kalau memang tidak nyaman di sini. Orang-orang mulai memperhatikan mereka. “Rin, jangan gitu, dong. Kita, kan, ke sini mau have fun. Bukan mau bad mood gini,” ujar Rahmat yang lama-kelamaan kesal juga dengan kelakuan Ririn yang dirasa labil. “Udah, udah. Kalian, nih, naik gunung aja belum mulai tapi udah ribut begini. Gimana, sih?” Bang Opung mencoba menengahi pertengkaran itu karena merasa tidak enak juga menjadi tontonan orang lain yang berada di basecamp dan sedang bersiap-siap untuk melakukan pendakian. “Gara-gara Degel, tuh, bikin kesel orang aja! Bikin emosi!” seru Ririn yang masih saja menyalahkan Dalwi padahal dirinya sendiri yang sensitif dan juga mudah tersinggung serta emosian karena memang tidak mau mendaki gunung terlebih dahulu tetapi diajak oleh Kodel secara paksa. “Lah, kok, gua? Aneh, lu! Coba lihat si Putri aja bisa santai aja dan juga adaptasi dengan keadaan yang ada di sini. Kenapa lu nggak bisa dan nyalahin orang lain? Kalau lu emang nggak nyaman di sini, kenapa nggak pulang aja?” Dalwi yang sudah terpancing emosi pun menjadi adu mulut dengan Ririn. “Oh, jadi lu mau banding-bandingin gua sama Putri? Kenapa, hah?! Lu nggak suka bilang aja jangan macam banci gini!” Ririn makin sewot dan kesal dengan Dalwi. Wanita itu juga merasa kesal karena pacarnya tidak membela sama sekali tetapi malah terkesan memilih amannya saja. “Kalau iye, nape?! Lah, jelas beda banget. Dia juga cewek, tapi masih bisa adaptasi. Gua yakin dia juga males muncak, tapi masih bisa haha hihi sama yang lain. Nggak pasang muka cemberut mulu macam kodok zuma. Lu kira lu aja yang capek?! Lu kira Cuma lu yang bad mood? Denger keluhan lu sepanjang jalan bikin gua enek, tahu!” Baru kali ini Dalwi sampai debat seperti itu dengan wanita. Sebenarnya malu juga dilihat banyak orang, tapi pikiran Dalwi jadi kacau karena dengar gerutu Ririn terus menerus. Sebenarnya bukan hanya Dalwi, yang lain termasuk Kodel juga kesal dengan Ririn. Kodel jadi berpikir benar juga yang dikatakan Dalwi karena lebih baik Putri daripada Ririn yang selalu saja mengeluh sepanjang jalan. “Udah, udah. Lu juga cowok nape gitu, Degel. Dah, cukup,” kata Bang Opung yang tidak mau cek cok itu makin panjang. “Nah, kan, biar semua orang benci ama lu. Lu itu nggak pantes bareng Kodel. Harusnya gua, lah!” batik Putri bergejolak melihat hal ini meski mencoba tetap menutupi rasa kesal dengan Ririn. “Dah, lah, males gua. Sayang, ayo pulang aja. Gua dah males banget di sini. Bosen dan males denger cowok b*****g yang banyak debat,” kata Ririn yang sekarang merengek mengajak pulang Kodel. Jelas saja Putri melotot karena dia mau naik gunung karena diajak Kodel. Tentunya ada maksud terselubung bagi Putri dan Kodel yang tidak diketahui oleh teman-teman yang lain karena mereka memiliki hubungan istimewa secara sembunyi-sembunyi. “Lah, kok, gitu, Sayang. Jangan gitu, dong. Nanggung udah sampai sini juga. Jangan gitu, ya,” bujuk Kodel yang tidak mau kehilangan kesempatan untuk naik gunung bersama teman-teman apalagi ada Putri bersamanya. Pria itu jelas saja tidak mau diajak pulang apalagi pacarnya yang terlalu manja dan selalu merengek seperti itu membuat kesal. “Nyebelin amat, sih? Punya pacar juga nggak bela sama sekali. Kesel!” Ririn merasa galau Kodel tidak membela sama sekali dan juga menambah rasa kesal di dalam hati. “Bukan gitu, Sayang. Udah sampai sini kalau balik, ya, gimana. Nggak enak juga kalau udah sampai sini pulang. Udah sampai basecamp nggak mungkin pulang, Sayang. Mending lanjut naik aja, oke?” Model masih mencoba menahan emosi dan merayu agar Ririn mau lanjut jalan. “Lu nyebelin banget, sih?! Nggak ngerti perasaan gua,” keluh Ririn yang hampir menangis karena semua jadi terasa serba salah. “Kalau mau pulang, lu pulang aja sendiri! Kodel kagak mau pulang jangan dipaksa! Lagian yang lain meski capek ya fine fine aja. Cuma lu yang ngeluh mulu.” Dalwi masih saja tidak bisa mengerem kata-kata dari mulut karena merasa kesal dengan Ririn. “Udah, udah! Gua bilang udah masih aja pada bacot!! Kalau pada nggak mau naik, ya udah!! Kagak usah naik sekalian!” Kali ini Bang Opung jadi emosi dan menggertak mereka sehingga pada diam dan tidak berani berbicara atau melanjutkan debat lagi. Seketika semuanya terdiam dan tidak berani melanjutkan debat tersebut. Mereka merasa sungkan juga dengan Bang Opung yang sudah emosi. Rahmat langsung mengusap bahu Bang Opung. “Sabar, Bang.” Dalwi juga terdiam karena merasa bersalah sudah menanggapi Ririn dan membuat permasalahan semakin runyam. Harusnya kalau tidak ditanggapi pasti akan baik-baik saja dan tidak berlanjut jadi masalah yang panjang. Mereka pun terdiam sejenak sambil menyiapkan barang bawaan untuk melanjutkan perjalanan. Ririn duduk di samping Kodel dan merasa bersalah juga. Dalwi minta maaf ke Bang Opung terlebih dahulu. “Bang, maafin gua, ye. Gua khilaf kebawa emosi soalnya dari tadi denger gerutu mulu.” “Iye nggak apa. Asal janji aja nanti kalau muncak nggak ribut-ribut kayak begini. Gua nggak nyaman aja kalau sesuatu diawali dengan ribut-ribut ini takutnya nanti ada apa-apa,” kata Bang Opung tak mau masalah berlanjut. “Iye, Bang. Maafin, ye.” Setelah Dalwi meminta maaf dan keadaan cukup tenang untuk melanjutkan perjalanan, Ririn justru merasa lapar dan melihat ada yang berjualan gorengan di dekat sana. “Eh, gua laper. Pada laper, nggak? Noh, ada penjual gorengan. Kalau mau, yuk, patungan!” “Nah, ide bagus!” sahut Putri yang setuju sambil cari muka biar bisa jadi penenang bagi Ririn padahal cuma mau rebut Kodel. “Yuk, patungan. Nah, gini, loh. Nggak usah marah-marah, kalau laper makan aje!” ujar Bang Opung membuat yang lain tertawa karena mengira hal itu lucu. Ririn pun terpaksa itu tertawa daripada jadi masalah yang berkelanjutan apalagi sebentar lagi harus mendaki gunung dan hampir malam. “Iya, maaf, Bang.” Ririn pun mengumpulkan uang untuk patungan beli gorengan dan diantar oleh Putri untuk menuju ke tempat penjual gorengan. “Gua Anter, ya?” “Oke, Put. Thanks.” Kedua wanita itu pun berjalan bersama menuju ke penjual gorengan. Putri memang sengaja memakai topeng wanita yang manis dan juga baik hati agar mengelabui orang-orang dan tidak tertuduh kalau sudah ada main dengan Kodel. Putri ini wanita yang pintar menyembunyikan perasaan dan juga emosi padahal tidak menyukai Ririn sama sekali. “Ririn, udah, ntar kalau bad mood kita barengan aja ngobrol atau apa gitu. Daripada lu emosi dan nggak ada yang ngertiin,” ujar Putri pura-pura peduli. Padahal sama sekali tidak peduli dengan Ririn dan berharap semua teman-teman membenci Ririn termasuk Kodel. “Iya, Put. Thanks, ya. Gua kesel Ama Dalwi yang mulutnya macam cewek aja, nyinyir. Gua kesel aja dan bosen. Ternyata jalannya begini dan nyebelinnya nggak ada yang ngertiin gua.” Ririn merasa sedikit lega karena ada yang mau memahami. “Iya, gua ngerti, kok. Sabar, ya.” Mereka pun sampai di penjual gorengan. “Bang, gorengan tiga puluh ribu, ya,” ucap Ririn sambil menyodorkan uang. “Banyak amat, Mbak. Mau buat satu RT?” tanya penjual gorengan karena di Jawa harga gorengan beda dengan Jakarta. “Lah, emang berapa satunya, Bang?” tanya Ririn yang bingung. “Panggilnya Mas aja. Di sini panggil Bang rasanya aneh, Mbak. Dua ribu dapet tiga gorengannya, Mbak.” “Wah, murah, ya. Ya udah, dua puluh ribu aja, Mas. Campur aja gorengannya.” “Ya, Mbak. Sebentar ya.” Penjual gorengan itu pun menggoreng beberapa lagi karena memang pesanan dua puluh ribu itu cukup banyak dapat tiga puluh gorengan campur. “Mau muncak, Mbak?” tanya penjual gorengan sambil menggoreng. “Iya, Mas.” “Dari mana, Mbak?” “Dari Jakarta, Mas.” Ririn masih saja menjawab sambil senyum-senyum karena penjual gorengan itu juga terlihat ramah dan baik hati. “Hati-hati kalau muncak, Mbak. Banyak pantangan di sini. Kalau langgar pantangan bisa gawat. Mbak berdua ini baru pertama kali muncak di sini, ya?” “Iya, Mas.” Kali ini Putri ikut menjawab. “Emang pantangan apa aja, Mas?” imbuh Putri yang jadi penasaran dengan perkataan penjual gorengan itu. “Gini, Mbak. Di sini ada pantangan ndak boleh bicara kasar, terus jaga bersikap dengan baik alias tidak boleh bersikap yang tidak sopan. Pokoknya harus jaga sopan santun saat muncak. Terus satu lagi, Mbak, tidak boleh mencuri,” kata penjual gorengan itu dengan nada yang serius sambil menatap Ririn dan Putri bergantian. Kedua wanita itu antara percaya dan tidak percaya dengan perkataan dari penjual gorengan itu. Mereka justru berpikir penjual gorengan itu sedang menakut-nakuti saja. “Ah, mencuri apa’an, Mas? Di gunung mana ada yang bisa dicuri. Aneh aja ini, Masnya,” jawab Putri yang merasa hal itu tidak masuk akal. “Lah, bisa, loh, Mbak. Pokoknya mencuri dalam bentuk apapun di gunung itu tidak diperbolehkan. Mencuri itu dalam artian mengambil tanpa izin karena di sana ada penghuni yang tidak kasat mata. Jadi Mbak ndak tahu kalau di sana itu ada penghuninya juga bukan hanya manusia di dunia ini.” “Mas ini nakut-nakutin, ya?” selidik Ririn yang merasa heran. “Ndak, Mbak. Kenapa juga harus menakut-nakuti orang lain? Bilang begini juga untuk kalian waspada dan bisa jaga sikap selama mendaki gunung. Kalau kalian bisa jaga sikap dengan baik, insyaallah akan aman naik dan turun selamat.” “Emang kenapa kalau misal melanggar pantangan itu, Mas?” tanya Putri yang masih penasaran. “Ya, ntar ada aja kejadian. Misal ndak bisa pulang, ndak ketemu jalan, atau justru celaka, Mbak.” Ririn dan Putri jadi merasa tidak nyaman dengan ucapan dari penjual gorengan itu yang terkesan menakut-nakuti dan melebih-lebihkan. Untung saja gorengannya cepat matang dan penjual itu segera memasukkan satu persatu gorengan di dalam plastik berwarna putih yang sudah dilapisi daun pisang. Putri dan Ririn memilih segera pergi karena sudah membayar. “Terima kasih, Mas.” “Sama-sama, Mbak. Ingat pesan tadi, ya. Selamat muncak.” Ririn dan Putri hanya mengangguk saja, kemudian berlalu pergi untuk kembali ke rombongan. Keduanya merasakan kesal mendengar perkataan dari penjual gorengan itu karena jadi merasa takut. Apakah benar mendaki gunung itu banyak pantangan dan juga bisa celaka jika melanggar peraturan tersebut? “Tadi penjual gorengannya nakut-nakutin aja. Mana ada kita mau curi sesuatu saat naik gunung? Iya, kan?” gerutu Ririn yang memang masuk akal. Tidak mungkin mereka mau mencuri sesuatu di antah berantah seperti itu. “Iya, Rin. Nyebelin aja, tuh, orang. Udah, nggak usah dipikirin. Lagi pula kita niatnya muncak doang,” sahut Putri mencoba menenangkan Ririn padahal dia sendiri yang mempunyai niat buruk untuk dilakukan bersama Kodel. “Nah, iya. Berasa diintimidasi, nggak, sih? Heran aja. Apa mentang-mentang kita dari Jakarta, jadi orang-orang reseh gitu?” Ririn habis pikir karena sejak tadi banyak orang yang memperingatkan mereka seolah-olah memang meremehkan karena mereka berasal dari ibukota. “Gua nggak tahu juga, sih. Heran banget. Dah, habis ini kita jalan sambil makan gorengan anget enak, nih. Bayangin yang enak-enak aja biar lu nggak bad mood lagi,” kata Putri yang ada benarnya juga. Sebenarnya bukan maksud Putri mau menghibur Ririn tetapi wanita itu merasa kesal juga kalau terus-menerus mendengar keluhan dari mulut Ririn yang kurang bersyukur. Selain itu Putri juga kasihan sama Kodel yang dengar omelan Ririn terus sepanjang perjalanan. “Iya, Put. Thanks ya udah pengertian. Gua jadi ngrasa sedikit nyaman.” Ririn tersenyum menatap Putri karena tidak tahu sama sekali Jika ada pengkhianatan di balik semua ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN